Ketika Madu Menjelma Racun
Ketika kata-kata manis bersalut madu menjelma menjadi secawan racun yang siap membunuhmu perlahan
Ad Placement
Ketika kata-kata manis bersalut madu menjelma menjadi secawan racun yang siap membunuhmu perlahan
Kenapa rindu masih saja tentang kamu, padahal kisah kita sudah lesap oleh waktu
Hihi, nggak tahu kenapa kok aku jadi pengen nulis tentang seorang pria ya. Tulisanku kali ini lebih ingin membahas bagaimana seharusnya seorang pria di mata wanita. Dan, lagi-lagi ini hanya pendapatku semata, kalau nggak setuju jangan pada nampol saya ya? :D
Sebagai seorang pria, seharusnya dia belajar bagaimana cara menaklukkan hati. Perlu dicatat, hati disini bukan berarti mempermainkan perasaan loh. Dan, saya paling nggak suka seorang pria yang hanya memanfaatkan kelemahan wanita. Cih, nggak jantan.
Sebagai wanita, kita nggak butuh janji-janji atau kata-kata manis bersalut madu, meskipun pada dasarnya wanita suka dirayu, tapi kalau kebanyakan juga lebay alias pengen muntah.
Pria demen ngeluh juga nggak asyik, apalagi soal kerjaan yang sebenarnya remeh. Kita wanita memang suka ketika pria berbagi masalahnya, tapi bukan berarti kudu tahan mendengarkan keluhan tiap hari.
Pria keren itu tahu bagaimana cara bersikap terhadap wanitanya, yang pasti dia akan memuliakan sang wanita. Menjaga agar tidak tersakiti. Karena ketika sang wanita tersakiti dia juga sakit.
Saya nggak suka pria perokok dan suka minum-minuman keras. Buat saya pria model begitu nggak ada kerennya. Gimana mau menjaga kesehatan keluarganya kelak, kalau dia sendiri sedang membunuh dirinya perlahan. Sekeras apa pun masalahmu, bukan berarti rokok dan minuman pelampiasan.
Satu lagi, pria keren tahu saat yang tepat untuk membuat pasangannya berbunga-bunga, walaupun tidak melalui adegan romantis. Kalau saya suka menyebutnya manis :)
Sekian postingan kacau saya. Semoga besok para pria-pria nggak komen ditulisan ini :D
Aku menikmati ketika detak jantungku melebur bersama denyut nadimu
Sepagi ini, diam-diam rindu bermain-main dengan perasaan yang perlahan aku lupakan
Membuatku mengingat pria yang pernah mengajarkan tentang bagaimana menikmati indahnya senja
Diam-diam ku biarkan rindu mulai mengisi ruang di hatiku yang telah lama berdebu
Ketika bibir sepi tanpa kata, yakinlah ada hati yang saling bicara
Cinta itu serupa aneka permen dengan berbagai rasa: manis, asam, atau perpaduan dari asam dan manis
Cinta itu serupa warna merah yang ku sematkan di pualam pipimu: hangat dan malu-malu
Cinta itu serupa kumpulan buku roman, menghasilkan debar-debar dan rasa hangat bagi pembacanya
Cinta itu serupa kumpulan anak kecil yang tertawa riang di tanah lapang: penuh tawa dan kecerian
Cinta itu serupa bulir-bulir hujan yang mengalir dari langit: dingin, basah, meninggalkan kesedihan
Cinta serupa arakan awan kelabu di langit: meninggalkan rasa ngilu dan kerapuhan
Cinta apa apun bentuknya, dia adalah perasaan indah tak berbatas
Ceria
Indah
Nyata
Tak terduga
Awas terbakar di dalamnya
Pernahkah ada yang bertanya-tanya kenapa blog ini bernama Kertaswarna? Atau penasaran blog kertaswarna ini isinya apaan sih? Blog galau ya? :D
Blog Kertaswarna adalah blog kedua saya. Dulu sempat punya blog di domain yang lain cuman karena merasa kesulitan memakainya, saya memutuskan untuk membuatnya lagi.
Blog ini saya buat ketika duduk di bangku kuliah, awalnya hanya pengganti menulis diary. Jadi, kalau mau nambah postingan kudu pake koneksi gratisan di kampus. Maklum, dulu biaya internet cukup mahal.
Lambat laun, blog ini beralih menjadi tempat latihan saya menulis. Di blog ini saya bebas menulis apa pun. Kadang saya suka ketawa kalau baca tulisan-tulisan lama. Masih polos :D
Kenapa saya kasih nama Kertaswarna? Alasannya adalah kertas adalah tempat di mana kita bisa meletakkan isi dunia atau kepala di dalamnya, tidak perduli itu berupa coretan asal, makian, tulisan manis, atau hanya kumpulan benang-benang kusut.
Kenapa saya tambahkan kata warna di dalamnya? Saya punya alasan tersendiri. Ketika kertas putih dipadu padankan dengan warna-warna, jadilah dia kertas berwarna-warni.
Begitu juga dengan tulisan di blog ini, nantinya saya akan membuatnya lebih berwarna.
Semoga...
D&D Pub and Lounge
"Sudah, Ndre. Cukup!" Kirana menarik segelas bir di tangan Andre yang belum sempat dia tenggak.
"Ah, kamu berisik!" Andre meracau.
"Kamu sudah cukup mabuk, mau sampai kapan kamu di sini? Sudah cukup, ayo pulang." Kirana mulai menarik Andre yang masih meracaukan kata-kata tak jelas.
"Aku ingin melupakan Nia, Kiran. Jadi, tolong biarkan aku di sini saja." ujar Andre di tengah racauannya
"Memangnya dengan mabuk kamu bisa melupakan dia?" Kirana masih berusaha membuat Andre yang mulai sempoyongan untuk berdiri.
"Setidaknya untuk malam ini aku bisa melupakannya, besok. Entahlah," ujar Andre lirih.
"Jadi, besok kalau kamu masih ingat dia. Kamu bakal minum dan mabuk lagi? Bodoh! Kenapa nggak sekalian aja kamu jedotin kepala ke tembok, biar amnesia," ujar Kirana tak sabaran
"Bawel. Mending kamu pulang sana. Nanti kamu kenapa-kenapa." Andre menepis tangan Kirana dari bahunya.
"Harusnya bukan aku yang kamu khawatirkan. Ayo pulang, sudah cukup kamu menyakiti dirimu sendiri." Lagi-lagi Kirana berusaha memapah Andre --sahabatnya itu.
"Kamu tahu apa tentang kehilangan, Ki? Kamu nggak akan pernah tahu gimana rasanya ditinggal oleh kekasihmu sendiri?'
Kirana diam
Aku memang tidak pernah tahu rasanya ditinggalkan oleh kekasih sendiri. Tapi, aku pernah berada di posisimu saat ini ketika aku tahu kamu tak pernah mencintaiku, Ndre.
...dan kamu masih beruntung sempat memiki Nia
Ikut serta dalam #FF2in1
Pagi ini, aku bangun dengan mata setengah terpejam. Tidak langsung bangun, melainkan terkantuk-kantuk di tepian tempat tidurku. Mengerjap-ngerjap kedua mata, lalu diam untuk beberapa saat. Membiarkan ruhku kembali utuh ke raganya.
Dengan sedikit limbung dan mata yang mulai terbuka, aku berjalan ke depan cermin lebar yang terletak di dekat jendela kamarku.
"Selamat pagi, apa kabarmu yang di sana?" sapaku pada cermin dengan setengah menguap.
Mungkin bagi sebagian orang, apa yang baru saja aku lakukan terlihat aneh. Berbicara dengan bayangan sendiri. Tapi, itulah yang aku lakukan setiap pagi sehabis bangun tidur.
Buatku berbicara dengan bayangan sendiri, seolah mencari tahu apakah ada perubahan pada diriku setiap harinya. Buatku ketika melihat cermin, aku menemukan diriku apa adanya. Bukan diriku yang mengenakan topeng untuk memberi seribu wajah bagi orang lain.
Cermin tidak pernah bohong bukan?
Selesai dengan ritual menyapa 'bayangan sendiri,' aku beranjak ke arah jendela kaca yang dapat digeser dari dalam. Aku membukanya lebar-lebar --membiarkan udara pagi memenuhi kamarku pagi ini.
Dari balik kamar, ku temukan kilauan sinar mentari bersembunyi dari balik awan, membentuk semburat-semburat yang begitu memanjakan mata. Aku suka udara pagi ini, sinar matahari cukup nyaman untuk dirasakan di kulit.
Aku melirik jam kecil di atas nakas. Pukul 07.00, waktunya aku menemui kekasih tercinta. Kami berjanji menikmati sarapan bersama di taman
Rindu diam-diam menelusup melalui celah kecil yang lupa aku tutup rapat
Kepada kenangan yang berkelebat dibenakku. Tak cukupkah kamu mencuri separuh dari hatiku dan lupa untuk mengembalikannya tepat waktu padaku?
Kepada kenangan yang berkelebat dibenakku. Tak lelahkah kau permainkan hatiku? Bukankan kemarin kau telah memporak-porandakannya? Masih belum cukup?
Kepada kenangan yang berkelebat dibenakku. Sudah cukup kau bermain-main dengan pikiranku. Aku sudah terlalu lelah untuk sekedar kembali menengok ke arahmu
Kamu.....
Akankah kita kembali dipertemukan takdir?
Ketika rasa rindu kembali memenuhi dada
Uraikan kenangan yang telah tertata rapi di sudut terkecilku
Ramaikan kembali hatiku yang telah lama berdebu
Ingatan tentangmu diam-diam menelusup sepi
"Nanti kita pasti bertemu," katamu
Dan aku menunggu takdir berbicara, akankah Tuhan mempertemukan kita kembali
Untuk sekedar berpapasan
...dan aku benci untuk mengakui, bahwa aku merindukanmu
Mungkinkah ini cinta?
Ini tentang sebuah janji
Janji, yang kau bisikkan dengan lirih di telingaku ketika kita menghabiskan waktu berdua
Malam itu kita larut dalam labuhan cinta
Bermain kata-kata dan kemudian kau rengkuh aku dalam pelukmu
Kita bercumbu, meraih kenikmatan yang tak pernah tuntas
Aku biarkan tubuh mungilku rebah di dada bidangmu
Bercampur peluh: aku dan kamu
Kita biarkan tubuh saling melepas rindu, menuntaskan semua hasrat tak terlupakan
Di akhir perjalanan kita, kau bisikkan sebuah janji
"Kita akan selalu bersama sampai mati."
tersisa degub-degup dan aroma tubuhmu
Ini tentang sebuah janji
Janji, yang dulu kau bisikkan di telingaku
...dan kini semua mengabu
Lusuh, digerus roda waktu
Usang
Pada akhirnya, janji adalah kata-kata manis tanpa makna
Rindu tak berhenti berdenyut; seperti kehidupan yang tak pernah berhenti berjalan
Rindu tak berhenti berdenyut; seperti bumi yang tak berhenti berotasi
Rindu tak berhenti berdenyut; seperti langit yang setia menjaga bulan
Rindu tak berhenti berdenyut; seperti tabahnya ilalang
Rindu tak berhenti berdenyut; seperti air yang terus mengalir kepada suatu muara
Rindu tak akan berhenti berdenyut; meski berkali-kali dipatahkan waktu
Tentang kamu. Kamu yang membawa sekeping hatiku dan tentang hatiku yang lebur karena bertepuk sebelah tangan. Harusnya sejak awal aku sadari, semua itu hanya kesalahan hatiku. Aku salah mengartikan gelagat dan membiarkan diriku jatuh ke dalam perasaan tak kasat mata. Dan, kamu, dengan teganya mempermainkan semuanya. Membiarkanku jatuh lebih dalam, terperosok dalam luka.
Betapa bebalnya hatiku ini, harusnya aku pergi mengemasi semua perasaan ini. Bukannya tetap tercenung di depan pintu hatimu dan berkhayal sebentar lagi kamu akan keluar; mempersilahkan aku masuk.
Kamu, yang telah mencuri hatiku. Mungkinkah Tuhan tak mempertemukan kita karena tak ingin melihat kita menjadi sepasang yang saling menyakiti; membunuh rindu. Tuhan tak ingin air mata terus berlompatan dari kedua bola mataku.
(Pernah) ada cerita yang tertulis di antara kita
kisah manis yang sempat terekam dalam sebuah kertas berwarna merah jambu
di mana aku dan kamu (pernah) menjadi peran utama
(Pernah) ada kisah di antara kita
kisah, di mana pipi-pipi kita bersemu karena cinta
Nyatanya, takdir tak berpihak
aku dan kamu tak pernah menjadi satu
hingga waktu memilih; kita tak pernah berpapasan
...dan pada akhirnya, kisah kita hanyalah sebuah rangkaian cerita yang tak pernah selesai.
Terima kasih, kepadamu yang telah mengajarkanku cara menikmati ciptaan Tuhan dengan cara yang berbeda
Pada barisan awan yang memerah, pernah ada satu nama terselip di sana. Dan, kini malam mencurinya; tertinggal pekat malam tanpa bintang.
Cinta serperti sekotak kembang gula aneka rasa, dan berakhir getir kemudian hari
Berawal dari keinginan Wika untuk mencari tahu keberadaan Ayah kandungnya, membuat dia nekat pergi ke Korea sendirian. Dengan berbekal uang tabungan dan nama, dia bertekad untuk menemukan Mr. Kim
Untung saja dia bertemu Bagas, warga Indonesia yang berkuliah di Korea. Bersama Bagas, Wika menyusuri daerah-daerah di Korea. Tujuannya hanya satu menemukan Kim Tae Wo.
Dalam hidup selalu ada Takdir yang kerap kali mendewasakan kita
Looking For Mr. Kim adalah sebuah novel dengan genre remaja. Novel ini menceritakan tentang perjalanan Wika ke Korea untuk mencari sosok ayah kandungnya,
Kelebihan novel ini, penulis mengambil sisi lain dari kehidupan remaja, di mana yang diangkat tidak melulu tema cinta (menye-menye :D). Sosok Wika yang diciptakan penulis cukup menggambarkan bahwa tidak selamanya remaja mengalami kelabilan saat mencari jati dirinya.
Kelebihan lain dari novel ini, penulis dengan apiknya menggambarkan sisi-sisi lain Korea, kebudayaan, dan juga bahasanya. Terlihat bahwa penulis melakukan riset yang matang.
Kekurangannya, novel ini endingnya menggantung. Mungkin ini trik dari penulis agar dia bisa membuat sekuelnya.
Janji seperti sebilah pedang yang siap menghunus dan meninggalkan luka jika tidak terpenuhi
“Aku ingin kita bertemu, bisa?”
“Sekarang? Hmmm…apa nggak bisa ditunda besok?” terdengar suara helaan napas di seberang.
“Sebentar saja, aku janji tidak akan lama. Aku rindu…” aku tak meneruskan kata-kataku.
“Maaf Dear, aku sibuk sekali hari ini. Ada beberapa deadline yang harus aku kerjakan.”
“Jadi, kita nggak bisa bertemu? Ya, sudah. Maaf aku sudah mengganggu waktumu.”
Pembicaraan terhenti tanpa saling mengucapkan salam.
Rindu mendongak ke langit. Berharap agar tangisnya tidak meledak saat ini. Dia tidak mau terlihat seperti orang yang sedang patah hati di tengah kafe yang ramai oleh pengunjung.
Ada rasa sedih menyesaki dadanya saat ini. Jauh-jauh dia datang ke tempat ini untuk bertemu dengan lelakinya, nyatanya pria itu tidak punya waktu untuk sekedar bertegur sapa dengannya.
Ah, Rindu merutuki kebodohannya. Cepat-cepat dia menghapus air mata yang mulai berlarian dari kedua kelopak matanya.
Dia mengeluarkan telepon genggamnya, menuliskan sebuah pesan untuk lelakinya..
Maaf, kisah hidupku tak lagi tentang kamu
Proyek: writerchalleng
Rumah adalah tempat di mana terakhir kita kembali
Holla Semua,
Alhamdulillah, akhirnya kembali bisa menulis di blog ini. Beberapa hari absen nulis. Berhubung dekat dengan lebaran dan mempersiapkan perlengkapan untuk mudik.
Dan, sekarang saya telah kembali ke rumah tercinta. Membawa segudang cerita untuk dibagi kepada pembaca blog setia :)
Ceritanya, saya baru pulang dari Madura semalam. Setiap tahun kami sekeluarga menyempatkan diri pulang ke Pamekasan, walaupun sudah tidak ada lagi kakek-nenek di sana.
Singkat cerita, lebaran kemarin benar-benar menyenangkan buatku. Aku suka saat bercengkrama dengan para keponakan-keponakan yang manis dan lucu. Suka melihat ketawa mereka, membawa mereka dalam pelukanku.
Dan satu hal yang bisa aku pelajari dari lebaran kemarin:
Ciptakanlah kehangatan dalam keluarga. Rengkuh anak-anakmu, kerabat, pasangan. Karena akan ada suatu masa di mana kamu akan mereka tinggalkan (hari tua)
Merdeka itu artinya bisa memilikimu secara halal
Jika masa lalumu layak kamu perjuangkan, perjuangkanlah hingga Titik. Jika semuanya tidak berhasil. Berbaliklah arah, ada masa depan yang menunggumu
"Ngapain sih, Ndre? Sibuk amat?"
Aku mengurungkan niatku untuk meletakkan tas di genggamanku, ketika melihat kelakuan sahabat sekaligus teman kerjaku.
"Hmm, lagi cari namanya Retha." pandangan matanya tetap tertuju di layar komputer.
It's sounds familiar
"Margaretha? Mantanmu itu?" tanyaku hati-hati sambil menarik sebuah kursi dan duduk di sampingnya.
Dia menoleh ke arahku, mengangguk perlahan, "Iya, Retha yang itu."
"Emang dia kemana? Kalian kehilangan kontak?” tanyaku beruntun.
“Dia tiba-tiba ngilang, semua nomornya dia ganti. Mangkanya aku coba cari di twitter, FB sapa tahu ketemu.”
“Jangan terlalu erat menggenggam masa lalu, Dre. Nanti kamu sakit sendiri,” ujarku sambil membolak-balik kertas di hadapanku.
“Aku masih menunggunya. Aku percaya sejauh apa pun cinta pergi, ia pasti kembali.” dia menoleh ke arahku dengan tatapan sayu.
“Mau sampai kapan sih kamu nunggu dia? Waktu itu tidak pernah menunggu loh.” aku berdiri di sampingnya.
“Aku masih sayang dia, Na.”
“Dia masih sayang kamu juga?”
“Pasti! Aku tahu bagaimana perasaan dia sama aku.”
“Kamu yakin dia masih Retha yang sama? Seperti ketika kalian berpacaran dulu?”
“Maksudmu?” dia menoleh ke arahku.
“It’s been 2 years, perasaan itu bisa berubah, Dre. Seperti aku bilang, waktu itu tidak mau menunggu. Bisa aja kamu masih mengharapkan dia, tapinya nyatanya dia sudah melangkah duluan.”
“Aku percaya sama cinta sejati, Na. Kalau memang jodohku pasti dia akan kembali juga padaku.”
“Kalau memang kamu masih cinta dengan dia, kenapa kamu nggak perjuangkan dia ketika kalian baru berpisah dulu?”
“…”
“Itu membutuhkan waktu, Na. Kita sama-sama butuh jeda.”
“Dan, sekarang jeda itu masih berlaku? Kamu 2 tahun nunggu dia, tanpa tindakan apapun? Wow, itunya namanya omong doang, Bro. Cewek itu butuh tindakan, bukan cuman kata-kata.”
“Aku sudah berusaha, tapi…” Andre tak melanjutkkan kalimatnya.
“Tapi, kamu nggak mau berusaha lebih keras untuk mewujudkannya. Ndre, jika masa lalumu layak kamu perjuangkan, perjuangkanlah hingga Titik. Tapi, jika semuanya tidak berhasil. Berbaliklah arah, ada masa depan yang menunggumu.”
“Lalu aku harus bagaimana, Na?”tanyanya lirih.
“Cari tahu dengan perasaanmu, yakinkan apa yang kamu rasakan sekarang itu cinta atau hanya sebuah kenangan yang enggan kamu lepaskan.”
“…”
“Dre, tidak ada yang pernah melarangmu untuk menengok masa lalu. Tapi, kalau kamu terus-terusan menggenggamnya, itu artinya kamu sudah membuang waktumu percuma. Lihat, berapa banyak kamu melewatkan kesempatan untuk menemukan wanita yang lebih baik dari Retha,” aku menepuk bahunya.
Ada beribu pertanyaan tersimpan di benakku saat ini
tentang kamu, tentang kita dan juga perasaanmu padaku
Entahlah, mungkin saja aku tak harus mempertanyakannya
Sebab aku tahu jawabannya
Dan, kamu tak akan pernah mengerti tentang aku
Kamu yang pernah mencuri benakku, bisakah kau curi sekali lagi?
Ada kalanya cinta tidak memiliki
Ibarat di persimpangan jalan
Saat lampu menunjukkan warna hijau, saatnya masing-masing dari kita harus melangkah pergi
Kamu ke kanan, dan aku ke kiri
entah kapan akan kembali berjumpa
Tak selamanya cinta itu beriringan. Ada kalanya Tuhan mempertemukan hanya untuk sekedar melintas.
Ingatkah kamu tentang sepasang janji kita?
Janji yang kita sepakati bersama saat kamu dan aku berdua
Kau bilang, ingin di sini di sampingku
nyatanya hingga saat ini janji itu telah lesap entah kemana
Saat kita berdua, tak ada lagi pembicaraan janji
yang ada hanya sebatas kata-kata manis pelipur lara
Kemana sepasang janji yang kau ucapkan padaku?
adakah kau melupakannya?
Jangan pernah berjanji apapun atas diriku, jika aku tidak pernah punya hak atas dirimu
Tak ada lagi debaran yang aku rasakan di hatiku
tak ada lagi senyum simpul saat aku baca pesan darimu
tak ada lagi rindu yang mendesak saat tak ada kabar darimu
ku rasakan pesta di hatiku telah usai
pertanda bahwa aku harus segera berkemas dan melangkah pergi darimu
Maaf, untuk saat ini sang penulis sedang meliburkan diri dari segala urusan perasaan
Aku ingin hidup di masa depan, dan kamu hidup di masa lalu. Itulah mengapa rotasi kita tidak pernah bertemu
Hai, apa kabar? baik-baik aja khan? Maaf kalau beberapa hari ini aku menghilang. Seperti kataku, aku sedang merentangkan jarak. Mencari tahu tentang perasaanku padaku. Nyatanya hatiku tetap tertuju padamu.
Entahlah, aku sedang tak ingin berharap apa-apa dalam hubungan ini. Mungkin kita hanya dipertemukan tapi tidak untuk beriringan. Mungkin Tuhan ingin aku sekedar untuk mengagumimu dan kamu hanya menganggapku adek. Bukankah ada kalanya cinta hanya berjalan sendirian.
Kelak, jika memang kita bertemu. Tolong, jangan pernah lagi tanyakan tentang perasaan yang perlahan aku tepiskan.
Salam hangat,
(masih) pengagummu
"Pak, gimana berminat dengan tawaran saya?”
“Saya pikir-pikir dulu deh, Pak.” Ujar Budi dengan nada bimbang.
“Nggak usah banyak dipikir, Pak. Sampeyan percaya saja sama omongan saya, dijamin Bapak nggak bakalan rugi.” Lelaki berjaket hitam itu kembali berbicara.
“Nanti Bapak saya hubungi lagi deh, saya mesti koordinasi sama istri dulu.”
“Ya, sudah. Kalau nanti Pak Budi berubah pikiran. Segera hubungi saya, karena penawaran ini hanya khusus saya berikan pada orang yang saya kenal.”
Pria berjaket hitam itu pun berlalu, meninggalkan Budi dengan penuh kebimbangan.
*****
“Bu, bapak bisa ngomong sesuatu?”
“Ngomong opo to, Pak? Kok pake ijin segala,” ujar istrinya yang sedang asyik menikmati tayangan sinetron di TV.
“Ibu tahu Rudi kan?”
“Rudi yang rumahnya di ujung jalan itu ya? Memangnya kenapa dengan dia, Pak?” ujar bu Tari dengan pandangan mata tetap ke arah TV.
Budi geleng-geleng melihat sikap istrinya, sejak tadi diajak bicara, tapi pandangan matanya masih tertuju ada layar TV.
“Rudi nawarin kerja sama.”
“Kerja sama dalam bentuk apa?” Tari menoleh ke arah suaminya.
“Investasi dengan modal kecil, tapi hasilnya menggiurkan, Bu. Rudi aja gara-gara ikutan investasi itu bisa beli sepeda motor nggak pake kredit,” dengan semangat Budi menjelaskan pada istrinya.
“Bapak yakin mau ikutan? Kok sepertinya agak nyeremin, Pak,” ujar Tari khawatir.
“Ibu tenang saja, Rudi itu bisa dipercaya kok. Lagian modalnya nggak banyak-banyak amat,”
“Tapi, sepuluh juta bukan uang sedikit, Pak. Sebentar lagi Dio mau masuk sekolah loh,” Tari mengingatkan suaminya.
“Ibu, yakin deh sama bapak. Pokoknya uang itu pasti kembali dan masih bisa buat uang sekolah Dio nantinya.”
“Terserah Bapak ajalah, Ibu nggak ngerti soal begituan. Ya, sudah Pak. Ibu mau tidur dulu sudah ngantuk,”
Sepeninggal istrinya Budi tersenyum-senyum. Dengan semangat dia mengambil telepon genggamnya dan menekan sebuah nomor.
“Aku jadi ikutan, besok uangnya aku kasih.”
*****
Seminggu Kemudian
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar servis area. Silahkan menghubungi kembali nanti.
Berkali-kali Budi mencoba menghubungi nomor yang tertera di kertas yang sedang dia genggam, tapi jawabannya tetap sama. Nomor itu tidak bisa dihubungi.
Cemas mulai menghantuinya, sudah seminggu ini dia berusaha menghubungi Rudi. Nyatanya nomor Rudi tidak pernah aktif.
Budi ingat akan janji Rudi yang segera menghubunginya ketika bisnis yang mereka sepakati berhasil, nyatanya sampai hari ini janji itu tak kunjungi ditepati.
Beberapa kali Utari menanyakan perihal uang itu, tapi Budi selalu mengatakan bahwa uang itu aman dan akan segera kembali. Budi tidak pernah menceritakan kepada istrinya bahwa dia sedang kesulitan mengontak Rudi.
Sekali lagi dia mencoba menghubungi nomor Rudi, hasilnya nihil. Nomor itu tetap tidak aktif. Dengan perasaan gelisah Budi berinisiatif untuk mendatangi rumah Rudi.
Belum juga sampai di depan rumahnya, seluruh persendian Budi melemas ketika diam mendapati sebuah plang kayu bertuliskan.
Rumah dijual.
Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dia katakan pada istrinya. Dalam hati dia merutuki kebodohannya yang begitu saja percaya pada Rudi.
Proyek: Writer Challenge
Ketika kamu membuka hatimu untuk orang lain, bersiaplah mereka akan melukaimu
Dalam sebuah hubungan, entah itu sepasang kekasih, pernikahan, pertemanan, rekan kerja atau bahkan keluarga. Pasti akan ada suatu masa di mana kita merasa sakit karena perlakuan orang lain.
Ada kalanya kita berselisih paham, berbeda pandangan atau bahkan dikhianati kepercayaannya. Luka di hati pasti ada.
Kalau ditanya seberapa sering aku terluka, jawabannya sering. Entah mengapa, aku adalah orang yang cepat percaya terhadap orang lain, dan sayangnya mereka seringkali memanfaatkan kelemahanku.
Prinsip Hidupku:
Kalau mereka jahat padaku, aku bisa saja lebih jahat pada mereka. Sayangnya, aku lebih memilih memaafkan, karena aku tak mau hatiku dipenuhi oleh kebencian. Urusan yang lain aku serahkan pada Allah, karena Dia yang pantas memutuskan.
Intinya aku tak mau membiarkan hatiku diliputi dendam yang akhirnya hanya semakin menyakitiku.
Masih saja tentangmu
tentang kamu; pencuri hatiku
kamu seperti semacam candu yang tak habis untuk aku perbincangkan
Lihat semua larik-larik puisiku,
memang masih tentang kamu
karena kamu telah meracuni benakku
Ini adalah surat ke-10 yang aku tujukan kepadamu. Sebuah surat sederhana yang masih berisi tentang kamu, dan selalu kamu.
Kalau kamu bertanya sampai kapan aku akan menulis surat untukmu, jawabannya sampai aku lelah untuk mengagumimu.
Beberapa hari ini aku memang sengaja tak ingin berlama-lama mengobrol denganmu, bukan aku marah ataupun jenuh. Aku hanya ingin sekedar melebarkan jarak, agar kelak ketika kamu tak lagi membutuhkanku, aku terluka.
Memang terlihat sangat egois, tapi ini harus aku lakukan. Aku tak mau kembali terluka lagi seperti dulu. Karena yang aku sadari, aku hanya pengagummu. Penikmat untaian kata di setiap goresan penamu.
Seperti pintaku, aku mau kamu tersenyum :)
Salam Hangat,
Pengagummu
Hai, bagaimana puasa pertamamu hari ini? Semoga lancar sampai Adzan berkumandang nanti.
Pagiku hari ini dimulai dengan sebuah senyuman. Aku tersenyum mengingat pembicaraan kita semalam. Pembicaraan tentang potongan rambutmu, pose fotomu. Ah, memang sangat sederhana, tapi bagiku pembicaraan itu kembali menghangatkan dadaku.
Aku suka melihatmu tersenyum, rasanya senyum itu terlalu mahal untuk bisa terulas di bibirmu. Bisakah kamu tersenyum lebih lebih lebar kelak ketika kita bertemu nanti? Bisakah aku membuatmu tersenyum?
Petang tadi kita kembali bertegur sapa, dan kamu tampak antusias membicarakan proyek bukumu. Aku suka mendengarnya. Aku merasakan ada gairah dalam dirimu.
Kelak, jika waktu memang tidak berpihak pada kita. Bisakah kamu tetap seperti itu?
Atau jika bukan aku yang berada di sampingmu. Ku mohon tetaplah tersenyum.
Biarlah rindu ini merebah pada jarak dan waktu
Jodohku,
Mungkin belum saatnya aku dan kamu bertemu
Belum saatnya juga kita dipertemukan
Saat ini kita hanya sepasang manusia yang tak saling mengenal
Terbentang jarak bahkan juga dipisahkan oleh waktu
Bersabarlah,
Kelak jika masanya sudah tiba, pasti kita akan bertemu
Seperti mimpi-mimpi kecil yang kita impikan
Jodohku,
Mari kita saling perbaiki diri
Agar kelak ketika bertemu, kita sudah siap untuk menautkan jemari di hadapan Allah
Dan aku akan menantimu dengan sabar di sini; di bilik hatiku
Sampai kelak aku menjadi halal bagimu
Aku sedang menyimpan debaran jantungku, demi bertemu denganmu; nanti
Alhamdulillah, ternyata masih diberi kesempatan untuk bertemu lagi dengan bulan Ramadhan. Semoga Ramadhan kali ini membawa berkah dan perubahan yang dalam diriku. Aminnn
Hari ini puasa pertama, semoga lancar sampai adzan Magrib.
Buat semua pembaca blogku, maaf lahir dan bathin ya
Ternyata jarak dan waktu sedang bersinggungan. Tak ada satu pun dari mereka yang berniat untuk memenangkan kisah cintaku.
Aku memilih merayakan kerinduanku dengan secangkir madu hangat. Supaya cinta tak melulu getir.
Hai, apa kabar gerangan kamu di seberang sana? Baik-baik saja kan. Belakangan ini kita jarang bertegur sapa ya? Kamu dan aku sama-sama sibuk, atau kita aja yang mulai merentangkan jarak?
Entah benar atau tidak yang aku rasakan. Kamu tidak lagi hangat, dan mulai menjauh dariku.
Ah, sudahlah. Maaf jika apa yang aku rasakan salah. Yang pasti, aku tahu kamu baik-baik saja. Buatku itu cukup.
Salam hangat,
Penikmat Kata
Aku sedang tak ingin bermain-main dengan perasaanku. Hatikulah kelak yang akan menjadi taruhannya.
Kita adalah sepasang senja
yang semburatnya selalu di nanti
waktu seringkali tak berpihak
karena dengan cepatnya senja merangkak pergi
terusir oleh pekatnya malam
Kita adalah sepasang senja
hadirnya selalu ditunggu
namun cepat berlalu
sama seperti kenangan; usang kala semua berakhir
adakah senja yang selalu dinanti?
bahkan hingga gelap mencuri semburatnya.
Surabaya, 16 juli 2012
Dear Kamu,
Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana
menjadi seseorang yang selalu ada
Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana
seperti arakan awan yang selalu setia pada langit
Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana
cukup dengan melihatmu bahagia
Kelak, aku ingin jemari kita bertautan di depan Tuhan
Berkali-kali aku melirik jam di pergelangan tanganku dengan gelisah. Sudah sejam aku di sini, sendiri.
Aku mengangkat cangkir kopiku yang panasnya telah menguap.. Getir, rasa itulah yang kini tertinggal di lidah dan juga –hatiku.
Setiap pintu resto ini terbuka, secara spontan pandanganku mengarah ke sana, tapi tak juga aku temukan sosoknya.
“Sudah siap pesan, Mbak?” seorang pelayan kembali menghampiri mejaku.
“Belum, Mbak. Saya masih menunggu teman,” ujarku.
“Baiklah, jika nanti sudah siap. Silahkan panggil saya,” ucapnya dan kemudian berlalu dari hadapanku. Sekilas aku mendengar helaan napas dari mulut sang pelayan.
Aku merogoh ke dalam tasku, mengambil sebuah cermin kecil. Aku memastikan tidak ada noda di riasanku kali ini. Aku ingin tampil sempurna di hadapannya nanti.
Makan malam kali ini semacam perayaan hubungan kami berdua, dan aku lebih suka merayakannya dengan sederhana. Tidak ada lilin, bunga-bunga atau pun kado mewah.
********
13 Februari 2012
Di sudut ini, pertama kali bertemu. Saat itu aku sedang asyik menikmati kesendirianku dengan sebuah buku di tangan. Dia datang tergopoh-gopoh. Tubuhnya basah kuyup terkena hujan, dan wajahnya terlihat kebingungan mencari tempat kosong.
Hari itu restoran ini sangat ramai, beberapa dari mereka lebih menunggu hujan reda. Entah apa yang membuatku berinisiatif untuk mengajaknya bergabung denganku.
“Hai, tempat ini kosong,” ujarku.
Dia menoleh ke arahku, aku menangkap sebuah keraguan dari raut wajahnya. “Silahkan, aku hanya sendiri,” ujarku sekali lagi.
Dia tersenyum dan duduk di hadapanku. Beberapa detik kami bertatapan, selanjutnya kami larut dalam sebuah pembicaraan panjang.
********
Aku masih saja terpaku, ketika lampu-lampu Kristal mulai dipadamkan. Perasaanku sedang tidak menentu. Sedih, marah, kecewa semua bercampur menghasilkan sebuah rasa sakit yang tak terbatas. Seberapa kuat aku menahan tangisku, nyatanya beberapa bulir air mata sudah mendesak keluar.
“Maaf, Mbak. Kami sudah mau tutup,” seorang pelayan menghampiriku.
Aku mendongak, “Bolehkah saya menunggu beberapa saat lagi? Mungkin dia sedang terjebak macet,” ujarku terisak.
“Baiklah, beberapa menit lagi.”
Sudut yang berbeda
“Wanita itu datang lagi?” bisik seorang perempuan muda
“Iya. Sejak tadi dia hanya terpaku. Entah siapa yang di nanti?” jawab seorang wanita di sampingnya.
“Sepertinya dia menanti seseorang, tapi kok aku nggak pernah melihat temannya, ya?” seorang pria yang baru datang menimpali.
“Entahlah. Aku kasihan melihatnya. Hampir setiap bulan, wanita itu selalu datang. ”
“Dia nggak gila kan?” Tanya wanita bertubuh tambun.
“Huss, jangan gosip yang aneh-aneh. Sepertinya dia baru saja kehilangan seseorang yang dia cintai. Sudahlah, ayo kita kerja lagi. Nanti Pak Budi marah.”
Tiba-tiba saja ruangan itu menjadi senyap.
Berungkali aku tepis semua rasa ini. Tapi, tetap saja menjejak dalam hatiku. Tak pernah aku pahami mengenai semua ini.
Aku mencoba mencari jawabannya, tapi tetap saja berakhir dengan rasa yang sama.
Aku jenuh; pada kamu.
Dear Kamu,
Apa kabarmu? Pasti baik-baik saja. Beberapa hari ini, aku pandangi Time Linemu penuh dengan kesedihan. Adakah sesuatu yang mengganjalmu.
Biasanya kamu orang yang semangat, tapi yang aku tangkap saat ini hanya kesedihan.
Aku tak suka, jika kamu seperti itu. Aku merindukanmu yang dulu; ceria. Aku kagum padamu, terutama sajak-sajakmu.
Tetap semangat ya!
Salam Hangat,
Pengagummu
Sudah sebulan ini aku mengenalmu lebih dekat. Bukan seperti pertama kali aku mengagumi hanya lewat timelinemu.
Ingatkah kamu tentang cerita-cerita yang biasa kita perbincangkan? Buatku kamu teman yang menyenangkan dalam berdiskusi, terutama soal tulisan. Darimu aku belajar banyak.
Bolehkah aku lebih mengenalmu lagi?
Salam Hangat,
Pengagummu
Aku pulang. Sekarang jarak kita tidak lagi terbentang. Sebentar lagi aku bisa kembali menatap mata elangmu itu.
Ada banyak cerita yang ingin aku sampaikan kepadamu. Mau kah kau meluangkan waktumu? Aku ingin kita duduk di tempat biasa, taman kota dengan pemandangan langit lepas. Seperti namamu, langit.
Lang, tunggu aku ya.
Salam hangat,
Venus
Kemana…kemana..kemana? Aku harus mencari di mana?
Penggalan lagu dari Ayu Ting Ting di atas tiba-tiba menggelitik benak saya untuk menulis tentang jodoh. Kenapa tentang jodoh? Menurut saya, urusan mencari pasangan masih saja menarik untuk dibicarakan.
Di era modern ini, masih ada sebagian orang yang masih saja diributkan tentang urusan jodoh. Terutama yang masih dalam status melajang, saya salah satunya. Bukan bermaksud untuk curhat.
Saya adalah tipikal wanita yang menunggu. Artinya saya akan pasif menunggu hingga kelak pangeran impian saya datang menjemput saya. Memang terlihat akan menjemukan, tapi entah mengapa saya lebih nyaman menunggu. Bukanlah dalam agama juga telah disebutkan bahwa sebelum roh kita ditiupkan segala urusan jodoh, rejeki dan kematian sudah tertulis di dalamnya. Jadi, menurut saya tidak ada salahnya menunggu, mungkin saja saat ini Tuhan sedang mempersiapkan dia agar datang di waktu yang tepat.
Seorang teman pernah berkata pada saya, “Jodoh itu memang di tangan Tuhan, Mbak. Tapi kalau nggak dicari juga nggak bakalan datang.”
Pernyataan teman saya membuat saya sedikit berpikir. Mungkinkah Tuhan tidak menggariskan kita dengan ‘Siapa’ tapi lebih dengan pilihan kita sendiri yang kemudian disetujui oleh Tuhan. Karena kalau Tuhan memang telah mentakdirkan dengan siapa, lalu kenapa masih saja ada yang namanya cinta kedua, ketiga dan seterusnya. Bahkan saat kita sudah dalam bahtera pernikahan.
“Jadi, Temukanlah jodohmu, dan biarkan Tuhan yang mengaturnya”
Terkadang cinta dan kebahagiaan tidak selalu beriringan
Satu Kata Satu Rasa adalah sebuah buku berisi kumpulan sajak. Sajak-sajak dalam buku ini lebih banyak menyajikan tentang kehilangan, kepedihan, dan kenangan.
Yang saya suka dari buku ini adalah diksinya yang sederhana tapi mampu membuat saya seolah berada di dalamnya.
Sang Penulis dengan piawai membuat kita terhanyut saat membaca lembar demi lembar, seolah kita sedang menikmati sekotak permen dengan aneka rasa. Merasakan sedih, jatuh cinta, atau tersenyum meringis.
"Maukah kau menjadi sepasang doa yang saling menjaga dimana detak nadimu dan hembus napasku melebur menjadi satu; --dalam ikatan cinta."
(Sepasang Doa-Satu Kata Satu Rasa)
Genap sebulan, hubungan yang kita rangkai telah berakhir. Entah mengapa, sampai detik ini aku belum bisa menghempaskan angan tentang dirimu. Ada rasa yang tertinggal.
Sekuat apa pun aku berusaha melepaskan semuanya, nyatanya bayanganmu masih saja menelusup sepi di benakku. Aku akui, sebagian diriku masih merindukanmu.
Aku harus bagaimana?
Beri aku cara untuk melupakanmu...
Salam Hangat,
Lagi-lagi merindukanmu
Silahkan bawa kepingan hatiku. Kelak jika semua telah benar-benar usai. Kembalikanlah utuh padaku.
Benar-benar bingung dengan perasaanku. Sebenarnya aku lagi merasakan apa sih. Kadang kangen yang satunya, kadang kangen dia yang setiap hari ngobrol. Duh, nggak bisa fokus deh.
Entahlah ini tulisan apa :D
Ad Placement