Hati yang saling bicara
Ketika bibir sepi tanpa kata, yakinlah ada hati yang saling bicara
Ad Placement
Ketika bibir sepi tanpa kata, yakinlah ada hati yang saling bicara
Cinta itu serupa aneka permen dengan berbagai rasa: manis, asam, atau perpaduan dari asam dan manis
Cinta itu serupa warna merah yang ku sematkan di pualam pipimu: hangat dan malu-malu
Cinta itu serupa kumpulan buku roman, menghasilkan debar-debar dan rasa hangat bagi pembacanya
Cinta itu serupa kumpulan anak kecil yang tertawa riang di tanah lapang: penuh tawa dan kecerian
Cinta itu serupa bulir-bulir hujan yang mengalir dari langit: dingin, basah, meninggalkan kesedihan
Cinta serupa arakan awan kelabu di langit: meninggalkan rasa ngilu dan kerapuhan
Cinta apa apun bentuknya, dia adalah perasaan indah tak berbatas
Ceria
Indah
Nyata
Tak terduga
Awas terbakar di dalamnya
Pernahkah ada yang bertanya-tanya kenapa blog ini bernama Kertaswarna? Atau penasaran blog kertaswarna ini isinya apaan sih? Blog galau ya? :D
Blog Kertaswarna adalah blog kedua saya. Dulu sempat punya blog di domain yang lain cuman karena merasa kesulitan memakainya, saya memutuskan untuk membuatnya lagi.
Blog ini saya buat ketika duduk di bangku kuliah, awalnya hanya pengganti menulis diary. Jadi, kalau mau nambah postingan kudu pake koneksi gratisan di kampus. Maklum, dulu biaya internet cukup mahal.
Lambat laun, blog ini beralih menjadi tempat latihan saya menulis. Di blog ini saya bebas menulis apa pun. Kadang saya suka ketawa kalau baca tulisan-tulisan lama. Masih polos :D
Kenapa saya kasih nama Kertaswarna? Alasannya adalah kertas adalah tempat di mana kita bisa meletakkan isi dunia atau kepala di dalamnya, tidak perduli itu berupa coretan asal, makian, tulisan manis, atau hanya kumpulan benang-benang kusut.
Kenapa saya tambahkan kata warna di dalamnya? Saya punya alasan tersendiri. Ketika kertas putih dipadu padankan dengan warna-warna, jadilah dia kertas berwarna-warni.
Begitu juga dengan tulisan di blog ini, nantinya saya akan membuatnya lebih berwarna.
Semoga...
D&D Pub and Lounge
"Sudah, Ndre. Cukup!" Kirana menarik segelas bir di tangan Andre yang belum sempat dia tenggak.
"Ah, kamu berisik!" Andre meracau.
"Kamu sudah cukup mabuk, mau sampai kapan kamu di sini? Sudah cukup, ayo pulang." Kirana mulai menarik Andre yang masih meracaukan kata-kata tak jelas.
"Aku ingin melupakan Nia, Kiran. Jadi, tolong biarkan aku di sini saja." ujar Andre di tengah racauannya
"Memangnya dengan mabuk kamu bisa melupakan dia?" Kirana masih berusaha membuat Andre yang mulai sempoyongan untuk berdiri.
"Setidaknya untuk malam ini aku bisa melupakannya, besok. Entahlah," ujar Andre lirih.
"Jadi, besok kalau kamu masih ingat dia. Kamu bakal minum dan mabuk lagi? Bodoh! Kenapa nggak sekalian aja kamu jedotin kepala ke tembok, biar amnesia," ujar Kirana tak sabaran
"Bawel. Mending kamu pulang sana. Nanti kamu kenapa-kenapa." Andre menepis tangan Kirana dari bahunya.
"Harusnya bukan aku yang kamu khawatirkan. Ayo pulang, sudah cukup kamu menyakiti dirimu sendiri." Lagi-lagi Kirana berusaha memapah Andre --sahabatnya itu.
"Kamu tahu apa tentang kehilangan, Ki? Kamu nggak akan pernah tahu gimana rasanya ditinggal oleh kekasihmu sendiri?'
Kirana diam
Aku memang tidak pernah tahu rasanya ditinggalkan oleh kekasih sendiri. Tapi, aku pernah berada di posisimu saat ini ketika aku tahu kamu tak pernah mencintaiku, Ndre.
...dan kamu masih beruntung sempat memiki Nia
Ikut serta dalam #FF2in1
Pagi ini, aku bangun dengan mata setengah terpejam. Tidak langsung bangun, melainkan terkantuk-kantuk di tepian tempat tidurku. Mengerjap-ngerjap kedua mata, lalu diam untuk beberapa saat. Membiarkan ruhku kembali utuh ke raganya.
Dengan sedikit limbung dan mata yang mulai terbuka, aku berjalan ke depan cermin lebar yang terletak di dekat jendela kamarku.
"Selamat pagi, apa kabarmu yang di sana?" sapaku pada cermin dengan setengah menguap.
Mungkin bagi sebagian orang, apa yang baru saja aku lakukan terlihat aneh. Berbicara dengan bayangan sendiri. Tapi, itulah yang aku lakukan setiap pagi sehabis bangun tidur.
Buatku berbicara dengan bayangan sendiri, seolah mencari tahu apakah ada perubahan pada diriku setiap harinya. Buatku ketika melihat cermin, aku menemukan diriku apa adanya. Bukan diriku yang mengenakan topeng untuk memberi seribu wajah bagi orang lain.
Cermin tidak pernah bohong bukan?
Selesai dengan ritual menyapa 'bayangan sendiri,' aku beranjak ke arah jendela kaca yang dapat digeser dari dalam. Aku membukanya lebar-lebar --membiarkan udara pagi memenuhi kamarku pagi ini.
Dari balik kamar, ku temukan kilauan sinar mentari bersembunyi dari balik awan, membentuk semburat-semburat yang begitu memanjakan mata. Aku suka udara pagi ini, sinar matahari cukup nyaman untuk dirasakan di kulit.
Aku melirik jam kecil di atas nakas. Pukul 07.00, waktunya aku menemui kekasih tercinta. Kami berjanji menikmati sarapan bersama di taman
Rindu diam-diam menelusup melalui celah kecil yang lupa aku tutup rapat
Kepada kenangan yang berkelebat dibenakku. Tak cukupkah kamu mencuri separuh dari hatiku dan lupa untuk mengembalikannya tepat waktu padaku?
Kepada kenangan yang berkelebat dibenakku. Tak lelahkah kau permainkan hatiku? Bukankan kemarin kau telah memporak-porandakannya? Masih belum cukup?
Kepada kenangan yang berkelebat dibenakku. Sudah cukup kau bermain-main dengan pikiranku. Aku sudah terlalu lelah untuk sekedar kembali menengok ke arahmu
Kamu.....
Akankah kita kembali dipertemukan takdir?
Ketika rasa rindu kembali memenuhi dada
Uraikan kenangan yang telah tertata rapi di sudut terkecilku
Ramaikan kembali hatiku yang telah lama berdebu
Ingatan tentangmu diam-diam menelusup sepi
"Nanti kita pasti bertemu," katamu
Dan aku menunggu takdir berbicara, akankah Tuhan mempertemukan kita kembali
Untuk sekedar berpapasan
...dan aku benci untuk mengakui, bahwa aku merindukanmu
Mungkinkah ini cinta?
Ini tentang sebuah janji
Janji, yang kau bisikkan dengan lirih di telingaku ketika kita menghabiskan waktu berdua
Malam itu kita larut dalam labuhan cinta
Bermain kata-kata dan kemudian kau rengkuh aku dalam pelukmu
Kita bercumbu, meraih kenikmatan yang tak pernah tuntas
Aku biarkan tubuh mungilku rebah di dada bidangmu
Bercampur peluh: aku dan kamu
Kita biarkan tubuh saling melepas rindu, menuntaskan semua hasrat tak terlupakan
Di akhir perjalanan kita, kau bisikkan sebuah janji
"Kita akan selalu bersama sampai mati."
tersisa degub-degup dan aroma tubuhmu
Ini tentang sebuah janji
Janji, yang dulu kau bisikkan di telingaku
...dan kini semua mengabu
Lusuh, digerus roda waktu
Usang
Pada akhirnya, janji adalah kata-kata manis tanpa makna
Rindu tak berhenti berdenyut; seperti kehidupan yang tak pernah berhenti berjalan
Rindu tak berhenti berdenyut; seperti bumi yang tak berhenti berotasi
Rindu tak berhenti berdenyut; seperti langit yang setia menjaga bulan
Rindu tak berhenti berdenyut; seperti tabahnya ilalang
Rindu tak berhenti berdenyut; seperti air yang terus mengalir kepada suatu muara
Rindu tak akan berhenti berdenyut; meski berkali-kali dipatahkan waktu
Tentang kamu. Kamu yang membawa sekeping hatiku dan tentang hatiku yang lebur karena bertepuk sebelah tangan. Harusnya sejak awal aku sadari, semua itu hanya kesalahan hatiku. Aku salah mengartikan gelagat dan membiarkan diriku jatuh ke dalam perasaan tak kasat mata. Dan, kamu, dengan teganya mempermainkan semuanya. Membiarkanku jatuh lebih dalam, terperosok dalam luka.
Betapa bebalnya hatiku ini, harusnya aku pergi mengemasi semua perasaan ini. Bukannya tetap tercenung di depan pintu hatimu dan berkhayal sebentar lagi kamu akan keluar; mempersilahkan aku masuk.
Kamu, yang telah mencuri hatiku. Mungkinkah Tuhan tak mempertemukan kita karena tak ingin melihat kita menjadi sepasang yang saling menyakiti; membunuh rindu. Tuhan tak ingin air mata terus berlompatan dari kedua bola mataku.
(Pernah) ada cerita yang tertulis di antara kita
kisah manis yang sempat terekam dalam sebuah kertas berwarna merah jambu
di mana aku dan kamu (pernah) menjadi peran utama
(Pernah) ada kisah di antara kita
kisah, di mana pipi-pipi kita bersemu karena cinta
Nyatanya, takdir tak berpihak
aku dan kamu tak pernah menjadi satu
hingga waktu memilih; kita tak pernah berpapasan
...dan pada akhirnya, kisah kita hanyalah sebuah rangkaian cerita yang tak pernah selesai.
Terima kasih, kepadamu yang telah mengajarkanku cara menikmati ciptaan Tuhan dengan cara yang berbeda
Pada barisan awan yang memerah, pernah ada satu nama terselip di sana. Dan, kini malam mencurinya; tertinggal pekat malam tanpa bintang.
Ad Placement