Sepasang Janji

Sepasang Janji

Ingatkah kamu tentang sepasang janji kita?


Janji yang kita sepakati bersama saat kamu dan aku berdua


Kau bilang, ingin di sini di sampingku


nyatanya hingga saat ini janji itu telah lesap entah kemana


Saat kita berdua, tak ada lagi pembicaraan janji


yang ada hanya sebatas kata-kata manis pelipur lara


Kemana sepasang janji yang kau ucapkan padaku?


adakah kau melupakannya?





Jangan pernah berjanji apapun atas diriku, jika aku tidak pernah punya hak atas dirimu


Pesta Telah Usai

Pesta Telah Usai

Tak ada lagi debaran yang aku rasakan di hatiku


tak ada lagi senyum simpul saat aku baca pesan darimu


tak ada lagi rindu yang mendesak saat tak ada kabar darimu


ku rasakan pesta di hatiku telah usai


pertanda bahwa aku harus segera berkemas dan melangkah pergi darimu

Pria Peramu Kata (11)

Pria Peramu Kata (11)

Dear Kamu,

 Hai, apa kabar? baik-baik aja khan? Maaf kalau beberapa hari ini aku menghilang. Seperti kataku, aku sedang merentangkan jarak. Mencari tahu tentang perasaanku padaku. Nyatanya hatiku tetap tertuju padamu.


Entahlah, aku sedang tak ingin berharap apa-apa dalam hubungan ini. Mungkin kita hanya dipertemukan tapi tidak untuk beriringan.  Mungkin Tuhan ingin aku sekedar untuk mengagumimu dan kamu hanya menganggapku adek. Bukankah ada kalanya cinta hanya berjalan sendirian.


Kelak, jika memang kita bertemu. Tolong, jangan pernah lagi tanyakan tentang perasaan yang perlahan aku tepiskan.


Salam hangat,


(masih) pengagummu

Sebuah tawaran

Sebuah tawaran

"Pak, gimana berminat dengan tawaran saya?”


“Saya pikir-pikir dulu deh, Pak.”  Ujar Budi  dengan nada bimbang.


“Nggak usah banyak dipikir, Pak. Sampeyan percaya saja sama omongan saya, dijamin Bapak nggak bakalan rugi.” Lelaki berjaket hitam itu kembali berbicara.


“Nanti Bapak saya hubungi lagi deh, saya mesti koordinasi sama istri dulu.”


“Ya, sudah. Kalau nanti Pak Budi berubah pikiran. Segera hubungi saya, karena penawaran ini hanya khusus saya berikan pada orang yang saya kenal.”


Pria berjaket hitam itu pun berlalu, meninggalkan Budi dengan penuh kebimbangan.


*****


“Bu, bapak bisa ngomong sesuatu?”


“Ngomong opo to, Pak? Kok pake ijin segala,” ujar istrinya yang sedang asyik menikmati tayangan sinetron di TV.


“Ibu tahu Rudi kan?”


“Rudi yang rumahnya di ujung jalan itu ya? Memangnya kenapa dengan dia, Pak?” ujar bu Tari dengan pandangan mata tetap ke arah TV.


Budi geleng-geleng melihat sikap istrinya, sejak tadi diajak bicara, tapi pandangan matanya masih tertuju ada layar TV.


“Rudi nawarin kerja sama.”


“Kerja sama dalam bentuk apa?” Tari menoleh ke arah suaminya.


“Investasi dengan modal kecil, tapi hasilnya menggiurkan, Bu. Rudi aja gara-gara ikutan investasi itu bisa beli sepeda motor nggak pake kredit,” dengan semangat Budi menjelaskan pada istrinya.


“Bapak yakin mau ikutan? Kok sepertinya agak nyeremin, Pak,” ujar Tari khawatir.


“Ibu tenang saja, Rudi itu bisa dipercaya kok. Lagian modalnya nggak banyak-banyak amat,”


“Tapi, sepuluh juta bukan uang sedikit, Pak. Sebentar lagi Dio mau masuk sekolah loh,” Tari mengingatkan suaminya.


“Ibu, yakin deh sama bapak. Pokoknya uang itu pasti kembali dan masih bisa buat uang sekolah Dio nantinya.”


“Terserah Bapak ajalah, Ibu nggak ngerti soal begituan. Ya, sudah Pak. Ibu mau tidur dulu sudah ngantuk,”


Sepeninggal istrinya Budi tersenyum-senyum. Dengan semangat dia mengambil telepon genggamnya dan menekan sebuah nomor.


“Aku jadi ikutan, besok uangnya aku kasih.”


*****


Seminggu Kemudian


Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar servis area. Silahkan menghubungi kembali nanti.


Berkali-kali Budi mencoba menghubungi nomor yang tertera di kertas yang sedang dia genggam, tapi jawabannya tetap sama. Nomor itu tidak bisa dihubungi.


Cemas mulai menghantuinya, sudah seminggu ini dia berusaha menghubungi Rudi. Nyatanya nomor Rudi tidak pernah aktif.


Budi ingat akan janji Rudi yang segera menghubunginya ketika bisnis yang mereka sepakati berhasil, nyatanya sampai hari ini janji itu tak kunjungi ditepati.


  Beberapa kali Utari menanyakan perihal uang itu, tapi Budi selalu mengatakan bahwa uang itu aman dan akan segera kembali. Budi tidak pernah menceritakan kepada istrinya bahwa dia sedang kesulitan mengontak Rudi.


Sekali lagi dia mencoba menghubungi nomor Rudi, hasilnya nihil. Nomor itu tetap tidak aktif. Dengan perasaan gelisah Budi berinisiatif untuk mendatangi rumah Rudi.


Belum juga sampai di depan rumahnya, seluruh persendian Budi melemas ketika diam mendapati sebuah  plang kayu bertuliskan.


Rumah dijual.


Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dia katakan pada istrinya. Dalam hati dia merutuki kebodohannya yang begitu saja percaya pada Rudi.


Proyek: Writer Challenge