#31HariFF: Pelangi di mata ayah

#31HariFF: Pelangi di mata ayah

20131211-183432.jpg

"Percayalah, Nak. Selalu ada pelangi setelah badai."


Aku mengingat pesan yang Ayah ucapkan setahun lalu. Saat itu, badai besar sedang menghantam keluarga kami. Ibu tiba-tiba memutuskan meninggalkan rumah setelah merasa menemukan 'belahan hatinya.' Seorang laki-laki yang dikenalnya di pusat perbelanjaan.


Sinting!


Sejak itu, tak kutemukan lagi pelangi di sepasang mata bulat yang selalu menatapku dengan penuh cinta. Sinarnya meredup, atau bahkan berhenti berpendar.
Ayah berubah menjadi lelaki yang pendiam. Mengurung diri di kamar dengan asap tembakau yang menyesaki dadanya. Dan, kerap kali kutemukan ayah menangis sambil memeluk foto Ibu.


Begitukah cinta? Melepaskan yang dia sayang agar terlihat bahagia.

Bodoh.
Harusnya Ayah berjuang. Bukan hanya diam mematung. Meratapi nasib karena takdir yang tak berpihak.

Dan, ayah selalu menjawab, "Melepaskan orang kamu cintai itu berarti kamu membiarkan dia bahagia."

Ah, persetan dengan itu. Aku hanya ingin kembali melihat pelangi di mata ayah. Karena dari situlah hidupku berasal. Kalian boleh sebut aku Elextra Complex. Tapi, inilah kenyataan bahwa aku mencintai ayah melebihi apa pun.
#31hariff: Ayah

#31hariff: Ayah

20131210-173116.jpg

Satu hal yang paling aku inginkan saat ini adalah sentuhan lembut dari tangan ayah.
Ya. Aku amat merindukan jemari-jemari yang kini mulai keriput itu menyentuh wajahku, mengelap air mata yang menganak sungai di kedua tulang pipiku, atau sebuah sentuhan ringan di ujung rambutku.
Rasanya bertahun-tahun, jemari Ayah tak pernah menggenggamku. Sama seperti dulu saat kali pertama, lelaki itu mengajarkanku menapaki dunia.
Ya Tuhan. Aku rindu.


Kini, tak ada lagi pelukan yang terentang, dan dada yang kokoh untuk mengatakan bahwa semua baik-baik saja.


Lelaki itu kini menjelma monster, di mana jemarinya sibuk menggenggam botol-botol bearoma obat pembersih lantai. Bibirnya tak pernah berhenti mengeluarkan sumpah serapah setiap kali aku melakukan kesalahan.
Jemari yang dulu biasa menyentuhku, kini menjelma tangan-tangan kasar yang meninggalkan bekas pada kulit putihku.


Entah, apa yang membuatnya seperti itu. Yang pasti, lelaki itu kini tak lagi menjadi pelindung bagiku.


Aku menghapus air mata yang berjatuhan dari pelupukku, saat menatap foto usang Ayah yang menggengam erat tangan mungilku. Dulu.

My Eight December

My Eight December

20131208-194016.jpg

No cake no candle

Hanya sebuah perayaan makan bersama keluarga. Rasanya sudah menyenangkan.
Puluhan doa yang dikirimkan para sahabat dan kerabat adalah hal yang terindah.


Semoga tahun ke depan. Aku menjadi pribadi yang lebih baik. Memiliki karya untuk dibanggakan.

Selamat ulang tahun diriku. Semoga kebahagiaan terlimpahkan untukmu.

Surabaya, 08-12-1984
#31HariFF: Gadis di balik jendela

#31HariFF: Gadis di balik jendela

20131208-181624.jpg

Dari balik tirai aku suka memperhatikan apa yang ada di luar sana.
Sesekali aku mencoba untuk berinteraksi dengan mereka. Melambaikan tangan atau menyunggingkan senyum pada seseorang yang tak sengaja melihat sosokku. Anehnya tak satupun dari mereka menyadari keberadaanku. Meskipun aku melambaikan tangan beberapa kali ke arah mereka.
Seperti hari ini saat aku berusaha beramah tamah pada Ny. Ross --tetangga sebelah rumah. Sayangnya, wanita paruh baya itu tak melihat senyumku. Dia malah asyik berbicara dengan bunganya.


Lamat-lamat aku mendengar suara orang sedang bercakap-cakap. Dengan hati riang aku menuruni tangga. Melihat siapa yang berkunjung.


Aku mengintip dari jendela ruang tamu. Di luar ada 2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan muda. Mereka sepertinya sedang mendiskusikan sesuatu.
Tunggu dulu, aku melihat sebuah mata mungil sedang melongok ke dalam rumah.


Aku melambaikan tangan untuk menyapanya. Mata mungil itu mengerjap. Dan, satu tangannya yang juga mungil membalas lambaianku.


Akhirnya, aku punya teman di rumah ini

Aksara Yang berserakan

Aksara Yang berserakan

Ada barisan kata yang masih berserakan di bukuku

semua kisah tentangmu yang tak selesai aku tulis

dan, juga kisah kita yang tiba-tiba berakhir

Inikah saatnya kita berpisah?

Bahkan sebelum sempat kita berjabat tangan

Ah, takdir.

Ternyata kita hanya dipertemukan dalam mimpi

 

Barisan aksara itu masih saja berserakan dalam buku kehidupanku

Menunggu sosokmu untuk menggenapkannya.
#31HariFF: Test Pack

#31HariFF: Test Pack

[caption id="attachment_3192" align="aligncenter" width="640"]Google.com Google.com[/caption]

"Huft....gagal lagi," keluh Nadira saat melihat garis merah satu pada test pack dalam genggamannya. Ada seberkas rasa kecewa bergelayut di dadanya. Semua perjuangannya beberapa bulan terakhir ini terasa sia-sia karena satu garis merah. Ya, hanya sebuah garis merah yang membuat seluruh hidupnya berubah.


****


Setahun sebelumnya.


"Kamu yakin akan melakukan semua ini, Jo?" tanya Bapak dengan raut wajah tak percaya.


"Paijo, yakin Pak. Ini adalah pilihan hidupku," jawab Paijo dengan suara bergetar.  Ditatapnya lelaki paruh baya yang telah membesarkannya itu. Paijo merengkuh jemari-jemari yang mengkisut karena usia, lalu meletakkanya di dada. "Paijo akan baik-baik saja Pak. Kata dokter operasi ini aman. Dan, sebentar lagi bapak akan memiliki anak gadis yang cantik."


#31HariFF: Black Magic

#31HariFF: Black Magic

20131205-182300.jpg

Sumber: google.com

"Apa yang harus saya lakukan Mbah biar Putri jadi milik saya?" Tanya Paijo pada Mbah Murji yang sedang berkomat-kamit di depan bara api yang menyala.
"Yang....kamu harus lakukan adalah menyalakan lilin selama 7 hari dalam kamar," ujar Mbah Murji.
"Hanya itu?" Paijo mengernyitkan dahi.
"Ini memang perihal mudah, tapi sulit untuk dijalankan. Dan, satu lagi. Kamu harus menghindar dari kucing hitam."
"Kucing hitam? Baiklah."
****
Malam semakin larut. Paijo terkantuk-kantuk menjaga nyala lilin di hadapannya. Kemarin saat mendapat syarat dari Mbah Murji semua terlihat mudah, namun kenyataan sulit. Menjaga lilin tanpa harus melakukan apa-apa itu membosankan. Belum lagi serbuan nyamuk yang tak henti mengganggunya.
Meong....meong
Samar-samar Paijo mendengar suara kucing. Dia mendiamkannya. Bukannya berhenti, kucing itu malah semakin keras mengeong.
"Ah, kucing sialan mengganggu saja." Paijo menyambar segelas air di atas nakas. Dia membuka jendela dan menyiramkan air di dalam gelas.
Paijo membeku saat mengetahui bahwa kucing yang dia siram berwarna hitam.


Meong....meong


Paijo menggaruk-garuk tubuhnya yang gatal sambil mengusapkan kedua kakinya ke muka.

#31HariFF: Kotak coklat

#31HariFF: Kotak coklat

20131204-184543.jpg

Sumber gambar: google

Aku sudah memutar pegangan pintu apartemen dan siap masuk ke dalam saat Thomas --tetanggaku datang.
"Ini ada kiriman untukmu." Lelaki berkebangsaan Norwegia itu mengulurkan sebuah kotak coklat berpita merah kepadaku.
"Terima kasih, Tom," ucapku sesaat sebelum lelaki itu kembali ke dalam apartemennya dan menutup pintu. Begitulah Thomas. Dia bukanlah tipe laki-laki yang suka berbasa-basi.
Aku menutup pintu sambil mengapit kotak itu. Kemudian menyalakan lampu apartemenku yang gelap gulita.
Sampai di ruang tengah aku membuka syal yang melilit leherku dan menjatuhkan diri di atas sofa. Kini, perhatianku hanya tertuju pada kotak coklat dalam genggamanku. Tak ada nama pengirimnya. Di sana hanya tertempel sebuah kertas kecil bertuliskan Untuk Marsha.
Aku membolak-balik kotak itu, tapi tak menemukan petunjuk siapa yang telah mengirimnya. Sudahlah. Itu tak penting.
Dengan hati-hati aku menarik ujung pita yang membungkus lapisan luar kotak, membuka tutupnya. Tak ada apa-apa di sana, selain sebuah amplop putih.


Dengan penuh tanda tanya aku mengambil amplop itu dan menyobeknya perlahan.


Sebuah tiket London-Jkt


Ponselku bergetar. Aku mengulum senyum saat melihat sebuah nama tertera di layar.
"Sudah terima hadiahku?" Suara Andi langsung menyerbu saat aku menekan tombol terima.
"Aku baru membukanya. It was surprising me," jawabku.
"Pulanglah, Sha. Aku merindukanmu."
"...."


"Sha...." Suara Andi kembali bergema di telinga.


"Aku akan pulang. Jika, kamu sudah resmi mengurus perceraianmu."