Jarak
Jarak itu selalu bisa membuatmu lebih keras berusaha, lebih menyadari bahwa kedekatan bukan hanya raga melainkan juga jiwa. - @adelladellaide
Ad Placement
Jarak itu selalu bisa membuatmu lebih keras berusaha, lebih menyadari bahwa kedekatan bukan hanya raga melainkan juga jiwa. - @adelladellaide
Bersama ortu pas ke Lombok |
Aku masih mengais-ngais rindu di antara kepingan hati yang kau patahkan
Well, postingan ini mungkin bukan resolusi. Tapi, hanya sekadar perenungan untuk tahun ke depannya supaya lebih baik lagi.
1. Lebih menggunakan "hati" untuk melihat hal-hal yang ada di dunia.
2. Belajar untuk tidak mengeluh dan bersyukur
3. Membaca lebih banyak buku
4. Lebih rajin menulis
5. Setidaknya menerbitkan 1 buku untuk tahun ini.
google.com |
"Kalau seumur kamu sudah jangan kebanyakan milih. Apalagi urusan tampang. Terima aja apa adanya."
Kemarin, seorang teman mengatakan itu pada saya. Walaupun dengan nada setengah bercanda. Saya tahu bahwa itu adalah sebuah sindiran.
Sebenarnya itu bukan kali pertama saya disindir soal kesukaan saya sama dunia tulis-menulis. Beberapa orang terdekat mengganggap bahwa aktivitas menulis itu nggak penting. Apalagi kalau yang ditulis isinya tentang cinta. Katanya itu cuman bikin dirimu galau saja.
Coba buka laci nomor 2. Aku meninggalkan sesuatu untukmu.
Airin mengerutkan dahi saat membaca pesan singkat yang dikirimkan oleh Rio --suaminya.
Dia bergegas menuju kamar. Mengikuti apa yang ditulis suaminya dalam sms yang baru saja diterimanya.
Airin membuka laci kamarnya. Merogoh ke dalam. Mencari apa yang ditinggalkan sang suami untuknya. Wanita itu mengernyit ketika menyadari satu-satunya benda yang ada di laci hanyalah sebuah kertas.
Dengan penuh rasa penasaran Airin membukanya. Hanya terdapat coretan seperti peta denah dan sebuah pesan yang ditulis dipojok bawah.
ikuti jalan ini dan kamu menemukan jawabannya.
Airin tersenyum. Rio menyiapkan sebuah kejutan untuknya.
Aiko merentangkan tangannya, kemudian menggerakkannya seakan kupu-kupu yang sedang terbang. Bibir mungilnya tak berhenti melafalkan nyanyian yang tak jelas.
Tak jauh dari Aiko berdiri, seorang wanita paruh baya menatap dari kejauhan. Sepasang mata yang mulai menua itu berkaca-kaca saat menyaksikan Aiko yang sedang bernyanyi.
Dadanya terasa sesak menyaksikan putri semata wayangnya yang berputar-putar sambil meracaukan sesuatu yang tak jelas.
Kasihan dirimu, Nak. Semenjak ayahmu pergi. Kamu terobsesi menjadi kupu-kupu
Aku menengadahkan tanganku. Membiarkan daun-daun berwarna oranye yang berjatuhan memenuhi ceruk tanganku.
Aku sangat suka musim gugur.
Rasanya menyenangkan melihat dedaunan beraneka warna berjatuhan dari langit. Belum lagi aroma khas daun kering yang bersentuhan dengan tanah. Menenangkan.
Hari ini seperti biasa, sepulang kerja aku mampir ke sebuah taman yang letaknya tak jauh dari kantor. Selain untuk menikmati udara sore. Ada hal yang lebih penting.
Aku menunggu seseorang.
Lelaki itu datang lagi. Kali ini dia mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru laut dengan bawahan celana cargo berwarna dongker. Rambutnya diberi gel lalu dibentuk jambul ke depan. Dia sungguh manis.
Seperti biasa lelaki itu selalu duduk di sudut dekat jendela. Seakan menunjukkan bahwa dia ingin menjauh dari keramaian.
Aku membetulkan celemekku sesaat sebelum menyambar buku menu dan berjalan menghampiri lelaki itu.
"Mau pesan?" Tanyaku sambil memegang kertas pemesanan.
"Expresso,"ucapnya tanpa tersenyum.
"Baik ditunggu." Aku menyunggingkan senyuman ramah.
Lelaki itu menatapku dingin, kaku.
****
"Dia datang lagi?" Bisik Robi.
Aku mengangguk. "Pesanannya pun selalu sama Exspresso."
"Lelaki yang aneh. Pesan kopi tapi nggak pernah diminum," timpal Bowo yang sedang membuat pesanan lelaki itu.
Aku mengedikkan bahu. "Biarkan saja. Dia kan pelanggan kita."
"Rie. Kamu yang antar ya."
Aku mengambil baki dan meletakkan secangkir exspresso yang masih menepul. Lalu, membawanya ke meja nomor 16.
"Ini pesanannya." Aku meletakkan cangkir itu di hadapannya. "Silakan dinikmati."
Lelaki itu tak merespon apa yang kukatakan. Tatapannya hanya mengarah pada sebuah foto yang sudah usang.
Lelaki yang tampan. Tapi, sayang tak bisa melupakan kenangan.
"Aku harus bisa menyelesaikannya sebelum Matahari tenggelam." Aku mengangkat kedua tangan sebagai perwujudan bahwa sedang bersemangat.
Di depanku ada beberapa tumpukan berkas-berkas yang harus segera diselesaikan. Aku menghela napas panjang. Ini akan menjadi hari yang sibuk.
***
"Naru, tolong kamu selesaikan laporan penjualan ni secepatnya. Kalau bisa sebelum Matahari tenggelam," perintah Budi.
"Hah?" Tanyaku kaget.
"Kamu harus selesaikan. Kalau tidak kamu kupecat." Suara pak Budi meninggi.
Aku meninggalkan ruangan Direksi dengan kaki lunglai.
bagaimana caranya aku menyelesaikan laporan sebanyak itu?
Ting...
Sebuah ide terlintas. Aku mengambil sebatang korek. Lalu, kulemparkan pada kertas-kertas yang sudah kutumpuk rapi.
Aku tertawa-tawa. Memandangi nyala api yang mulai membesar.
Pada hujan yang berjatuhan, aku sematkan doa-doa untukmu. Semoga kamu selalu baik-baik saja
Pesonamu itu racun. Dan, sialnya aku rela meneguknya sampai mampus.
"Percayalah, Nak. Selalu ada pelangi setelah badai."
Aku mengingat pesan yang Ayah ucapkan setahun lalu. Saat itu, badai besar sedang menghantam keluarga kami. Ibu tiba-tiba memutuskan meninggalkan rumah setelah merasa menemukan 'belahan hatinya.' Seorang laki-laki yang dikenalnya di pusat perbelanjaan.
Sinting!
Sejak itu, tak kutemukan lagi pelangi di sepasang mata bulat yang selalu menatapku dengan penuh cinta. Sinarnya meredup, atau bahkan berhenti berpendar.
Ayah berubah menjadi lelaki yang pendiam. Mengurung diri di kamar dengan asap tembakau yang menyesaki dadanya. Dan, kerap kali kutemukan ayah menangis sambil memeluk foto Ibu.
Satu hal yang paling aku inginkan saat ini adalah sentuhan lembut dari tangan ayah.
Ya. Aku amat merindukan jemari-jemari yang kini mulai keriput itu menyentuh wajahku, mengelap air mata yang menganak sungai di kedua tulang pipiku, atau sebuah sentuhan ringan di ujung rambutku.
Rasanya bertahun-tahun, jemari Ayah tak pernah menggenggamku. Sama seperti dulu saat kali pertama, lelaki itu mengajarkanku menapaki dunia.
Ya Tuhan. Aku rindu.
Kini, tak ada lagi pelukan yang terentang, dan dada yang kokoh untuk mengatakan bahwa semua baik-baik saja.
Lelaki itu kini menjelma monster, di mana jemarinya sibuk menggenggam botol-botol bearoma obat pembersih lantai. Bibirnya tak pernah berhenti mengeluarkan sumpah serapah setiap kali aku melakukan kesalahan.
Jemari yang dulu biasa menyentuhku, kini menjelma tangan-tangan kasar yang meninggalkan bekas pada kulit putihku.
Entah, apa yang membuatnya seperti itu. Yang pasti, lelaki itu kini tak lagi menjadi pelindung bagiku.
Aku menghapus air mata yang berjatuhan dari pelupukku, saat menatap foto usang Ayah yang menggengam erat tangan mungilku. Dulu.
Hanya sebuah perayaan makan bersama keluarga. Rasanya sudah menyenangkan.
Puluhan doa yang dikirimkan para sahabat dan kerabat adalah hal yang terindah.
Ad Placement