Sejenak Saja

Sejenak Saja

Sejenak saja ingin aku tinggalkan semua keletihan yang aku rasakan.

Sejenak saja, aku ingin berada di dekatmu

Sejenak saja, biarkan aku berada dalam dekapan mimpimu

Sejenak saja,

Waktuku tak akan lama
Mimpi kita

Mimpi kita

Masihkan namaku disudut hatimu?

Masihkan janji itu tertinggal dibenakmu?

entah mengapa semua terlihat berbeda

kita tak lagi sama

aku merasakan jarak diantara kita kian jauh

sulit untuk aku menemukamu

Adakah kamu merasakannya?
Sebentar saja

Sebentar saja

Aku tahu semua ini hanya mimpi panjang


kelak jika aku terbangun, akan aku dapati duniaku yang sesungguhnya


Mungkin tidak pernah akan ada cerita tentang kamu


Semuanya akan hilang seperti terserap dalam pusaran air



Tak bolehkah aku sejenak bersandar di bahumu?


Menenggelamkan semua rasa yang menggelayuti mimpiku


Lelahkah kau dengan semua ini?



Sebentar saja


Jika kau sudah lelah, bolehlah kau tinggalkanku disini

Sekali saja

Sekali saja

Sekali saja, aku minta kau di sini
Menemaniku menikmati malam

Sekali saja dengarkan isi hatiku
Merintih rindu karenamu

Sekali saja, bisikkan kata rindu
Untuk menemani lelapnya tidurku

Sekali saja
Sebelum mimpi ini benar-benar berakhir
Luka

Luka

Aku tak pernah mengerti apa salahku. Tiba-tiba saja kau torehkan sebuah luka. Entah harus seperti apa aku harus bertahan. Jika luka yang kamu buat kian dalam.
Apa salahku?
Kenapa kau sakiti aku sedemikian hebatnya.
Bahkan aku tertatih untuk bangkit.


Sungguh teganya dirimu

Sudahlah

Sudahlah

Dear Kamu,
Adakah aku pernah menyakitiku? Hingga kau dengan sengaja menyakitiku. Kini aku mengerti tentang semua sikapmu kepadaku.
Haruskah aku katakan padamu, bahwa hatikulah yang paling tersakiti. Tapi apa pedulimu. Kau kan tak pernah menganggapku.
Sungguh aku lelah dengan semua permainan watakmu. Dan kebodohan telah mencemari benakku.

Pergilah, bawa semua mimpi-mimpi itu. Biarlah aku sendiri--menerima kekalahan ini.
Perih

Perih

Perih ini kembali menepi


membuat luka yang semakin dalam


dan kali ini tidak ada penyembuhnya


bodohnya aku


percaya akan semua omonganmu

Ketika Kegagalan Berbuah Sebuah Keberhasilan

Ketika Kegagalan Berbuah Sebuah Keberhasilan


Jika kamu berpikir bahwa kegagalan selalu membuatmu jatuh. Kamu salah.


Aku pernah jatuh, tapi sekarang aku bisa bangkit.


(Luphyta, 04-04-2012)



Seorang teman kemarin bertanya mengapa beberapa hari ini tidak ada tulisan baru di blog ini. Dan sekarang saya berusaha memenuhinya.


Siapa pernah gagal? Siapa yang pernah merutuki nasib yang kadang tidak selalu manis?


Jawabnya, saya.


Nggak percaya?


Percaya aja deh :D


Sepertinya saya pernah buat postingan juga mengenai betapa kecewa saya ketika 2x mengikuti tes jenjang S2 semuanya gagal total. Kalau gagal sekali itu wajar, lah ini sampai 2x dengan alasan yang menurut saya sangat subjektif.


Terus terang saat itu saya benar-benar kecewa, marah. Saya merasa punya kemampuan yang sama dengan orang lain, tapi entah kenapa 'mereka-mereka' itu hanya melihat kekurangan saya.  Dangkal banget kan?


Saya sempat down dan tidak berani bercerita kepada kedua orang tua mengenai pendapat mereka tentang saya. Saya tidak mau kedua orang tua saya sedih.


Ternyata tidak selamanya kegagalan itu menyakitkan. Masih ada rencana dari Allah Sang Pencipta yang ternyata sangat -hebat. Saking hebatnya, saya bersyukur kalau dulu saya pernah gagal.


Semenjak nggak lulus tes S2, saya kembali menekuni dunia menulis, bertemu dengan orang-orang baru yang mempunyai passion yang sama.  Mulai merencanakan menyelesaikan novel perdana, hingga akhirnya saya bisa menghasilkan sebuah kumpulan cerpen yang ditulis bertiga dengan kakak-kakak yang luar biasa.


Orang tua pun mulai menyibukkan saya dengan mengikutkan Les Bahasa Inggris. Di tempat les saya bertemu dengan teman-teman luar biasa, juga dengan guru yang membuat saya nyaman. Mereka tidak melihat kekurangan, mereka menilai semuanya positif.


Beberapa bulan kemudian saya pun diterima kerja di sebuah sekolah dengan mudah. Lagi-lagi saya dikelilingi orang-orang yang menghargai sebuah kemampuan. Mereka mendukung saya, bahkan juga beberapa wali murid.


Dan saya pun diberi kesempatan untuk mengikuti lomba guru berprestasi. Terus terang saya nggak percaya diri, soalnya merasa kemampuan saya biasa saja, nggak ada yang istimewa. Saat mengikutinya pun akhirnya pasrah.


Ketika masuk ruang ujian cuman bisa senyam-senyum. Pasalnya semua guru yang ikut usia di atasku. Aku merasa paling muda dengan pengalaman yang superminim.


Ketika pengumuman berlangsung, aku juga tidak pernah menyangka bahwa nama saya akan berada di urutan pertama dengan nilai tertinggi. Antara percaya atau tidak saya pun dengan berani melaju ke babak berikutnya.


Para pengawas pun sempta menertawakan saya, karena sertifikat yang dibawa terlalu sedikit, tapi ketika ada sebuah buku di dalamnya, mereka tambah kaget. Mereka bilang bahwa saya harus meneruskan hobby menulis saya, karena ini dapat menambah poin saya kelak ketika sertifikasi.


Saya pun berbangga hati bisa menempati urutan ke empat, sebab kata pengawas saya kalah hanya karena masa kerja saya yang masih sedikit.


Andaikan saat ini saya sedang kuliah S2, saya mungkin tidak akan pernah bertemu dan mendapatkan pengalaman yang luar biasa.

Surat kepada Langit

Surat kepada Langit

Dear Langit,


Sudah setahun rasanya aku pergi meninggalkanmu. Meninggalkan semua rasa kepadamu.


Seperti apa dirimu saat ini, Lang? Masihkah sama seperti setahun lalu.

Ada banyak cerita yang ingin aku sampaikan padamu, Lang. Maukah engkau mendengar jika aku kembali nanti?


Aku harap kamu adalah langit sahabatku yang dahulu.