Postingan Di Bulan November

Postingan Di Bulan November





Postingan ini berawal dari sebuah tag di Facebook. Seorang blogger mengucapkan terima kasih atas ide saya dalam #30HariMenulisBlog membuatnya kembali bersemangat untuk menulis blog.  
Sejujurnya antara senang dan malu juga sih, sebab saya sendiri belum menyelesaikan tantangan #30HariNgeblog. Dan, saya juga sudah hampir 2 bulan tidak memposting apa pun.
Bukannya sedang tak ada ide. Hanya saja pekerjaan membuat saya sedikit sibuk (Alasan klise :D ) dan sedang ingin memfokuskan diri pada proyek menulis.

Well, mungkin saya tidak akan berkomitmen lagi untuk menulis blog selama 30 Hari. Tapi, saya akan berusaha untuk memposting tulisan lagi. Ya, setidaknya tidak membuat blog saya menjadi sarang laba-laba.

Tidak terlalu terlambat, kan? 

Selamat datang November 



Tanpa judul

Tanpa judul

Kamu ingat? Aku pernah meminta satu hal kepadamu untuk terus tetap di sisiku. Menemani hariku, menggenggam erat tanganku dan mengatakan 'semua akan baik-baik saja'

Aku memercayaimu. Sebesar hati yang kuserahkan padamu.

Lalu, 
Sekarang kamu menghilang. Melupakan janji yang pernah kaubisikkan di telingaku. Ironi bukan?
Ketika aku memercayaimu. Namun, kamu lupa untuk percaya kepadaku. Bukankah cinta itu timbal balik?
Entahlah.

Tak adakah cinta yang tersisa, Sayang?







Perpisahan

Perpisahan

Tak pernah ada yang menginginkan perpisahan. Tapi, kalau terus bersama semakin membuat luka itu menganga lebar tanpa ada penyelesaian. Melepaskan salah satu jalannya.

Semua merasa sakit itu pasti. Namun, terlalu lama menyimpan luka akan membuat orang di sekelilingmu terluka.

10 Daftar/harapan

10 Daftar/harapan

Setiap orang punya harapan/keinginan yang membuatnya tetap semangat menjalani hidup. Berikut ini 10 daftar harapan yang saya inginkan di dalam hidup.

1. Menikah dalam waktu dekat
2. Salah satu naskah novel saya diterbitkan
3. Mengunjungi salah satu negara di Eropa
4. Kembali mengunjungi Baitullah
5. Tidak lagi menjalani operasi
6. Bisa membuat papi dan mami tersenyum
7. Memiliki taman bacaan pribadi
8. Berkeliling Indonesia
9. Selalu sehat
10.Tetap menulis
Book Review: Notasi

Book Review: Notasi

Dokpri


Judul Buku   : Notasi
Penulis         : Morra Quatro
Penerbit       : Gagas Media
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, 2013
Tebal            : 290 halaman

Blurb:
Rasanya, sudah lama sekali sejak aku dan dia melihat pelangi di langit utara Pogung. Namun, kembali ke kota ini, seperti menyeruakkan semua ingatan tentangnya; tentang janji yang terucap seiring jemari kami yang bertautan.
"Segera setelah semuanya berakhir, aku pasti akan menghubungi kamu lagi."

 Itulah yang dikatakannya sebelum dia pergi. Dan aku mendekap erat-erat kata-kata itu, menanti dengan harap. Namun, yang datang padaku hanyalah surat-surat tanpa alamat darinya. Kini, di tempat yang sama, aku mengurai kembali kenangan-kenangan itu.



****
Review:

Jujur, awal saya membeli novel ini karena saya tertarik dengan cover depannya yang vintage, walaupun saya bukan penyuka barang-barang antik. Tapi, cover depan yang sederhana itu terlihat unik. Alasan kedua saya membeli buku ini adalah ini kali pertama saya membaca karangan Morra Quatro ini. Bukannya, saya tak kenal dengan nama penulis ini. Hanya saja, saya lebih saat itu lagi jenuh membaca buku romance.

Buku ini cukup lama nangkring di rak buku. Saya punya kebiasaan menyisakan buku yang saya anggap 'bagus' untuk dibaca belakangan dan kebetulan ketika membeli buku ini saya sedang menulis novel dengan pov 3. Dengan alasan novel ini menggunakan pov 1. Jadi, saya menunda membacanya.
#30HariNgeblog: Back To You

#30HariNgeblog: Back To You


Kenangan itu ada di mana-mana. Kamu tidak akan bisa menebak kapan kenangan itu hadir. Tiba-tiba saja waktu seakan terhenti. Membekukan tubuh dan isi kepalamu. Hanya karena aroma parfum. Aroma yang sama milik seseorang yang pernah menyewa sebagian hatimu.

Pada awalnya aku hanya datang ke kedai kopi ini untuk membeli secangkir kopi hitam. Memenuhi asupan kaffein agar mataku yang berat ini tetap terjaga. Seperti biasa aku berjalan menuju kasir, menyebutkan nama minuman yang akan kupesan, kemudian membayar sejumlah harga yang tertera.

Sembari menunggu barista meracik minuman yang kupesan, kukeluarkan ponsel. Mengecek beberapa email yang masuk, lalu menulis status bahwa aku sedang menunggu kopi selayaknya anak gaul jaman sekarang. Ya, setidaknya biar kelihatan bahwa diriku aktif di media sosial.

Lamat-lamat aku menghidu aroma lavendel bercampur citrus. Beberapa detik aku terdiam. Indra penciumanku seakan tidak asing dengan aroma ini. Aroma yang menemani setiap hariku --setahun yang lalu.  Lalu, potongan kenangan yang telah kusimpan satu persatu menyeruak lengkap dengan siluet tubuh Alia saat terakhir mengucapkan selamat tinggal.

"Kita nggak bisa bersama lagi, Attar. Ada mimpi yang harus kukejar. Dan, itu bukan denganmu."

Rasa perih di dadaku kembali terasa ketika ucapan terakhir Alia setahun yang lalu kembali terngiang. Segalanya masih terasa nyata untukku.  Seakan kini berdiri di hadapanku. Sekuat apa pun aku berusaha melupakan namanya. Nama Alia telah menjejak kuat di sudut hatiku. Ada banyak cerita manis yang kita alami bersama. Serta merta tak mudah menghapus nama Alia dari benakku.

"Mas. Pesanannya."
"....."
"Mas...!"

Suara barista membuatku tersadar. Dengan cepat aku meraih gelas plastik berisi kopi pesananku, lantas melangkah ke luar kedai dengan perasaan tak menentu.  Sialnya, pagiku mulai dengan kenangan masa lalu.


Back to you
It always comes around

Back to you

I tried to forget you

I tried to stay away

But it's too late 
Over you
I'm never over
Over you
Something about you
It's just the way you move
The way you move me

(Back to You-John Mayer) 







#30HariNgeblog: Orang Ketiga

#30HariNgeblog: Orang Ketiga

orang ketiga

"Pernah nggak kamu mencintai seseorang, tapi tidak bisa memilikinya?" tanyaku pada Kinara. Disela-sela kesibukan kami mempersiapkan ide storyboard untuk sebuah iklan minuman ringan.

Gadis yang mengenakan blouse tanpa lengan berwarna coklat itu mengernyitkan dahinya ke arahku. "Bertepuk sebelah tangan?" dia balik bertanya.

Aku menggeleng. "Bukan itu maksudku"

"Lalu?" Kinara memutar kursinya tepat ke arahku. Kini, fokus perhatian gadis itu tertuju padaku.

"Saling mencintai. Tapi, sayangnya tidak bisa memilikinya," jawabku menerawang. Mengingat Wisnu. Lelaki yang beberapa bulan dekat denganku.

"Jangan bilang.?" Kinara terlihat ragu untuk melanjutkan pertanyaannya.

Ketika aku mengangguk. Gadis itu menutup mulutnya sebagai bentuk kekagetannya. "Bagaimana ceritanya, Thalia?"

"Aku bertemu dia di acara reuni sekolah. Namanya Wisnu. Lelaki itu dua tingkat di atasku," aku berhenti. Siluet wajah Wisnu berkelebat di benakku.  "Itu kali pertama bertemu.

Menurut Wisnu, dia sudah lama melihatku ketika duduk di bangku sekolah. Namun, lelaki itu tak berani mendekatiku karena aku anak salah satu guru di sana. Kamu tahulah gimana rasanya?" Aku tertawa kecil.
"Jadi, lelaki itu sudah lama mengagumimu?" tanya Kinara.

Aku mengedikkan bahu. "Entahlah. Mungkin iya. Mungkin juga tidak."

"Bagaimana kamu tahu lelaki itu sudah ada yang memiliki?"

"Ketika bersalaman dengannya. Aku melihat sebuah cincin tersemat di jari manisnya. Saat itu waktu seakan terhenti, Nara. Patah hati sebelum memiliki rasanya lebih menyakitkan."

"Kalau kamu tahu dia sudah menikah. Kenapa kamu lanjutkan?" aku mendengar nada cibiran dari ucapan Kinara barusan.

 "Cinta membuatku bodoh." Aku tertawa kecil. "Kami saling mencintai. Hanya saja bertemu di waktu yang salah."

"Kamu sadar kalau itu akan membuatku sakit dan ada seseorang di sana yang kamu sakiti hatinya." Benik hitam bulat milik Kinara mengunci pandanganku.

"Aku sadar. Cukup sadar." Aku menghela napas. "Aku sudah cukup puas untuk menjadi nomor 2."

"Sampai kapan, Thalia?"

Pertanyaan Kinara seperti anak panah yang melesat langsung ke hulu hatiku. Menggoyangkan sedikit pertahananku."

Aku nggak tahu," jawabku lirih. Mataku memanas, dadaku bergejolak. Kugigit bibir bawahku keras-keras. Supaya air mata yang mulai menggenangi kelopak mataku tidak jatuh.

Kinara merengkuhku dalam pelukannya. Membiarkanku menumpahkan segala emosi yang bersemayam di dadaku.

"Kalau kamu tak sanggup untuk menunggu. Maka, berhentilah sekarang," bisik Kinara saat tangannya mengelus lembut rambutku.

Postingan ini untuk meramaikan #30HariNgeblog
#30HariNgeblog: Secangkir Coklat Panas

#30HariNgeblog: Secangkir Coklat Panas


Aku baru saja menginjakkan kaki di kubikel ketika kulihat secangkir minuman yang masih mengepul di atas meja kerjaku. Aku menaruh tas di atas meja, kemudian menyandarkan tubuhku di kursi yang bisa berputar.

Rasa hangat menjalar di telapak tangan saat cangkir itu berada di dalam genggamanku. Secangkir coklat panas. Minuman kesukaanku. Aku menghidu aromanya, lalu menyesapnya perlahan. Rasa manis bercampur gurih mengalir di tenggorokanku. Menciptakan kehangatan yang merambat di seluruh tubuh.

Ini bukan kali pertama. Kalau kuhitung-hitung, sudah semingguan setiap pagi. Secangkir coklat panas diletakkan di atas meja kerjaku.  Tanpa pesan atau nama pengirim. Menggelikan. Tapi, aku menyukainya. Itu berarti sang pengirim mengenal betul siapa aku.
Penggemar minuman coklat.

Pernah suatu hari kutanyakan pada Budi --salah satu OB yang bekerja di kantor. Aku bertanya padanya siapa yang meletakkan secangkir coklat di kubikelku. Lelaki muda yang hanya tamatan SMA itu tak memberi petunjuk apa pun. Respon yang diberikan Budi adalah senyuman.

What?? Nggak mungkin Budi yang ngirim ini. Apa mungkin Andra? Bukankah lelaki itu tahu kalau aku suka minum coklat.

Menyebut nama Andra membuat pipiku memanas. Aku menggelengkan kepala, mengenyahkan bayangan lelaki yang mirip Jhonny Depp itu dari benakku. Nggak mungkin, Si Boss Andra itu melakukan hal semacam ini. Memangnya aku siapa?

"Budi. Tolong kamu taruh minuman ini di meja Laras," pesan Andra yang pagi ini mengenakan kemeja berwarna biru muda dibalut jas hitam.

Lelaki yang bernama Budi itu mengangguk. "Baik, Pak. Ada lagi?"

"Nggak ada. Pastikan Laras nggak tahu soal ini ya." Lelaki itu menepuk pundak Budi. Kemudian menyelipkan selembar uang kertas di tangan Budi.

Andra berjalan ke ruanganya dengan hati berbunga-bunga. Dia menjatuhkan tubuhnya di sofa empuk terbuat dari beledu berwarna coklat. Tangannya meraih cangkir di atas meja yang masih mengeluarkan asap. Lelaki itu meneguknya perlahan. Minuman yang sama seperti milik Laras. Secangkir coklat hangat.

Postingan ini ikut meramaikan #30HariNgeblog