Teruntuk Dqueen
Dear Dqueen,
Cuti sakit hati
"Anda yakin mau melakukan ini?" tanya seseorang pria berpakaian hijau yang mengenakan tutup kepala dan juga masker.
Aku mengangguk, walaupun rasa ragu mulai menyergap di dada. Aku tahu, apa yang akan kulakukan ini beresiko tinggi.
"Anda sudah tahu apa efek sampingnya?" tanya pria itu sekali lagi.
"Iya," jawabku lirih.
"Baiklah, kalau ini yang anda kehendaki. Sebentar lagi, seorang perawat akan mendorong anda ke ruang operasi. Banyaklah berdoa semoga, operasi ini berjalan lancar." Pria bermasker itu menepuk pundakku halus.
Rasa takut mulai membayang-bayangi diriku, ketika seorang perawat wanita mulai mendorong tempat tidurku menuju ruang operasi yang letaknya tidak jauh dari ruang perawatan.
Dadaku berdegub semakin kencang, tak kala kulihat tulisan RUANG OPERASI semakin dekat pelupuk mata.
"Aku ingin semua ini berakhir."
Mendadak ucapan Dani beberapa lalu terngiang-ngiang di benakku. Sedetik rasa takut yang merebak di dada perlahan sirna berganti sebuah keberanian.
Tak apa aku kehilangan ingatan, setidaknya hatiku tidak terlalu sakit lagi.
Orang Ketiga Pertama
Aku membuka jendela kamarku lebar-lebar, membiarkan angin malam masuk ke dalam. Tak kupedulikan nyamuk yang mungkin mengambil kesempatan untuk masuk ke dalam kamar.
Sayup-sayup terdengar alunan suara Taylor Swift dari ponselku yang sengaja kugunakan untuk pemutar lagu sebagai pemecah kesunyian.
"We are never ever ever getting back together, we are never ever ever getting back together," aku ikut menyanyikannya dengan sepenuh hati sambil sesekali melakukan gerakan waltz di jendela.
Aku berjalan ke arah meja, menyambar sebungkus rokok lengkap dengan korek apinya. Kuambil sebatang lalu dengan cepat menyulutnya. Kunikmati setiap hembusan asap yang mulai memenuhi dadaku, lalu dengan cepat kukeluarkan lewat hidung.
Aku memutar arah, menyandarkan tubuhku di jendela melihat betapa berantakannya kamarku. Di meja bercangkir-cangkir bekas kopi semalam masih berada di atas meja, di samping foto-foto yang tersebar hampir di seluruh penjuru meja.
Aku menarik napas panjang. Aku benar-benar kelelahan, setelah semalaman harus menelanjangi semua foto-foto itu. Mungkin terlihat bodoh, tapi itulah tugas yang diberikan boss besar. Mempelajari semua foto-foto itu, hingga mendapatkan gambaran yang tepat.
Drrt...drrttt
Ponsel di atas mejaku bergetar. Kurasakan jantungku berdetak cepat, beberapa peluh menetes dari dahiku. Segera kutekan tombol hijau.
"Orang Ketiga Pertama."
Klik..pembicaraan terputus.
Segera kusambar tas hitam yang sejak tadi kuletakkan dekat pintu, dan berjalan keluar kamar dengan tergesa-gesa.
Sekarang waktunya, dan harus tepat sasaran.
Selamat Tuan, kamu telah kehilanganku
Sebut saja aku orang yang sensitif. Mudah meneteskan air mata, ketika melihat sesuatu yang begitu menyentuh. Tapi, jangan panggil aku cengeng. Sebab, aku hanya menangis saat hatiku ingin menangis.
Ketika aku putus denganmu, lalu kau membayangkan aku akan menangis meraung-raung, meratapi punggungmu yang menjauh itu, tentu kamu salah besar. Aku tak menangis sedikit pun.
Mungkin, terasa perih di hati, tapi sayangnya otak tak menyatukan hati dan mata. Hujan di mataku tak lagi turun hanya untuk menangisi kepergianmu.
Kamu, boleh saja berbangga hati karena mendepakku dari hatimu. Tapi, ingatlah tentang satu hal. Kelak, akulah yang akan menuai garam di atas luka hatimu yang membasah.
Silahkan kau panggil aku pendendam.
Maaf, rasanya terlalu disayangkan jika aku harus membuang waktuku untuk itu.
Selamat, Tuan. Kamu telah kehilanganku :)
Tentang Anak-anak
Malam ini, tiba-tiba saja saya ingin membahas sedikit tentang pendidikan anak.
Sebagai pendidik, tentunya ada saja hal yang menggelitik untuk saya bahas. Kali ini, saya lebih menyoroti tentang pendidikan anak usia dini. Dan, bahasan dalam tulisan ini, saya ambil dari pengalaman diri sehari-hari.
Banyak orang tua yang khawatir, jika anaknya tidak bisa membaca dan menulis. Dibandingkan ananya tak mengenal warna dasar.
Banyak orang tua yang khawatir, jika anaknya tidak bisa membaca dan menulis. Dibandingkan anaknya tidak mengenal bentuk-bentuk dasar.
Banyak orang tua yang khawatir, jika anaknya tidak bisa membaca dan menulis. Dibandingkan anaknya tidak mengenal dunia luar
Banyak orang tua yang khawatir, jika anaknya tidak bisa membaca dan menulis. Dibandingkan anaknya tidak tersenyum dan tidak memiliki rasa ingin tahu.
Hal ini sedikit menganggu buat saya, ketika beberapa orang tua mengambil raport dan saya mengemukakan beberapa permasalahan anak mereka. Dan, hampir semua orang tua bertanya tentang kemampuan membaca dan menulis anaknya :((
Tidakkah mereka peduli terhadap perkembangan yang lain? Bukankah kemampuan membaca dan menulis masih bisa dipelajari, dibandingkan sebuah perilaku atau dunia anak-anak yang takkan pernah terulang lagi
Semuanya kembali kepada anda :)