Pria Peramu Kata (8)

Pria Peramu Kata (8)

Dear Pria Kata,

Hai, apa kabar gerangan kamu di seberang sana? Baik-baik saja kan. Belakangan ini kita jarang bertegur sapa ya? Kamu dan aku sama-sama sibuk, atau kita aja yang mulai merentangkan jarak?


Entah benar atau tidak yang aku rasakan. Kamu tidak lagi hangat, dan mulai menjauh dariku.


Ah, sudahlah. Maaf jika apa yang aku rasakan salah. Yang pasti, aku tahu kamu baik-baik saja. Buatku itu cukup.


Salam hangat,


Penikmat Kata

Sepasang Senja

Sepasang Senja


Kita adalah sepasang senja


yang semburatnya selalu di nanti


waktu seringkali tak berpihak


karena dengan cepatnya senja merangkak pergi


terusir oleh pekatnya malam


Kita adalah sepasang senja


hadirnya selalu ditunggu


namun cepat berlalu


sama seperti kenangan; usang kala semua berakhir


adakah senja yang selalu dinanti?


bahkan hingga gelap mencuri semburatnya.


Surabaya, 16 juli 2012

Mencintaimu dengan sederhana

Mencintaimu dengan sederhana

Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana


menjadi seseorang yang selalu ada


Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana


seperti arakan awan yang selalu setia pada langit


Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana


cukup dengan melihatmu bahagia





Kelak, aku ingin jemari kita bertautan di depan Tuhan


Kecewa

Kecewa

Dear Kamu,

kenapa harus seperti ini?

Bahkan sebelum takdir membiarkan jemari kita bertautan

mimpi-mimpi kecil pun belum sempat kita jelang...

Salahkah aku?

Masihkah kau ragu?

Harus seperti apa aku bersikap?

Begitu kecilkah pengorbanan yang telah aku berikan.

Katamu cinta itu tanpa pamrih

Lalu, kenapa kau hitung semua apa yang telah aku lakukan?

Ah, sudahlah...

Sepertinya takdir ingin kita berlawanan arah

bukan beriringan

Biarlah rotasi ini menentukan jalannya

Jalanmu; jalanku.
Sudut

Sudut




Berkali-kali aku melirik jam di pergelangan tanganku dengan gelisah. Sudah sejam aku di sini, sendiri.


Aku mengangkat cangkir kopiku yang panasnya telah menguap.. Getir, rasa itulah yang kini tertinggal di lidah dan juga –hatiku.


Setiap pintu resto ini terbuka, secara spontan pandanganku mengarah ke sana, tapi tak juga aku temukan sosoknya.


“Sudah siap pesan, Mbak?” seorang pelayan kembali menghampiri mejaku.


“Belum, Mbak. Saya masih menunggu teman,” ujarku.


 “Baiklah, jika nanti sudah siap. Silahkan panggil saya,” ucapnya dan kemudian berlalu dari hadapanku. Sekilas aku mendengar helaan napas dari mulut sang pelayan.


Aku merogoh ke dalam tasku, mengambil sebuah cermin kecil.  Aku memastikan tidak ada noda di riasanku kali ini. Aku ingin tampil sempurna di hadapannya nanti.


Makan malam kali ini semacam perayaan hubungan kami berdua, dan aku lebih suka merayakannya dengan sederhana. Tidak ada lilin, bunga-bunga atau pun kado mewah.


********


13 Februari 2012


Di sudut ini, pertama kali bertemu. Saat itu aku sedang asyik menikmati kesendirianku dengan sebuah buku di tangan. Dia datang tergopoh-gopoh. Tubuhnya basah kuyup terkena hujan,  dan wajahnya terlihat kebingungan mencari tempat kosong.


Hari itu restoran ini sangat ramai, beberapa dari mereka lebih menunggu hujan reda.  Entah apa yang membuatku berinisiatif untuk mengajaknya bergabung denganku.


“Hai, tempat ini kosong,” ujarku.


Dia menoleh ke arahku, aku menangkap sebuah keraguan dari raut wajahnya. “Silahkan, aku hanya sendiri,” ujarku sekali lagi.


Dia tersenyum dan duduk di hadapanku. Beberapa detik kami bertatapan, selanjutnya kami larut dalam sebuah pembicaraan panjang.


********


Aku masih saja terpaku, ketika lampu-lampu Kristal mulai dipadamkan. Perasaanku sedang tidak menentu. Sedih, marah, kecewa semua bercampur menghasilkan sebuah rasa sakit yang tak terbatas. Seberapa kuat aku menahan tangisku, nyatanya beberapa bulir air mata sudah mendesak keluar.


“Maaf, Mbak. Kami sudah mau tutup,” seorang pelayan menghampiriku.


Aku mendongak, “Bolehkah saya menunggu beberapa saat lagi? Mungkin dia sedang terjebak macet,” ujarku terisak.


“Baiklah, beberapa menit lagi.”



Sudut yang berbeda


“Wanita itu datang lagi?” bisik seorang perempuan muda


“Iya. Sejak tadi dia hanya terpaku. Entah siapa yang di nanti?” jawab seorang wanita di sampingnya.


“Sepertinya dia menanti seseorang, tapi kok aku nggak pernah melihat temannya, ya?” seorang pria yang baru datang menimpali.


“Entahlah. Aku kasihan melihatnya. Hampir setiap bulan, wanita itu selalu datang. ”


“Dia nggak gila kan?” Tanya wanita bertubuh tambun.


“Huss, jangan gosip yang aneh-aneh. Sepertinya dia baru saja kehilangan seseorang yang dia cintai. Sudahlah, ayo kita kerja lagi. Nanti Pak Budi marah.”


Tiba-tiba saja ruangan itu menjadi senyap.





 

Jenuh

Jenuh

Berungkali aku tepis semua rasa ini. Tapi, tetap saja menjejak dalam hatiku. Tak pernah aku pahami mengenai semua ini.


Aku mencoba mencari jawabannya, tapi tetap saja berakhir dengan rasa yang sama.



Aku jenuh; pada kamu.


 
Pria Peramu Kata (7)

Pria Peramu Kata (7)

Dear Pria Peramu Kata,

Terima kasih telah mengijinkanku mengetuk kesunyian hatimu.
Terima kasih telah mengijinkanku bersandar sejenak di bahumu
Terima kasih telah membiarkanku mengulas senyuman di wajahmu
Terima kasih telah mengijinkanku menghapus semua dukamu

Salam Hangat,

Pengagummu
Pria Peramu Kata (6)

Pria Peramu Kata (6)

Dear Kamu,
Kenapa aku mulai merasakan rindu padamu? Merindukan bagaimana sajak-sajakmu terangkai di Time Line. Aku suka tersenyum geli, saat pertama kali kita berkenalan.
Ah, aku keGR-an. Bukankah semua pria penyajak itu ramah dan idola wanita. Benarkah itu? Benarkah aku keGR-an, atas sikapmu.

Dan sekarang aku merindukanmu

Salam Hangat,

Penikmat Kata
Pria Peramu Kata (5)

Pria Peramu Kata (5)

Dear Kamu,
Apa kabarmu? Pasti baik-baik saja. Beberapa hari ini, aku pandangi Time Linemu penuh dengan kesedihan. Adakah sesuatu yang mengganjalmu.
Biasanya kamu orang yang semangat, tapi yang aku tangkap saat ini hanya kesedihan.
Aku tak suka, jika kamu seperti itu. Aku merindukanmu yang dulu; ceria. Aku kagum padamu, terutama sajak-sajakmu.
Tetap semangat ya!


Salam Hangat,


Pengagummu

Pria peramu kata (4)

Pria peramu kata (4)

Dear Kamu,

Sudah sebulan ini aku mengenalmu lebih dekat. Bukan seperti pertama kali aku mengagumi hanya lewat timelinemu.


Ingatkah kamu tentang cerita-cerita yang biasa kita perbincangkan? Buatku kamu teman yang menyenangkan dalam berdiskusi, terutama soal tulisan. Darimu aku belajar banyak.


Bolehkah aku lebih mengenalmu lagi?



Salam Hangat,



Pengagummu

Surat Untuk Langit

Surat Untuk Langit

Dear Langit,

Lang, apa kabar dirimu?

Adakah kau merindukanku?

Aku pulang. Sekarang jarak kita tidak lagi terbentang. Sebentar lagi aku bisa kembali menatap mata elangmu itu.


Ada banyak cerita yang ingin aku sampaikan kepadamu. Mau kah kau meluangkan waktumu? Aku ingin kita duduk di tempat biasa, taman kota dengan pemandangan langit lepas. Seperti namamu, langit.


Lang, tunggu aku ya.



Salam hangat,



Venus

Jodoh di tangan siapa?

Jodoh di tangan siapa?

 Kemana…kemana..kemana? Aku harus mencari di mana?



Penggalan lagu dari Ayu Ting Ting di atas tiba-tiba menggelitik benak saya untuk menulis tentang jodoh. Kenapa tentang jodoh? Menurut saya, urusan mencari pasangan masih saja menarik untuk dibicarakan.


Di era modern ini, masih ada sebagian orang yang masih saja diributkan tentang urusan jodoh. Terutama yang masih dalam status melajang, saya salah satunya. Bukan bermaksud untuk curhat.


Saya adalah tipikal wanita yang menunggu. Artinya saya akan pasif menunggu hingga kelak pangeran impian saya datang menjemput saya. Memang terlihat akan menjemukan, tapi entah mengapa saya lebih nyaman menunggu. Bukanlah dalam agama juga telah disebutkan bahwa sebelum roh kita ditiupkan segala urusan jodoh, rejeki dan kematian sudah tertulis di dalamnya. Jadi, menurut saya tidak ada salahnya menunggu, mungkin saja saat ini Tuhan sedang mempersiapkan dia agar datang di waktu yang tepat.


Seorang teman pernah berkata pada saya, “Jodoh itu memang di tangan Tuhan, Mbak. Tapi kalau nggak dicari juga nggak bakalan datang.”


Pernyataan teman saya membuat saya sedikit berpikir. Mungkinkah Tuhan tidak menggariskan kita dengan ‘Siapa’ tapi lebih dengan pilihan kita sendiri yang kemudian disetujui oleh Tuhan. Karena kalau Tuhan memang telah mentakdirkan dengan siapa, lalu kenapa masih saja ada yang namanya cinta kedua, ketiga dan seterusnya. Bahkan saat kita sudah dalam bahtera pernikahan.


 

“Jadi, Temukanlah jodohmu, dan biarkan Tuhan yang mengaturnya”



 
Pria Peramu Kata (3)

Pria Peramu Kata (3)

Dear Kamu,
Ku pikir semua yang terjadi di antara kita beberapa hari ini nyata? Nyatanya mimpi telah melibasku di tepiannya.
Kakiku lemah, aku tak sanggup berdiri bahkan untuk bangkit.
Ku pikir apa yang kamu katakan itu nyata? Nyatanya sekarang aku tertatih untuk kembali menata hatiku.
Adakah semua itu hanya permainanmu, yang ternyata harus aku yang menjadi korbannya.
Ah, cinta mengapa kamu menyapa. Jika, harus aku yang kembali tersakiti.
Adakah takdir turut serta?

Adakah?
Satu Kata Satu Rasa (Sebuah review)

Satu Kata Satu Rasa (Sebuah review)

Gambar

Nama Buku :  Satu Kata Satu Rasa

Penulis         : Tody Pramantha

Publisher    : Nulis Buku

Terkadang cinta dan kebahagiaan tidak selalu beriringan



Cinta itu seperti sekotak permen beraneka rasa

Satu Kata Satu Rasa adalah sebuah buku berisi kumpulan sajak. Sajak-sajak dalam buku ini lebih banyak menyajikan tentang kehilangan, kepedihan, dan kenangan.


Yang saya suka dari buku ini adalah diksinya yang sederhana tapi mampu membuat saya seolah berada di dalamnya.


Sang Penulis dengan piawai membuat kita terhanyut saat membaca lembar demi lembar, seolah kita sedang menikmati sekotak permen dengan aneka rasa. Merasakan sedih, jatuh cinta, atau tersenyum meringis.




"Maukah kau menjadi sepasang doa yang saling menjaga dimana detak nadimu dan hembus napasku melebur menjadi satu; --dalam ikatan cinta."


(Sepasang Doa-Satu Kata Satu Rasa)