Aksara Yang berserakan

Aksara Yang berserakan

Ada barisan kata yang masih berserakan di bukuku

semua kisah tentangmu yang tak selesai aku tulis

dan, juga kisah kita yang tiba-tiba berakhir

Inikah saatnya kita berpisah?

Bahkan sebelum sempat kita berjabat tangan

Ah, takdir.

Ternyata kita hanya dipertemukan dalam mimpi

 

Barisan aksara itu masih saja berserakan dalam buku kehidupanku

Menunggu sosokmu untuk menggenapkannya.
#31HariFF: Test Pack

#31HariFF: Test Pack

[caption id="attachment_3192" align="aligncenter" width="640"]Google.com Google.com[/caption]

"Huft....gagal lagi," keluh Nadira saat melihat garis merah satu pada test pack dalam genggamannya. Ada seberkas rasa kecewa bergelayut di dadanya. Semua perjuangannya beberapa bulan terakhir ini terasa sia-sia karena satu garis merah. Ya, hanya sebuah garis merah yang membuat seluruh hidupnya berubah.


****


Setahun sebelumnya.


"Kamu yakin akan melakukan semua ini, Jo?" tanya Bapak dengan raut wajah tak percaya.


"Paijo, yakin Pak. Ini adalah pilihan hidupku," jawab Paijo dengan suara bergetar.  Ditatapnya lelaki paruh baya yang telah membesarkannya itu. Paijo merengkuh jemari-jemari yang mengkisut karena usia, lalu meletakkanya di dada. "Paijo akan baik-baik saja Pak. Kata dokter operasi ini aman. Dan, sebentar lagi bapak akan memiliki anak gadis yang cantik."


#31HariFF: Black Magic

#31HariFF: Black Magic

20131205-182300.jpg

Sumber: google.com

"Apa yang harus saya lakukan Mbah biar Putri jadi milik saya?" Tanya Paijo pada Mbah Murji yang sedang berkomat-kamit di depan bara api yang menyala.
"Yang....kamu harus lakukan adalah menyalakan lilin selama 7 hari dalam kamar," ujar Mbah Murji.
"Hanya itu?" Paijo mengernyitkan dahi.
"Ini memang perihal mudah, tapi sulit untuk dijalankan. Dan, satu lagi. Kamu harus menghindar dari kucing hitam."
"Kucing hitam? Baiklah."
****
Malam semakin larut. Paijo terkantuk-kantuk menjaga nyala lilin di hadapannya. Kemarin saat mendapat syarat dari Mbah Murji semua terlihat mudah, namun kenyataan sulit. Menjaga lilin tanpa harus melakukan apa-apa itu membosankan. Belum lagi serbuan nyamuk yang tak henti mengganggunya.
Meong....meong
Samar-samar Paijo mendengar suara kucing. Dia mendiamkannya. Bukannya berhenti, kucing itu malah semakin keras mengeong.
"Ah, kucing sialan mengganggu saja." Paijo menyambar segelas air di atas nakas. Dia membuka jendela dan menyiramkan air di dalam gelas.
Paijo membeku saat mengetahui bahwa kucing yang dia siram berwarna hitam.


Meong....meong


Paijo menggaruk-garuk tubuhnya yang gatal sambil mengusapkan kedua kakinya ke muka.

#31HariFF: Kotak coklat

#31HariFF: Kotak coklat

20131204-184543.jpg

Sumber gambar: google

Aku sudah memutar pegangan pintu apartemen dan siap masuk ke dalam saat Thomas --tetanggaku datang.
"Ini ada kiriman untukmu." Lelaki berkebangsaan Norwegia itu mengulurkan sebuah kotak coklat berpita merah kepadaku.
"Terima kasih, Tom," ucapku sesaat sebelum lelaki itu kembali ke dalam apartemennya dan menutup pintu. Begitulah Thomas. Dia bukanlah tipe laki-laki yang suka berbasa-basi.
Aku menutup pintu sambil mengapit kotak itu. Kemudian menyalakan lampu apartemenku yang gelap gulita.
Sampai di ruang tengah aku membuka syal yang melilit leherku dan menjatuhkan diri di atas sofa. Kini, perhatianku hanya tertuju pada kotak coklat dalam genggamanku. Tak ada nama pengirimnya. Di sana hanya tertempel sebuah kertas kecil bertuliskan Untuk Marsha.
Aku membolak-balik kotak itu, tapi tak menemukan petunjuk siapa yang telah mengirimnya. Sudahlah. Itu tak penting.
Dengan hati-hati aku menarik ujung pita yang membungkus lapisan luar kotak, membuka tutupnya. Tak ada apa-apa di sana, selain sebuah amplop putih.


Dengan penuh tanda tanya aku mengambil amplop itu dan menyobeknya perlahan.


Sebuah tiket London-Jkt


Ponselku bergetar. Aku mengulum senyum saat melihat sebuah nama tertera di layar.
"Sudah terima hadiahku?" Suara Andi langsung menyerbu saat aku menekan tombol terima.
"Aku baru membukanya. It was surprising me," jawabku.
"Pulanglah, Sha. Aku merindukanmu."
"...."


"Sha...." Suara Andi kembali bergema di telinga.


"Aku akan pulang. Jika, kamu sudah resmi mengurus perceraianmu."

#30HariFF: Buket Pengantin

#30HariFF: Buket Pengantin

20131203-173904.jpg

Sumber gambar: pinterest

"Sayang, temenin aku ke nikahan Putri ya," tukas Dimas saat kami istirahat makan siang.
"Kapan?" Tanyaku malas-malasan.
"Besok. Dandan yang cantik ya." Dimas mencubit lembut daguku.
Aku menggembungkan pipi tak suka.
***
Aku mematut di depan cermin. Memastikan tak ada yang salah dengan riasan dan gaun halter neck berwarna merah marun yang kukenakan. Semua sempurna.
Tinggal menunggu Dimas menjemput.
Sejujurnya, hari ini aku ingin menghabiskan waktu di kamar saja. Menyalakan pendingin kamar, lagu romantis, dan sebuah novel roman yang baru aku beli rasanya lebih menyenangkan. Namun, ajakan Dimas untuk menemaninya ke resepsi Putri tak dapat kutolak. Soalnya Putri adalah sahabat Dimas dan kebetulan aku juga mengenal gadis itu. Jadi, kali ini aku harus sedikit menekan egoku.
Tin...
Bunyi klakson. Aku bergegas keluar kamar menyambut Dimas yang menjemputku.
***

#30HariFF: Permintaan

#30HariFF: Permintaan

20131202-170818.jpg

"Pa, aku mau cincin ini di hari jadi pernikahan kita nanti." Sasa menunjukkan gambar sepasang cincin di salah satu iklan majalah fashion yang digenggamnya.
Ardi yang sedang sibuk dengan pekerjaannya hanya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada laptopnya.
"Pa, coba lihat deh. Baguskan? Belikan ya?" Amelia bergelayut di pundak Ardi sambil menyorongkan gambar cincin di depan suaminya.
"Inikan mahal, Ma. Papa dapat uang dari mana?" keluh Ardi.
"Mama nggak mau tahu. Pokoknya Papa belikan cincin ini sebagai pengganti mas kawin yang sudah Papa gadaikan." Sasa menutup pintu kamar dengan keras.
Sepeninggal istrinya Ardi menghela napas panjang. Dia memijit pelipisnya yang mendadak nyeri setelah mendengar permintaan istrinya.
Dapat darimana uang sebanyak itu?
***
"Di. Kamu jangan lupa tugasmu," ujar seseorang di seberang sana.
Ardi tak menjawab. Dadanya berdebar keras.
"Sudah jangan kebanyakan mikir. Kalau tugasmu berhasil. Kamu bisa dapat 50 juta." Seseorang di sana berusaha meyakinkannya.
Haruskah aku melakukan hal ini? suara hatinya berbicara.
"Pokoknya Papa harus belikan Mama cincin itu." suara rengekan Sasa bergema di telinga Ardi.
"Oke. Tugasku hanya membuat Pak Direktur terkapar kan?"

#30HariFF: Boneka Porselen

#30HariFF: Boneka Porselen

20131201-210934.jpg

"Lihat boneka itu lucu," tunjuk Mika pada teman-temannya.
"Kamu mau beli boneka itu?" Lidya menimpali.
Mika meraih boneka gadis berpita dua itu dalam rengkuhannya. "Iya, boneka ini cantik dan lucu."
"Hii. Kamu nggak takut kalau nanti malam-malam boneka itu bisa berjalan?" Lidya begidik.
Mika mencibir. "Kamu kebanyakan nonton horor." Gadis itu tak memedulikan respon Lidya dan ngeloyor ke kasir untuk membayar boneka dengan perasaan membuncah.
***
Mika
Suara lirih menelusup gendang telinga Mika. Gadis itu menggeliat. Matanya terlalu rapat untuk dibuka. Tak lama kemudian Mika kembali terlelap.
Mika
Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras.
Dengan mata setengah terbuka. Mika terduduk. Dia sejenak menarik napas untuk mengembalikan kesadarannya.


Gadis itu membeku saat mengarahkan pandangannya ke sudut jendela. Boneka porselen itu menatapnya sambil tersenyum


"Mika kita main yuk."

Fragmen Masa Lalu

Fragmen Masa Lalu

[caption id="attachment_3156" align="aligncenter" width="638"]Sumber: Zayd Ustman Sumber: Zayd Ustman[/caption]

Sore itu langit di Jakarta telihat muram. Arakan awan kelabu pekat memenuhi langit ibu kota. Samar-samar suara petir bersahutan di bentangan cakrawala. Menyisakan kilatan cahaya dan suara yang berdentum di angkasa.


Seorang laki-laki nampak tak terganggu dengan keadaan langit yang semakin gelap yang kemudian diikuti oleh milyaran butir air yang berjatuhan dari langit. Lelaki itu bergeming. Dia membiarkan air hujan membasahi tubuhnya.







"Rena pasti datang...pasti," racaunya di sela-sela guyuran air hujan yang menderas. Lelaki itu tetap bertahan.Ujung-ujung giginya bergemeretak, tubuhnya kurusnya kian menggigil tapi dia tetap bertahan membiarkan dirinya di bawah kucuran air hujan.

"Aku pasti akan menunggumu, Ren. Menunggumu datang." Lelaki itu merapatkan pelukan di tubuhnya. Berharap mengurangi dingin yang mulai menusuk ke dalam kulitnya. Semua sia-sia. Seberapa pun kuatnya pelukan itu, tubuhnya tetap saja menggigil.


 "Hentikan semua ini, Ndre." sebuah suara melindap di telinga lelaki itu.


Lelaki itu mendongak. Sebuah payung berwarna pelangi tepat di atas kepalanya dalam genggaman seorang gadis.


"Amel? Untuk apa kamu kesini. Sana pergi. Nanti Rena melihat kita," Rendra mengibaskan tangannya.


"Rena tak akan datang, Ndre," ucap Amel sambil tetap berusaha memayungi lelaki di hadapannya. Gadis itu melupakan tubuhnya yang mulai membasah karena payung yang dibawanya tak cukup melindungi mereka berdua.


"Rena pasti datang, Mel. Dia sudah janji." tubuh Andre bergetar.


"Sampai kapan kamu akan terus-terusan begini?" teriak Rena. Suara lantangnya terhalangi suara hujan yang menderu-deru.


Bahasa Cinta

Bahasa Cinta

20131128-185215.jpg

Sumber foto: koleksi Pribadi


 

Aku menurunkan novel di genggamanku. Lalu, pandanganku terarah pada lelaki berpotongan spike tengah memotret seekor kupu-kupu yang hinggap di atas bunga.
Aku mengulum senyum. Beberapa hari ini, Arya sedang tergila-gila dengan dunia fotografi. Hampir setiap waktunya tak bisa lepas dari DSLR yang tergantung di lehernya. Kecuali sedang tidur.
"Hai," aku melambaikan tangan ke arahnya.
Arya menoleh, lantas meletakkan satu jarinya di bibir sebagai tanda untuk tidak berisik. Aku menurutinya. Membiarkan lelaki itu sibuk dengan buruannya.
Aku menghela napas. Harusnya hari ini menjadi istimewa. Tepat di tanggal ini dua tahun lalu aku dan Arya resmi menjadi pasangan kekasih. Tapi, hari ini tak ada perayaan apa pun. Arya malah memintaku untuk menemaninya mengambil gambar di taman komplek.


Huft. Sekali saja aku ingin seperti pasangan lainnya yang menghabiskan waktu bersama pasangannya dengan kegiatan yang menarik. Misalnya nonton bioskop, makan di cafe. Bukan menunggui orang yang asyik dengan dunianya sendiri.
"Bosan?" Arya menghampiriku tanpa rasa bersalah. Lelaki itu ikut menjatuhkan diri di sampingku.
Aku menggembungkan pipi sebagai bentuk kekesalan pada Arya.


Bukannya mencoba mendinginkan hatiku. Arya hanya diam saja tanpa suara. Dari sudut mataku, kutemukan lelaki sibuk melihat hasil jepretannya hari ini. Aku mengerang. Rasanya ingin kulemparkan buku di atas pangkuanku.


Aku hendak bangkit meninggalkannya, saat sebuah sentuhan lembut menggenggam buku-buku jemariku. "Maaf. Aku sudah membuatmu bosan hari ini."


Hening.


Arya meletakkan dua tanganku di dadanya. Tanpa kata lelaki itu memagut lembut bibirku. Aku memejamkan mata. Membiarkan aliran hangat bergelenyar di dada. Semua rasa marah yang tadi penuh sesak kini menguap. Menyisakan rona merah di kedua pualam pipiku.



Aku membenamkan diri di dada Arya. Menikmati hari istimewa dengan cara kami sendiri.




Kami memang memiliki kesukaan yang berbeda. Arya dengan kamera dan aku dengan buku. Tapi, cinta menyatukan kami menjadi satu


Satu Permintaan

Satu Permintaan

20131127-035414.jpg

"Selamat pagi anak-anak." Annie menyapa muridnya dengan suara lantang.
"Pagi, Bu." suara koor anak-anak menyerbu gendang telinganya.
Gadis berusia 25 tahun itu mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Hampir separuh dari murid-muridnya tampak tak memedulikan kehadirannya. Ada yang mengobrol, ada yang asyik membaca dan beberapa lain terlihat acuh dengan keriuhan di dalam kelas.
Annie menghela napas. Ini hari pertamanya mengajar dan dia tak harus melakukan apa untuk menarik perhatian anak-anak didiknya itu
Ting.
Tiba-tiba terlintas sebuah ide. Annie membuka tas kerjanya. Dia mengeluarkan beberapa tumpukan kertas aneka warna yang masih terbungkus plastik. Annie merobek plastik itu dengan hati-hati, lalu perlahan mengeluarkan kertas berwarna-warni.
"Baiklah, pelajaran pertama hari ini. Kita mulai dengan membuat origami bangau." Annie berjalan membagikan kertas dalam genggamannya.
"Yah. Kita bukan anak TK Bu." salah seorang berkomentar.
Annie terus melangkah tanpa memedulikan tatapan sebal dari murid-muridnya.
****
"Bu Annie."
Annie selesai merapikan mejanya dan hendak keluar dari ruang guru saat seseorang memanggilnya.
"Ya." Annie membalikkan punggungnya dan mendapati Meta, siswa kelas 1 sedang berdiri di belakangnya.
"Ada apa Meta?"
Gadis itu tak bersuara. Dia mengeluarkan sebuah kotak kayu berukuran 8x8 cm dari tasnya. Dengan tangan gemetar Meta mengulurkan kotak dalam genggamannya pada Annie.
"Ini seribu bangau. Bisakah orang tua saya tidak jadi bercerai?"


Sumber foto: Zayd Ustman

Kamu

Kamu

 

[caption id="attachment_2588" align="aligncenter" width="500"] dari Favim.com dari Favim.com[/caption]

Aku mengagumimu layaknya ribuan aksara yang berserakan dalam cerita-cerita roman

Aku menggilaimu layaknya secangkir madu hangat yang kuseduh setiap pagi

Kamu,

Lelaki yang menyematkan senyuman di bibirku

Menciptakan debaran hangat di dadaku

dan, selalu membuat lidahku kelu.

 

Kamu,

 

Aku menggilaimu dengan seluruh hatiku


Waktu tak pernah menunggu

Waktu tak pernah menunggu

20131126-040335.jpg

"Aku mau setangkai mawar," ucapnya saat kami bertemu.
"Setangkai mawar?" Alisku terangkat
"Iya. Setangkai mawar merah yang baru dipetik," ucapnya setengah merajuk. Aku bisa menangkap sorot kebahagiaan yang terpancar dari sepasang mata almond yang tengah menatapku.
"Hmm, baiklah. Aku akan membawakan pesananmu." Aku menyentuh ujung rambut Kania. Lalu, mendaratkan bibirku di keningnya.  "Sekarang waktunya kamu istirahat."
Seulas senyum terukir di bibir mungil Kania. Tak lama sepasang mata bulat milik Kania tertutup.


****


Tunggu aku
Sent


Aku menjejalkan ponselku ke dalam saku celana dan bergegas masuk ke dalam Jazz Hitam milikku. Menyalakan mesinnya dengan cepat. Lima menit kemudian dengan lincah mobil hitam yang kukendarai membelah jalanan yang masih lengang. Ini pukul 04.00 dini hari, saat di mana orang-orang masih bermain dengan mimpinya. Dan, aku sudah berada di jalanan menikmati dinginnya pagi.


Sepanjang perjalanan bibirku tak berhenti bersenandung. Hatiku sedang berbunga-bunga. Akhirnya aku mendapatkan pesanan Kania, walaupun harus mendapatkan tatapan sebal dari Rasya karena telah membangunkannya di pagi buta. Tak mengapa. Ini demi Kania.


Masih fokus dengan kemudi. Tangan kiriku mengambil sesuatu dari samping kursi penumpang. Dengan hati-hati tanganku menggenggam setangkai mawar yang masih berduri. Aku lupa, harusnya duri-duri di daun itu telah kutanggalkan supaya tak menyakiti jemari Kania yang selembut kapas.
Aroma khas bunga berwarna merah itu langsung menyerbu indra penciumanku. Aku melengos. Aku tak suka aroma mawar, tapi Kania --gadisku begitu tergila-gila dengan mawar.


Ponselku berdering.
Aku melambatkan laju kendaraan agar bisa melihat siapa yang menelponku pagi-pagi begini.


Seluruh persendianku melemas saat membaca sebuah pesan singkat yang masuk ke ponselku.


Van, Kania baru saja pergi. Maafkan dia tidak bisa menunggumu lebih lama lagi.  Tolong iklaskan kepergiannya.


Sumber foto: koleksi Zayd ustman

Jarak

Jarak


Andai saja jarak dapat dilipat dengan mudah. Aku ingin berlari ke dalam pelukanmu. Untuk sekadar menghidu aroma parfum yang menguar dari tubuhmu


Kamu

Kamu

[caption id="attachment_2767" align="aligncenter" width="640"]http://google.com http://google.com[/caption]

 

Mungkin ini bukan cinta

Ini hanya perasaan nyaman di saat aku bersamamu

perasaan yang membuatku merasa aman saat di sampingmu

 

Aku tahu tak akan pernah ada kata "kita"

karena kita hanya aku dan kamu yang saling melintas

berpapasan untuk saling mengajarkan tentang cinta

 

kelak, jika di ujung jalan kita berjumpa

aku ingin mengenangmu sebagai lelaki yang pernah menyisipkan rona merah di pualam pipiku
Seandainya menjadi Jurnalis Perang

Seandainya menjadi Jurnalis Perang

Jika kamu seorang jurnalis Perang, kamu ingin meliput di negara mana?


Inggris. Kota London


Memangnya di London ada perang?


Kagak. Ya pokoknya aku mau London. Masalah perang atau nggak itu urusan belakangan. Siapa tahu nanti di London ada perang boyband :D.


Ngasal banget sih postingan ini.


Terus terang saya nggak pernah bermimpi menjadi jurnalis perang. Soalnya saya nggak suka berada dalam tekanan dan negara yang penuh dengan ancaman. Sebut saja saya penakut. Nggak papa deh ketimbang di sana saya malah bikin semua orang repot.

Jika aku Presiden

Jika aku Presiden

Hoho..tema ini cukup lucu juga dan bikin garuk-garuk kepala. Pasalnya aku nggak pernah bermimpi ingin jadi Presiden. Kebayang gimana beratnya harus mengatur negara. Wong ngatur diri sendiri aja sulit.


Oke, balik ke topik utama.


Apa sih yang akan kamu lakukan jika menjadi Presiden?


Pertama, saya akan membenahi sistem pendidikan yang ada. Membenahi mekanisme perekrutan guru agar SDM untuk mengatur pendidikan lebih terjamin.


Kedua, memperbanyak taman kota. Ingin rasanya Indonesia memiliki taman-taman keren kayak di London. Ya, walaupun kita tidak punya musim yang sama dengan negara-negara Eropa. Rasanya tidak salah menikmati daun berguguran di taman yang indah.


Rasanya cukup segini aja. Nggak sanggup membayangkan jika jadi Presiden beneran :))


One night

One night

hot-relationship-black-and-white-couple-Favim.com-656592



Aku masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana Evan menciumku semalam. Tanpa persiapan apapun, tiba-tiba saja lelaki itu mendaratkan bibirnya di atas lipatan bibirku. Lembut. Dan, aku hanya bisa memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan bibirnya bergumul, mengecup permukaan bibirku, lalu tanpa sadar kedua tanganku sudah memeluk lehernya erat. Kami berdua hanyut malam itu.


Pagi ini, ketika aku terbangun. Hal kali pertama yang aku ingat adalah aroma bibir Evan yang masih menempel di bibirku. Aroma tembakau. Lelaki itu adalah seorang perokok, jadi wajar saja jika aroma tembakau menguar dari bibirnya. Sejenak, aku tersenyum sendiri lalu meraba pipinya yang mulai memanas. Mengingat Evan, seluruh tubuhku memanas.


Hubungan kami baru seumur jagung, jadi wajar kalau cinta itu masih terasa hangat-hangatnya. Seringkali aku merasakan gempa kecil di dada dan perutku. Kemudian, pualam pipi yang merona saat lelaki itu menyentuhkan buku-buku jemarinya di pipiku. Ah, Evan memang pandai memperlakukan wanita.


Lamat-lamat kudengar suara ponsel berdering. Aku masih yang terduduk di pinggiran tempat tidur spontan berdiri. Mencari di mana ponsel kecil itu berada. Di saat dibutuhkan begini benda itu mendadak menyembunyikan diri. Aku mencoba mengingat-ingat di mana aku meletakkannya semalam. Ah, akhirnya aku ingat. Semalam aku dan Evan berkirim pesan singkat hingga malam, dan tentu saja ponsel itu pasti berada di atas tempat tidurku. Aku membolak-balik selimut, bantal, dan juga guling yang berserakan. Akhirnya, kutemukan juga benda yang sedang berkedip-kedip. Aku tersenyum. Nama Evan tertera di sana.


"Hallo." Aku berjalan ke dekat jendela. Menyingkap sedikit tirai yang menutup kaca jendela kamarku.


"Ka, bisa kita bertemu hari ini?" sambut Evan tanpa membalas sapaanku.


Ada perasaaan tidak nyaman saat Evan tak membalas sapaanku dan mendadak ingin bertemu. Padahal semalam kami sudah makan malam bersama, lalu dilanjutkan dengan saling berkirim pesan hingga larut malam. Apa sesuatu telah terjadi?


Aku menggelengkan kepala, membuang semua pemikiran negatif dari benakku saat ini. Mungkin saja Evan memang ingin bertemu denganku saja. Bukankah wajar jika yang namanya kasmaran selalu ingin bertemu. "Bisa, kita mau ketemuan di mana?" tanyaku.


"Di tempat biasa pukul 15.00."


***


"Aku ingin semua ini berakhir, Inka." Suara berat Evan melindap di gendang telingaku.


Aku mendongak. Menatap pada dua buah manik mata hitam yang biasa menelanjangi diriku. Lelaki itu tertunduk. Hatiku terasa diremas-remas. Ini bukan Evan yang biasa menatapku dalam-dalam.


Aku merasakan firasat buruk.


"Kenapa Evan?" tanyaku dengan nada setenang mungkin.


"Aku tak bisa menjanjikan apa pun padamu," jawab Evan lirih.


Jawaban macam apa ini?


"Aku tak pernah memintamu menjadikanku yang pertama," aku meraih jemarinya. Mencari sisa kehangatan di buku-buku jemarinya.


Evan membalas remasanku pelan. "Aku tak mau menyakitimu lebih lama lagi, Inka."


Aku mencebik.


Aku sudah mempersiapkan hatiku jauh-jauh hari untuk kausakiti sejak kita bertemu dalam keadaan tidak sadar dalam sebuah kamar tanpa sehelai benang.

Hidupku seperti Semangkok Rujak Buah Pedas

Hidupku seperti Semangkok Rujak Buah Pedas

 Google.com 


Hidup ibarat semangkok Rujak Buah pedas di mana rasa manis, asam, gurih dan tentu saja pedas bercampur menjelma kemeriahan.

Saya pernah merasa sangat senang, merasakan kekalahan, ketakutan, sedih yang berkepanjangan dan tentu saja orang-orang yang mungkin tak menyukaimu. Tapi, saya belajar bahwa semua rasa itu menjadikan hidup penuh tantangan. Dan, selalu saja ada cara mengalahkan semua itu.

Ya. Bagi saya hidup itu ibarat semangkok rujak buah pedas, di mana semua rasa menjadi satu, tapi menjadikanmu lebih 'hidup.'

Hidup itu tak pernah mudah untuk dijalani, tapi bukan berarti menjadikanannya sebuah beban. Tak selamanya rasa manis akan hadir dalam hidupmu. Ada kalanya rasa asam yang akan merajai hampir seluruh hidupmu atau bahkan guyuran rasa pedas akan membuat hidupmu semakin berat. Tapi, percayalah semua rasa itu akan membuat hidupmu lebih berwarna.

Bagaimana jika hidupmu datar dan tak ada tegangan yang akan membuatmu bersemangat? Mungkin kamu akan menghabiskan waktu sepanjang harimu hanya untuk merutuki nasib yang tak berputar. Monoton, bukan?
Permainan Hunger Games

Permainan Hunger Games

[caption id="attachment_3103" align="aligncenter" width="640"]Google.com Google.com[/caption]

 

 

Terus terang saya bukan bukan movie update, jadi ketika dikasih tema "Apa yang akan kamu lakukan jika terpilih menjadi salah satu peserta Hunger Games?" saya hanya bisa garuk-garuk kepala.

Oke, akhirnya saya mampir ke mbah gugel mencari tahu apa sih hunger games itu. Dan, tetap saya tak mengerti. Duh. Tema yang satu ini sulit banget.

Yang pasti akan saya lakukan adalah mencari cara bertahan untuk hidup. Ya, kemampuan bertahan untuk hidup jarang dimiliki oleh banyak orang dan tentu saja saya tak akan menyerah begitu saja. Masak jauh-jauh menjadi pejuang malah pulang hanya nama. Rugi dong. Lagian saya masih ingin bertemu keluarga dan teman-teman. Kalau saya menyerah, gimana saya bisa ketemu mereka lagi *nangis.


  Ps: Maaf kalau postingan ini apa adanya. Karena benar-benar nggak ada ide untuk menulisnya. :)