Cerita tentang hujan (6): Tidak berjalan sempurna.




Jam digital di laptopku menunjukkan pukul 01.30. Jam istirahat di kantor baru saja usai. Beberapa karyawan sudah kembali ke mejanya masing-masing, termasuk sekretarisku.
Aku sendiri tengah membereskan barang-barangku dan bersiap pergi. Aku sengaja menunda makan siangku dan menyelesaikan semua pekerjaanku lebih awal. Ada janji yang harus kutepati dengan seseorang.
Aku tersenyum. Seseorang gadis tanpa nama membuat beberapa hariku berubah. Biasanya aku dikenal orang yang gila kerja dan baru pulang sehabis magrib. Kini, aku lebih memilih pulang lebih awal. Setelah sebelumnya aku memastikan jadwalku pada Riska.
Sambil bersiul aku merapikan mejaku, mematikan layar komputer, dan yang terakhir menyambar tas kerjaku. Bersiap pergi.
Pintu terbuka. Damar masuk dengan tatapan heran. Lelaki berpotongan tentara yang mengenakan kemeja biru laut dengan bawahan hitam itu duduk pinggiran meja kerjaku sambil bersedekap tangan. "Lo mau cabut?"
"Ada urusan." aku beringsut dari kursi. Menenteng tas kerjaku, mengabaikan tatapan tajam dari Damar. "Gue udah bikin rancangan untuk butik bu Vera. Kamu minta sama Riska."
"Kemana?" Damar berdiri, mengikuti dari belakang.
"Gue bukan pacar lo yang harus laporan." 
Aku melambaikan tangan meninggalkan Damar.


***
"Selamat datang!"
Sapaan khas para barista langsung menyambut begitu pintu kudorong. Pandanganku mengembara, mencari keberadaan gadis itu di antara pengunjung.
Sepertinya gadis itu belum datang. Aku memutuskan untuk memesan kopi sembari menunggu gadis itu datang.
Aku menjatuhkan diri di salah satu kursi dekat jendela. Tempat kali pertama kami menghabiskan waktu bersama. Aku membuka ponsel. Membaca beberapa status dari media sosial teman-temanku.
Seorang wanita muda mengenakan apron merah mengantarkan pesananku. Secangkir Americano yang masih panas. Aku mengulas senyum sebagai ucapan terima kasih.
Setiap kali bel di atas pintu berdenting, aku langsung menoleh. Berharap itu gadis yang kutunggu. Tapi, sampai beberapa menit. Gadis itu tidak juga muncul.
Isi cangkirku tinggal separuh. Para pengunjung silih berganti keluar dan masuk. Gadis itu belum juga hadir.
Dia belum juga datang. Apa dia lupa?
Setengah jam berlalu, aku memutuskan untuk pergi. Sepertinya gadis itu tidak datang hari ini. Dan, aku merasa bodoh karena lupa menanyakan siapa namanya dan berapa nomor ponselnya. Mungkin, di pertemuan berikutnya aku akan menanyakannya.
Aku berdiri di depan bangunan pencakar langit yang tepat berada di depan cafe. Mengamati, apakah gadis itu berada di sana. Sial, bahkan nomor apartemennya saja aku tidak tahu.
Ah. Gadis yang satu ini membuatku tolol. Biasanya di pertemuan pertama aku langsung bisa mendapatkan seluruh data pribadinya.
Dia berbeda dari kebanyakan gadis yang kukenal.
Aku baru akan melangkah pergi saat sebuah ide terlintas di hadapanku. Bagaimana jika aku menitipkan sebuah pesan di cafe. Siapa tahu gadis itu akan mampir ke sana nanti.

Aku benar-benar tak tahu cara menghubungimu. Ini nomor teleponku. 08123444xxx. Hubungi aku secepatnya.

Rama

*****


0 COMENTÁRIOS

Post a Comment