Bersinggungan
Ternyata jarak dan waktu sedang bersinggungan. Tak ada satu pun dari mereka yang berniat untuk memenangkan kisah cintaku.
Kerinduan
Aku memilih merayakan kerinduanku dengan secangkir madu hangat. Supaya cinta tak melulu getir.
Pria Peramu Kata (8)
Hai, apa kabar gerangan kamu di seberang sana? Baik-baik saja kan. Belakangan ini kita jarang bertegur sapa ya? Kamu dan aku sama-sama sibuk, atau kita aja yang mulai merentangkan jarak?
Entah benar atau tidak yang aku rasakan. Kamu tidak lagi hangat, dan mulai menjauh dariku.
Ah, sudahlah. Maaf jika apa yang aku rasakan salah. Yang pasti, aku tahu kamu baik-baik saja. Buatku itu cukup.
Salam hangat,
Penikmat Kata
Perasaan
Aku sedang tak ingin bermain-main dengan perasaanku. Hatikulah kelak yang akan menjadi taruhannya.
Sepasang Senja
Kita adalah sepasang senja
yang semburatnya selalu di nanti
waktu seringkali tak berpihak
karena dengan cepatnya senja merangkak pergi
terusir oleh pekatnya malam
Kita adalah sepasang senja
hadirnya selalu ditunggu
namun cepat berlalu
sama seperti kenangan; usang kala semua berakhir
adakah senja yang selalu dinanti?
bahkan hingga gelap mencuri semburatnya.
Surabaya, 16 juli 2012
Kringgggg, sebuah surat untukmu
Dear Kamu,
Nggak tahu harus nulis apaan? Kata-kataku sudah hilang sebelum aku tuliskan padamu.
Satu kata saja...
Aku rindu
Salam Hangat,
Aku
Mencintaimu dengan sederhana
Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana
menjadi seseorang yang selalu ada
Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana
seperti arakan awan yang selalu setia pada langit
Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana
cukup dengan melihatmu bahagia
Kelak, aku ingin jemari kita bertautan di depan Tuhan
Kecewa
kenapa harus seperti ini?
Bahkan sebelum takdir membiarkan jemari kita bertautan
mimpi-mimpi kecil pun belum sempat kita jelang...
Salahkah aku?
Masihkah kau ragu?
Harus seperti apa aku bersikap?
Begitu kecilkah pengorbanan yang telah aku berikan.
Katamu cinta itu tanpa pamrih
Lalu, kenapa kau hitung semua apa yang telah aku lakukan?
Ah, sudahlah...
Sepertinya takdir ingin kita berlawanan arah
bukan beriringan
Biarlah rotasi ini menentukan jalannya
Jalanmu; jalanku.
Sudut
Berkali-kali aku melirik jam di pergelangan tanganku dengan gelisah. Sudah sejam aku di sini, sendiri.
Aku mengangkat cangkir kopiku yang panasnya telah menguap.. Getir, rasa itulah yang kini tertinggal di lidah dan juga –hatiku.
Setiap pintu resto ini terbuka, secara spontan pandanganku mengarah ke sana, tapi tak juga aku temukan sosoknya.
“Sudah siap pesan, Mbak?” seorang pelayan kembali menghampiri mejaku.
“Belum, Mbak. Saya masih menunggu teman,” ujarku.
“Baiklah, jika nanti sudah siap. Silahkan panggil saya,” ucapnya dan kemudian berlalu dari hadapanku. Sekilas aku mendengar helaan napas dari mulut sang pelayan.
Aku merogoh ke dalam tasku, mengambil sebuah cermin kecil. Aku memastikan tidak ada noda di riasanku kali ini. Aku ingin tampil sempurna di hadapannya nanti.
Makan malam kali ini semacam perayaan hubungan kami berdua, dan aku lebih suka merayakannya dengan sederhana. Tidak ada lilin, bunga-bunga atau pun kado mewah.
********
13 Februari 2012
Di sudut ini, pertama kali bertemu. Saat itu aku sedang asyik menikmati kesendirianku dengan sebuah buku di tangan. Dia datang tergopoh-gopoh. Tubuhnya basah kuyup terkena hujan, dan wajahnya terlihat kebingungan mencari tempat kosong.
Hari itu restoran ini sangat ramai, beberapa dari mereka lebih menunggu hujan reda. Entah apa yang membuatku berinisiatif untuk mengajaknya bergabung denganku.
“Hai, tempat ini kosong,” ujarku.
Dia menoleh ke arahku, aku menangkap sebuah keraguan dari raut wajahnya. “Silahkan, aku hanya sendiri,” ujarku sekali lagi.
Dia tersenyum dan duduk di hadapanku. Beberapa detik kami bertatapan, selanjutnya kami larut dalam sebuah pembicaraan panjang.
********
Aku masih saja terpaku, ketika lampu-lampu Kristal mulai dipadamkan. Perasaanku sedang tidak menentu. Sedih, marah, kecewa semua bercampur menghasilkan sebuah rasa sakit yang tak terbatas. Seberapa kuat aku menahan tangisku, nyatanya beberapa bulir air mata sudah mendesak keluar.
“Maaf, Mbak. Kami sudah mau tutup,” seorang pelayan menghampiriku.
Aku mendongak, “Bolehkah saya menunggu beberapa saat lagi? Mungkin dia sedang terjebak macet,” ujarku terisak.
“Baiklah, beberapa menit lagi.”
Sudut yang berbeda
“Wanita itu datang lagi?” bisik seorang perempuan muda
“Iya. Sejak tadi dia hanya terpaku. Entah siapa yang di nanti?” jawab seorang wanita di sampingnya.
“Sepertinya dia menanti seseorang, tapi kok aku nggak pernah melihat temannya, ya?” seorang pria yang baru datang menimpali.
“Entahlah. Aku kasihan melihatnya. Hampir setiap bulan, wanita itu selalu datang. ”
“Dia nggak gila kan?” Tanya wanita bertubuh tambun.
“Huss, jangan gosip yang aneh-aneh. Sepertinya dia baru saja kehilangan seseorang yang dia cintai. Sudahlah, ayo kita kerja lagi. Nanti Pak Budi marah.”
Tiba-tiba saja ruangan itu menjadi senyap.
Jenuh
Berungkali aku tepis semua rasa ini. Tapi, tetap saja menjejak dalam hatiku. Tak pernah aku pahami mengenai semua ini.
Aku mencoba mencari jawabannya, tapi tetap saja berakhir dengan rasa yang sama.
Aku jenuh; pada kamu.
Pria Peramu Kata (7)
Terima kasih telah mengijinkanku mengetuk kesunyian hatimu.
Terima kasih telah mengijinkanku bersandar sejenak di bahumu
Terima kasih telah membiarkanku mengulas senyuman di wajahmu
Terima kasih telah mengijinkanku menghapus semua dukamu
Salam Hangat,
Pengagummu
Pria Peramu Kata (6)
Kenapa aku mulai merasakan rindu padamu? Merindukan bagaimana sajak-sajakmu terangkai di Time Line. Aku suka tersenyum geli, saat pertama kali kita berkenalan.
Ah, aku keGR-an. Bukankah semua pria penyajak itu ramah dan idola wanita. Benarkah itu? Benarkah aku keGR-an, atas sikapmu.
Dan sekarang aku merindukanmu
Salam Hangat,
Penikmat Kata
Pria Peramu Kata (5)
Dear Kamu,
Apa kabarmu? Pasti baik-baik saja. Beberapa hari ini, aku pandangi Time Linemu penuh dengan kesedihan. Adakah sesuatu yang mengganjalmu.
Biasanya kamu orang yang semangat, tapi yang aku tangkap saat ini hanya kesedihan.
Aku tak suka, jika kamu seperti itu. Aku merindukanmu yang dulu; ceria. Aku kagum padamu, terutama sajak-sajakmu.
Tetap semangat ya!
Salam Hangat,
Pengagummu
Pria peramu kata (4)
Sudah sebulan ini aku mengenalmu lebih dekat. Bukan seperti pertama kali aku mengagumi hanya lewat timelinemu.
Ingatkah kamu tentang cerita-cerita yang biasa kita perbincangkan? Buatku kamu teman yang menyenangkan dalam berdiskusi, terutama soal tulisan. Darimu aku belajar banyak.
Bolehkah aku lebih mengenalmu lagi?
Salam Hangat,
Pengagummu
Surat Untuk Langit
Lang, apa kabar dirimu?
Adakah kau merindukanku?
Aku pulang. Sekarang jarak kita tidak lagi terbentang. Sebentar lagi aku bisa kembali menatap mata elangmu itu.
Ada banyak cerita yang ingin aku sampaikan kepadamu. Mau kah kau meluangkan waktumu? Aku ingin kita duduk di tempat biasa, taman kota dengan pemandangan langit lepas. Seperti namamu, langit.
Lang, tunggu aku ya.
Salam hangat,
Venus
Jodoh di tangan siapa?
Kemana…kemana..kemana? Aku harus mencari di mana?
Penggalan lagu dari Ayu Ting Ting di atas tiba-tiba menggelitik benak saya untuk menulis tentang jodoh. Kenapa tentang jodoh? Menurut saya, urusan mencari pasangan masih saja menarik untuk dibicarakan.
Di era modern ini, masih ada sebagian orang yang masih saja diributkan tentang urusan jodoh. Terutama yang masih dalam status melajang, saya salah satunya. Bukan bermaksud untuk curhat.
Saya adalah tipikal wanita yang menunggu. Artinya saya akan pasif menunggu hingga kelak pangeran impian saya datang menjemput saya. Memang terlihat akan menjemukan, tapi entah mengapa saya lebih nyaman menunggu. Bukanlah dalam agama juga telah disebutkan bahwa sebelum roh kita ditiupkan segala urusan jodoh, rejeki dan kematian sudah tertulis di dalamnya. Jadi, menurut saya tidak ada salahnya menunggu, mungkin saja saat ini Tuhan sedang mempersiapkan dia agar datang di waktu yang tepat.
Seorang teman pernah berkata pada saya, “Jodoh itu memang di tangan Tuhan, Mbak. Tapi kalau nggak dicari juga nggak bakalan datang.”
Pernyataan teman saya membuat saya sedikit berpikir. Mungkinkah Tuhan tidak menggariskan kita dengan ‘Siapa’ tapi lebih dengan pilihan kita sendiri yang kemudian disetujui oleh Tuhan. Karena kalau Tuhan memang telah mentakdirkan dengan siapa, lalu kenapa masih saja ada yang namanya cinta kedua, ketiga dan seterusnya. Bahkan saat kita sudah dalam bahtera pernikahan.
“Jadi, Temukanlah jodohmu, dan biarkan Tuhan yang mengaturnya”
Pria Peramu Kata (3)
Ku pikir semua yang terjadi di antara kita beberapa hari ini nyata? Nyatanya mimpi telah melibasku di tepiannya.
Kakiku lemah, aku tak sanggup berdiri bahkan untuk bangkit.
Ku pikir apa yang kamu katakan itu nyata? Nyatanya sekarang aku tertatih untuk kembali menata hatiku.
Adakah semua itu hanya permainanmu, yang ternyata harus aku yang menjadi korbannya.
Ah, cinta mengapa kamu menyapa. Jika, harus aku yang kembali tersakiti.
Adakah takdir turut serta?
Adakah?
Satu Kata Satu Rasa (Sebuah review)
Nama Buku : Satu Kata Satu Rasa
Penulis : Tody Pramantha
Publisher : Nulis Buku
Terkadang cinta dan kebahagiaan tidak selalu beriringan
Cinta itu seperti sekotak permen beraneka rasa
Satu Kata Satu Rasa adalah sebuah buku berisi kumpulan sajak. Sajak-sajak dalam buku ini lebih banyak menyajikan tentang kehilangan, kepedihan, dan kenangan.
Yang saya suka dari buku ini adalah diksinya yang sederhana tapi mampu membuat saya seolah berada di dalamnya.
Sang Penulis dengan piawai membuat kita terhanyut saat membaca lembar demi lembar, seolah kita sedang menikmati sekotak permen dengan aneka rasa. Merasakan sedih, jatuh cinta, atau tersenyum meringis.
"Maukah kau menjadi sepasang doa yang saling menjaga dimana detak nadimu dan hembus napasku melebur menjadi satu; --dalam ikatan cinta."
(Sepasang Doa-Satu Kata Satu Rasa)
Sepotong senja
Warnanya semerah pualam dengan semburat sinar
Senja datang lagi
kenangan akan dirimu kembali terekam
Ah, kenapa rindu ini kembali menelusup?
Rindu padamu yang bahkan bayangnya pun telah memudar
yang terputar hanya kenangan buluk, tanpa arti
Senja datang lagi
tapi tidak membawa sepucuk berita
bahkan sebersit kerinduan darimu
Senjaku ingkar
dia tidak lagi ramah padaku
Dengan cepat dia memudar dan meninggalkanku dalam kegelapan
Senjaku kini hanya menjadi sekeping kenangan
Sepotong senja yang pernah aku titipkan padamu
Pencuri hati
Belakangan ini entah kenapa benakku, melulu tentang kamu
Padahal kita pun belum saling bertautan secara nyata
Tanpa tegur sapamu rasanya sepi
Adakah kau curi hatiku?
Salam hangat,
Pengagummu
Sekeping Rasa
Kenapa hadirnya selalu menggelitik jiwaku
Rasa rindu berlompatan di dada
Hangat
Dan aku tersesat dalam rasa ini
Menelusur rindu
Aku tergugu di sudut malam
Ada perih melanda
Rindu mencengkeram hati
Aku rindu pada kamu
Tanpa peduli apakah kamu juga rindu
Biar rindu ini menelusur, dan bermuara pada orang tepat.
Jika itu bukan kamu, biarlah orang lain yang merasakannya.
Dear Kamu
Genap sebulan, hubungan yang kita rangkai telah berakhir. Entah mengapa, sampai detik ini aku belum bisa menghempaskan angan tentang dirimu. Ada rasa yang tertinggal.
Sekuat apa pun aku berusaha melepaskan semuanya, nyatanya bayanganmu masih saja menelusup sepi di benakku. Aku akui, sebagian diriku masih merindukanmu.
Aku harus bagaimana?
Beri aku cara untuk melupakanmu...
Salam Hangat,
Lagi-lagi merindukanmu
Sekeping mimpi
Tertatih menjalani mimpiku
Kamu yang dulu menjagaku
Tega merebut hatiku
Kini semua telah usai
Mimpi kecil pun pudar
Bersama bayangan punggungmu
Harus seperti apa diriku bersikap?
Jika kenangan ini tak mudah aku tepiskan.
Silahkan bawa kepingan hatiku. Kelak jika semua telah benar-benar usai. Kembalikanlah utuh padaku.
Melepaskan
Aku tertunduk, tak berani menatapmu. Tak ingin tangis ini tiba-tiba pecah.
"Jawablah.." Katamu lagi.
"Apa yang harus aku jawab. Toh ucapanku sudah tidak berarti lagi depanmu," aku masih tertunduk.
Kamu terdiam. Hening--tak satupun dari kita bersuara.
Aku menghela napas panjang. Dengan menahan tangis, "baiklah. Akhiri saja jika itu maumu.."
Kamu mendongak, menatapku lekat. Matamu mencari tahu kebenaran yang baru saja aku katakan.
"Segampang itu?" Tanyamu.
"Bukankah itu yang kamu inginkan? Lepaskan aku dan biarkan aku bebas."
Bingung
Benar-benar bingung dengan perasaanku. Sebenarnya aku lagi merasakan apa sih. Kadang kangen yang satunya, kadang kangen dia yang setiap hari ngobrol. Duh, nggak bisa fokus deh.
Entahlah ini tulisan apa :D
(Masih) Merindukanmu
Padahal semua kenangan itu sudah aku usir jauh.
Ah, racun apa yang kau berikan untukku?
Dan sekarang aku sakau tanpamu
Tolong berikan aku penawarnya
Agar tidak selalu merindukanmu
Gamang
Rindu pada dirimu yang pernah hadir mengisi hatiku
Harus seperti apa aku bersikap?
Jika, kamu pun tak mau lagi menengok ke arahku.
Ah, katamu kau akan tetap di sini untukku. Nyatanya saat aku butuh, punggungmu tak lagi menghadapku.
Kalau aku merindukanmu. Lalu aku bisa apa?
Nyatanya luka ini memang belum mengering.
Pria Peramu Kata (2)
Hai...!
Baik-baik saja kan?
Hmm..sebenarnya agak bingung juga mau menuliskan apa untukmu. Belakangan ini suka sekali berkunjung ke blogmu. Membaca semua untaian kata yang tertulis di sana. Dan ada banyak kegetiran.
Adakah hatimu terluka? Seperti semua tulisan-tulisanmu itu? Maaf kalau aku salah menyimpulkannya. Aku hanya penikmat kata yang hanya membaca tanpa mencari tahu makna yang tersirat di dalam.
Seperti yang aku bilang, aku suka dengan tulisanmu. Entahlah aku merasa terbius untuk berada di dalamnya. Dan, kamu berhasil membuatku ikut merasakan kegetiran itu.
Ah, sudahlah. tak perlu kau pedulikan apa yang aku tulis ini. Semoga kamu selalu sehat, agar aku bisa kembali menikmati semua tulisanmu
Salam Hangat,
Penikmat Kata
hempaskan
Perlahan ingin aku tepiskan semua rasa ini
rasa yang tidak mungkin akan berkembang
rasa ini tak akan pernah menjadi nyata
dan aku pun tak mau kembali ke luka lama
enyahkan saja riak-riak di hatiku
agar kelak tak ada lagi luka yang tertoreh untukku
Sakau
Aku terduduk sendiri menatap temaram senja
kenangan akan dirimu masih saja bercokol dalam ingatanku
Mungkinkah racun yang kau tinggalkan terlalu banyak
hingga tanpamu aku sakau
Date Impian
Eh, ini kenapa aku jadi pengen nulis soal date impian (efek kebanyak baca novel xixixi). Tapi, beneran sampai sekarang saya belum pernah ngedate (curhat).
Boleh dong saya sedikit mengkhayal.
1. Kalau nantu saya punya kekasih hati atau suami, pengennya ngedate di toko buku. Beli buku kesukaan masing-masing, seru kayaknya.
2. Ngobrol ngalur ngidul soal buku di taman. Seru kayaknya
3. Makan bakso
4. Duduk-duduk di ayunan
Ni, postinganku kok nggak jelas banget ya
Pria Peramu Kata
Dear Pria Peramu Kata,
Entah apa yang membuatku ingin sekali menulis selembar kekagumanku untukmu. Aku tidak pernah mengenal dirimu secara pasti. yang aku tahu tentangmu hanya tulisan-tulisan manismu yang selalu berseliweran di Time Lineku.
Aku kagum padamu. Kagum pada keahlianmu meramu kata. Kagum pada rangkaian kata di akun twittermu.Sederhana, tapi tepat mengena di hatiku. Lucu ya...
Rasanya ingin mengenalmu lebih dekat, tapi rasa malu ini menghambatku. Sudahlah mungkin lebih baik aku mengagumi di balik layar. Aku hanya akan menjadi penikmat kata. Penikmat sajak-sajakmu.
Salam Hangat,
Penikmat Kata
Untukmu, calon pemilik hatiku
Hai...!
Apa kabarmu? Baik-baik saja kan. Bagaimana kau melewati akhir pekanmu? Adakah sesuatu yang mengembirakan atau bahkan membuatmu kesal?
Tidakkan kamu ingin tahu akhir pekanku?
Akhir pekanku lumayanlah. Aku bisa istirahat lebih lama. Semalam juga berhasil menulis 2 halaman untuk novelku. Oh, ya. Aku belum cerita padamu bahwa aku suka menulis. Saat ini aku sedang menulis sebuah novel.
Tolong doakan, semoga aku bisa menyelesaikannya.
Kamu yang di sana,
Jangan lupa jaga kesehatan. Sesibuk apa pun pekerjaanmu, kesehatan tubuhmu tetap nomor satu.
Sudah dulu ya, aku mau lanjut nulis lagi.
Salam Hangat,
Calon tulang rusukmu
Mengapa?
Mengapa rasa ini masih saja menggelayutiku?
Apa yang terjadi dengan diriku?
Mungkinkah aku terlalu mencintainya?
Hingga aku masih terjebak dalam bayangannya.
Sungguh, rasa rindu ini tidak dapat aku bendung.
Ah, kenapa hanya aku yang merasakannya
Masih rindu
Kenapa rasa rindu ini masih saja bercokol di otakku? Kenapa sampai sekarang aku tidak bisa mengenyahkan kenangan kita.
Rasa dendam dan marah memang telah usai. Tapi tetap saja tidak serta merta bisa menghapusmu dan menganggap tidak terjadi apa-apa.
Apakah kau rasakan hal yang sama denganku?
Maaf, jika aku masih saja berputar di areamu. Karena apa yang terjadi di antara kita sudah melekat kuat.
Ijinkan aku sejenak untuk bersandar dalam kenangan ini.
Masih Saja merindukanmu
Mengapa rasa rindu ini masih saja bercokol dari ingatanku? Rekaman-rekaman kenangan indah di antara kita masih saja terputar di benakku. Mengenyahkan dirimu terlalu sulit untukku.
Rasanya semua rekaman tentangmu bergerak lambat di benakku. Aku ingin menikmati rasa itu sekali lagi.
Maaf, jika aku masih saja merindukanmu. Maaf, jika saja rasa ini masih belum bisa aku hilangkan dari pikiranku. Maaf, kalau aku masih mencintaimu
Salam Hangat,
Aku yang masih merindukanmu
Entah kenapa kenangan ini masih saja bercokol di hatiku
Dear Kamu
Pembicaraan kita semalam, membuatku merasa lega. Semua ganjalan yang selama ini bercokol di hatiku perlahan memudar. Mulai saat ini aku akan berusaha menerima semuanya. Menerima bahwa hubungan di antara kita tidak akan pernah lebih dari kata "aku dan kamu".
Mungkin benar, Allah mentakdirkan kita hanya untuk menjadi sepasang saudara, bukan sepasang kekasih yang sejak dulu aku impikan. Seperti yang pernah kamu bilang padaku, "Kamu harus mengejar mimpi panjangmu."
Terima kasih atas perjalanan indah kita. Semua ini tidak akan terhapus begitu saja. Aku percaya bahwa masih ada rasa yang tertitip di celah-celah jiwa kita.
Salam Hangat,
Aku
Akan aku simpan yang baik saja. Tentang kamu, tentang aku, tentang kisah Kita (Ari lasso-kisah kita)
Melepaskan
Aku berdiri tepat di belakang, untuk menyaksikanmu bahagia
Mungkin beberapa hari kemarin, aku masih belum rela untuk melepaskanmu. Bahkan untuk sekedar mengenyahkan kenangan itu. Waktu yang kita jalani cukup panjang. Dan, aku belum terbiasa denganmu
Kini aku siap kembali untuk melihat dunia luar. Walaupun hubungan kita tidak akan pernah bersama. Tapi, aku tahu bahwa masih ada rasa yang tertitip di relung kita masing-masing.
Mulai saat ini, aku akan melepaskan kenangan kita. Tapi, semua yang terjadi di antara kita berdua adalah kisah indah yang tidak tergantikan.
Mungkin Allah tidak menakdirkan kita sebagai pasangan hidup, tapi aku percaya bahwa Allah menakdirkan kita sebagai saudara
Semudah itu
Entah apa lagi yang harus aku katakan kepadamu. Rasanya semua terlihat sia-sia. Seolah-olah kamulah orang yang tersakiti. Kau buat semua seolah-olah akulah penjahat dan kamu adalah korban. Picik sekali jika kamu berpikir seperti itu.
Aku tahu jika yang aku lakukan padamu mungkin agak sedikit keterlaluan. Tapi, inilah caraku untuk mendapatkan kebenaran. Untuk apa aku harus menunggumu untuk bercerita? Jika kau saja semakin menjauh dariku. Kamu tidak pernah sadar bahwa sikapmu telah sangat menyakitiku. Kalau seperti itu tak bolehkah aku marah?
Yang bikin aku kecewa, tak satupun ada penjelasan. Tiba-tiba saja kamu memutuskan untuk mendepakku dari jalinan cerita yang kita susun bersama. Lebih menyakitkan lagi, kamu bersikap seolah itu bukan apa-apa. Dengan santainya kalian masih saja terhubung. Ah, itukah pria yang sangat aku cintai dulu?
Tak pernahkah kau sadari akulah yang kau sakiti. Engkau pergi dengan janjimu yang telah kau ingkari (Judika)
Salam Hangat,
Aku yang kau sakiti
rindu itu
Rindu ini masih tersimpan rapi dalam hati
Rindu ini masih tersimpan rapi dalam otak
Waktu pun tak sempat untuk membantuku menyampaikannya
Kamu yang telah pergi menjauh
Meninggalkan jejak luka yang membekas
Aku yakin semuanya akan baik-baik saja
Karena ku yakin rindu itu masih tersimpan di hatimu
Merindukanmu Sekali Saja
Mengenang semua kenangan yang pernah terukir di antara kita
Aku tahu kisah itu telah usang
Tapi, biarkan aku sejenak untuk membuka lagi memori masa lalu
Sungguh tak ada niatanku untuk kembali menganggu hidupmu
Aku hanya melintas untuk sekedar menitip rindu
Aku tahu rindu ini tak kan pernah ada artinya buatmu
Tapi, biarkan aku untuk merindukanmu sekali saja
Aku masih merindukanmu
Bagaimana tidak. Jejak yang terekam begitu lama tidak begitu saja dapat terhapuskan
Bayanganmu masih saja menyembul, menggoda untuk tetap diingat
Semua kenangan indah yang sudah lama membekas itu, tidak bisa dengan mudah untuk dihempaskan
Jangan pernah kau tanya bagaimana perasaanku saat ini
yang pasti, aku masih terluka untuk merindukanmu
Dialog Hati (Sebuah percakapan dengan hati)
Sebuah percakapan sederhana antara aku dan hati.
Kamu : Apa yang terjadi denganmu? Kenapa belakangan ini wajahmu sangat murung.
Aku : (Menghela napas panjang) Aku lagi patah hati. Kamu pernah merasakannya?
Kamu : Aku?? Pasti. Bahkan berulang kali
Aku : Bagaimana bisa? Kamu terlihat biasa saja.
Kamu : Tentu saja bisa. Semua orang yang jatuh cinta, kemungkinan besar pasti akan mengalami patah hati. Bahkan, ketika kalian sudah menikah kelak.
Aku : Jadi, setiap jatuh cinta. Kita harus bersiap untuk patah hati?
Kamu : Tidak hanya saat kita jatuh cinta. Setiap kita membuka diri kepada orang lain. bersiaplah orang itu akan menyakiti kita.
Aku : Hatiku sakit. Rasanya sama seperti ditusuk ribuan jarum.
Kamu : Aku tahu. Aku pernah mengalami hal yang sama denganmu. Tapi, jangan biarkan rasa sakit itu terus menggerusmu. Kamu boleh saja marah, sedih. Tapi, janganlah terlalu lama. Kamu harus bisa bangkit kembali.
Aku : Aku ingin dia juga merasakan sakit yang sama.
Kamu : Dia juga mengalami sakit yang sama denganmu. Tapi, mungkin saja dia tidak pernah menampakkannya. Percayalah, dia sama terlukanya denganmu.
Aku : Lalu, aku harus bagaimana?
Kamu : Maafkan dia. Biarkan hatimu sembuh dengan memaafkan.
Aku : Bolehkah, Aku masih merindukannya?
Kamu : Tentu saja boleh. Rasa yang tersimpan begitu lama memang tidak mudah untuk hilang. Perlahan, kamu pasti akan bisa melupakannya. Dengarkan aku, “Kejarlah mimpi panjangmu, maka dia akan merasa bahagia ketika melihatmu bahagia,” Dan itulah yang aku sebut dengan cinta sejati.”
Aku : Benarkah?
Kamu : Percayalah padaku
Cinta sejati adalah saat kau membiarkan orang yang kamu sayangi hidup bahagia
Dear Kamu
Aku tahu sekarang ini kamu marah, kecewa dengan semua yang telah terjadi. Aku pun juga merasakan hal yang sama.
Kamu tahu, betapa sakitnya hati ini ketika mengetahui semua itu. Kebohongan yang kau tutupi. Rasanya sama kayak ditusuk oleh ribuan jarum yang menancap tepat di jantungku.
Tidakkah kamu mengerti dengan perasaanku. Betapa aku harus menahan rasa perih melihatmu. Aku bertahan demimu.
Aku tahu bahwa tidak pernah ada kata "kita" di antara hubungan ini. Tapi, sedikit pun kamu tidak mencoba untuk memahaminya.
Sungguh aku tak ingin jalinan ini hancur dengan tidak baik. Bukankah dulu kita memulainya dengan baik.
Sudahlah, mungkin akulah yang terlalu berharap dan kamu tidak.
Kamu tidak akan pernah mengerti dengan perasaanku.
Salam Hangat,
Aku yang merindukanmu
Usai
Mimpi telah usang
Tertinggal kepingan rindu
Yang masih tertinggal
luka
Jalinan mimpi yang baru terajut indah tiba-tiba saja harus terurai
Luka ini kembali dalam
Menganga lebar
Aku terluka
Dan itu karena kamu
Lelah
Rindu ini sudah memuncak, tapi waktu tidak pernah berpihak untukku. Langit pun melarang pertemuan kita.
Berapa banyak lagi rasa rindu ini harus aku pupuk?
Masih butuhkah ribuan waktu untuk sekedar menyentuh ragamu?
Lelah...
Aku lelah menunggumu di sini.
Ketika Flu
Lidahku pahit, kepala masih pening. Kudu jaga kesehatan ni
Sejenak Saja
Sejenak saja, aku ingin berada di dekatmu
Sejenak saja, biarkan aku berada dalam dekapan mimpimu
Sejenak saja,
Waktuku tak akan lama
Mimpi kita
Masihkan janji itu tertinggal dibenakmu?
entah mengapa semua terlihat berbeda
kita tak lagi sama
aku merasakan jarak diantara kita kian jauh
sulit untuk aku menemukamu
Adakah kamu merasakannya?
Sebentar saja
Aku tahu semua ini hanya mimpi panjang
kelak jika aku terbangun, akan aku dapati duniaku yang sesungguhnya
Mungkin tidak pernah akan ada cerita tentang kamu
Semuanya akan hilang seperti terserap dalam pusaran air
Tak bolehkah aku sejenak bersandar di bahumu?
Menenggelamkan semua rasa yang menggelayuti mimpiku
Lelahkah kau dengan semua ini?
Sebentar saja
Jika kau sudah lelah, bolehlah kau tinggalkanku disini
Sekali saja
Menemaniku menikmati malam
Sekali saja dengarkan isi hatiku
Merintih rindu karenamu
Sekali saja, bisikkan kata rindu
Untuk menemani lelapnya tidurku
Sekali saja
Sebelum mimpi ini benar-benar berakhir
Luka
Aku tak pernah mengerti apa salahku. Tiba-tiba saja kau torehkan sebuah luka. Entah harus seperti apa aku harus bertahan. Jika luka yang kamu buat kian dalam.
Apa salahku?
Kenapa kau sakiti aku sedemikian hebatnya.
Bahkan aku tertatih untuk bangkit.
Sungguh teganya dirimu
Sudahlah
Adakah aku pernah menyakitiku? Hingga kau dengan sengaja menyakitiku. Kini aku mengerti tentang semua sikapmu kepadaku.
Haruskah aku katakan padamu, bahwa hatikulah yang paling tersakiti. Tapi apa pedulimu. Kau kan tak pernah menganggapku.
Sungguh aku lelah dengan semua permainan watakmu. Dan kebodohan telah mencemari benakku.
Pergilah, bawa semua mimpi-mimpi itu. Biarlah aku sendiri--menerima kekalahan ini.
Perih
Perih ini kembali menepi
membuat luka yang semakin dalam
dan kali ini tidak ada penyembuhnya
bodohnya aku
percaya akan semua omonganmu
Ketika Kegagalan Berbuah Sebuah Keberhasilan
Jika kamu berpikir bahwa kegagalan selalu membuatmu jatuh. Kamu salah.
Aku pernah jatuh, tapi sekarang aku bisa bangkit.
(Luphyta, 04-04-2012)
Seorang teman kemarin bertanya mengapa beberapa hari ini tidak ada tulisan baru di blog ini. Dan sekarang saya berusaha memenuhinya.
Siapa pernah gagal? Siapa yang pernah merutuki nasib yang kadang tidak selalu manis?
Jawabnya, saya.
Nggak percaya?
Percaya aja deh :D
Sepertinya saya pernah buat postingan juga mengenai betapa kecewa saya ketika 2x mengikuti tes jenjang S2 semuanya gagal total. Kalau gagal sekali itu wajar, lah ini sampai 2x dengan alasan yang menurut saya sangat subjektif.
Terus terang saat itu saya benar-benar kecewa, marah. Saya merasa punya kemampuan yang sama dengan orang lain, tapi entah kenapa 'mereka-mereka' itu hanya melihat kekurangan saya. Dangkal banget kan?
Saya sempat down dan tidak berani bercerita kepada kedua orang tua mengenai pendapat mereka tentang saya. Saya tidak mau kedua orang tua saya sedih.
Ternyata tidak selamanya kegagalan itu menyakitkan. Masih ada rencana dari Allah Sang Pencipta yang ternyata sangat -hebat. Saking hebatnya, saya bersyukur kalau dulu saya pernah gagal.
Semenjak nggak lulus tes S2, saya kembali menekuni dunia menulis, bertemu dengan orang-orang baru yang mempunyai passion yang sama. Mulai merencanakan menyelesaikan novel perdana, hingga akhirnya saya bisa menghasilkan sebuah kumpulan cerpen yang ditulis bertiga dengan kakak-kakak yang luar biasa.
Orang tua pun mulai menyibukkan saya dengan mengikutkan Les Bahasa Inggris. Di tempat les saya bertemu dengan teman-teman luar biasa, juga dengan guru yang membuat saya nyaman. Mereka tidak melihat kekurangan, mereka menilai semuanya positif.
Beberapa bulan kemudian saya pun diterima kerja di sebuah sekolah dengan mudah. Lagi-lagi saya dikelilingi orang-orang yang menghargai sebuah kemampuan. Mereka mendukung saya, bahkan juga beberapa wali murid.
Dan saya pun diberi kesempatan untuk mengikuti lomba guru berprestasi. Terus terang saya nggak percaya diri, soalnya merasa kemampuan saya biasa saja, nggak ada yang istimewa. Saat mengikutinya pun akhirnya pasrah.
Ketika masuk ruang ujian cuman bisa senyam-senyum. Pasalnya semua guru yang ikut usia di atasku. Aku merasa paling muda dengan pengalaman yang superminim.
Ketika pengumuman berlangsung, aku juga tidak pernah menyangka bahwa nama saya akan berada di urutan pertama dengan nilai tertinggi. Antara percaya atau tidak saya pun dengan berani melaju ke babak berikutnya.
Para pengawas pun sempta menertawakan saya, karena sertifikat yang dibawa terlalu sedikit, tapi ketika ada sebuah buku di dalamnya, mereka tambah kaget. Mereka bilang bahwa saya harus meneruskan hobby menulis saya, karena ini dapat menambah poin saya kelak ketika sertifikasi.
Saya pun berbangga hati bisa menempati urutan ke empat, sebab kata pengawas saya kalah hanya karena masa kerja saya yang masih sedikit.
Andaikan saat ini saya sedang kuliah S2, saya mungkin tidak akan pernah bertemu dan mendapatkan pengalaman yang luar biasa.
Surat kepada Langit
Dear Langit,
Sudah setahun rasanya aku pergi meninggalkanmu. Meninggalkan semua rasa kepadamu.
Seperti apa dirimu saat ini, Lang? Masihkah sama seperti setahun lalu.
Ada banyak cerita yang ingin aku sampaikan padamu, Lang. Maukah engkau mendengar jika aku kembali nanti?
Aku harap kamu adalah langit sahabatku yang dahulu.
Tanpamu
Jangan berhenti berjuang
aku di sini bersamamu
tanpamu aku tidak ada
kamulah cahaya penerangku
tanpamu aku lumpuh
tetaplah di sini bersamaku
tanpamu aku bukan siap-siapa
Menginspirasi melalui tulisan
Jika kau tak punya cukup uang untuk menguasai dunia. Menulislah, maka secara tidak langsung kamu telah menguasai dunia (Lupyhta, 2012)
Ketika membuat sebuah tulisan, tidak pernah terpikir dalam benak saya jika akhirnya tulisan saya dapat mempengaruhi atau bahkan sampai memberi inspirasi.
Buat saya, setiap tulisan yang saya buat adalah dari hati (bahkah curhatan hati). Mungkin inilah yang membuat beberapa pembaca saya ada yang berkomentar bahwa apa yang dia tulis sama dengan keadaannya. Wow..!
Sekali lagi terima kasih atas apresiasi terhadap hasil tulisan saya. Semoga tulisan-tulisan saya selalu bisa memberikan inspirasi untuk menjadi seseorang yang lebih baik.
MARI KITA TULARKAN KEGIATAN MENULIS
Aku menulis karena
Menulis sama dengan membuka semua panca indera, menulis membantuku untuk lebih peka terhadap sekitar (Lupyhta, 2012)
Dulu aku berpikir bahwa menulis hanyalah sarana sebagai pelepasan emosi yang seringkali mengacaukan hidupku. Dan, inilah juga salah satu alasan mengapa akhirnya blog ini aku bikin.
Seiringnya waktu. Semakin aku sering menulis, aku semakin merasakan kekuatannya. Buatku menulis sekarang adalah kebutuhan. Berhenti menulis sehari saja sudah membuat otakku penuh dan gila. Aku butuh pelampiasan untuk menuangkan ide-ide gila dalam hidupku, walaupun itu sekedar beberapa paragraf. It doesn't matter.
Aku sangat menikmati ketika jari-jemariku mengetik ribuan aksara, menguntai menjadi sebuah tulisan. Rasanya ketika menulis seluruh beban di dadaku menghilang.
Menulis ibaratnya minuman. Terlalu sedikit membuat pinggang sakit, terlalu banyak bisa buat muntah (ini logika saya loh :D)
So, kalau beberapa tulisan di blog ini lebih seperti sebuah curhatan. Tolong di maklumi :P
Sekali lagi, menulis membuatku lega.
kenangan
Masih terdengar gelak tawamu di seluruh kamar ini. Sekilas siluetmu yang sedang duduk di tepi ranjang sambil berceloteh tentang mimpi-mimpu berputar di kedua pelupuk matamu.
Aku masih merasakan kehadiranmu. Merasakan sentuhan lembutmu di tubuhku.
Aku merindumu. Merindukan bau shampo di sela-sela rambut basahmu.
Dan sampai sekarang aku belum rela untuk melupakanmu
sudahlah
Aku tak akan membuatmu susah
Dengan segala keinginanku
Lupakan saja semua mimpi kita
Karena tidak akan pernah ada kata 'satu'
Biarlah ini akan menjadi satu mimpi panjang
Ketika aku bangun semuanya akan terasa beda.
perih
Pada kamu yang semakin jauh
Rindu ini harus kemana
Sedangkan kamu tak tahu kemana
Haruskah aku sendiri
Dan kamu tidak perduli dengan semuanya
Cih, sedihnya aku
Karena harus menahan perih merindu
rindu
Haruskah aku memohonmu kembali, sekedar menemani rasa sepiku. Sungguh, hati ini tak sanggup.
Rindu ini masih tersisa untukmu.
Menulis dengan hati
Menulislah dengan hatimu. Temukan rasa yang tersembunyi di setiap rangkaian kata yang kau torehkan melalui jemarimu.
Buatlah semua orang terpukau, dan biarkan tulisanmu menguasai dunia.
Kritik adalah bumbu pedas yang akan membuat tulisan lebih berwarna. Editing adalah bagaimana cara mempercantik tulisan kita.
So, mari kita sebarkan semangat menulis bagi semua orang.
Karena dengan tulisan, karyamu lebih kekal.
Ada aku di sini
Ingatlah ada aku di sini
Ketika ada orang yang membencimu
Ingatlah ada aku di sini
Ketika semua orang mencibirmu
Ingatlah ada aku di sini
Sudah hapuslah air matamu
Jangan pernah kau takut
Ada aku di sini
Ketika semua orang meninggalkanmu
Ingatlah ada aku di sini
Ketika tak ada tempatmu untuk bersandar
Ingatlah ada aku di sini
Usahlah kau tangisi kepergiannya
Karena dia tak akan kembali
Ada aku di sini
Hanya ada aku di sini
Ketika semua orang tak lagi percaya padamu
Hargai Karya Orang Lain
Buat semua pembaca blogku. Saya tidak pernah marah jika ada dari kalian mengutip atau menyalin tulisan saya. Tapi, tolong sertakanlah nama atau link saya di bawahnya.
Bagaimana pun juga tulisan itu hasil karya saya.
Jika kalian ingin jadi penulis besar, mulailah dengan hal yang kecil. Bolehlah ide itu terinspirasi dari tulisan orang lain (saya juga nggak menyangkal banyak tulisan saya terinspirasi dari tulisan orang) tapi saya kemudian mengolahnya dengan sudut pandang yang berbeda. Jadilah, sebuah ide yang sama dengan rasa yang berbeda.
Jika ingin di hargai, hargailah orang lain
hidup itu
Tapi bukan untuk dibuat susah
Terus tersenyumlah
Meski hatimu sedang lara
Sudah hapus air matamu
Hadapilah cacian dengan senyuman
Hidup itu tidak mudah
Tapi bukan berarti tidak bisa dipermudah
Hanya butuh kerja keras
Dan juga hati yang tulus
Jangan pernah remehkan dirimu
Karena kamu tidak akan pernah tahu
Mungkin kelak kamu akan mengguncang dunia
Jadi tetaplah tersenyum
Meski ada yang tidak menyukaimu
1, 2, 3, 4
Jantungku berdegub kencang ketika di dekatmu
Dua...
Hati ini terasa sepi jika tidak bertemu denganmu
Tiga...
Aku cemburu pada wanita-wanita di dekatmu.
Empat...
Sepertinya aku telah jatuh cinta padamu
bumerang
Sejak peristiwa kemarin di caffe, mendadak aku malas ketemu dia. Bahkan beberapa telepon dan smsnya aku diamkan.
Sesekali dia memang harus di beri pelajaran. Biar dia mengerti bagaimana sebalnya hati wanita melihat tingkahnya itu.
###
Dan sekarang, setelah seminggu mendiamkannya. Malah aku yang merasakan rindu yang begitu gila, bahkan saking gilanya puluhan draft pesan singkat mendiami outboxku.
Sialnya lagi, ternyata dia mengikuti kemalasanku. Sampai sekarang dia pun tak menampakkan batang hidungnya.
Arrrrrrrghhhh, aku mengerang. Aku lempar foto dia yang tersenyum manis ke dalam kotak sampah, tapi belum dapat lima menit aku sudah kembali memungutnya.
Ternyata cinta mengalahkan semuanya
Hanya kamu
Hanya kamu yang selalu bisa membuatku tertawa tanpa beban
Hanya kamu yang bisa membuatku bersandar lepas di bahumu
Hanya kamu yang namanya selalu aku ingat dalam mimpiku
Hanya kamu...
Sebal
Aku menatap sebal pada pria yang tepat berdiri di depanku. Dan seperti biasa dia tidak terpengaruh dengan perubahan raut wajah yang aku tunjukkan. Datar--tanpa emosi.
"Hmm," erangku.
"Kamu marah?" Pertanyaan itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya.
"Apa aku tidak boleh marah?"
"Tentu saja boleh, marah itu salah satu bentuk emosi yang harus dikeluarkan,"jawabmu. "Apa permasalahannya?" Tanyamu sambil melipat tangan di dada.
Arghhh..kenapa pria di depanku ini tidak merasa bahwa dialah sumber dari kemarahanku.
"Cari tahu sendiri." Aku pergi meninggalkan dia
Susah sekali membuat lelaki lebih peka
Berserakan
Semua rasa yang aku rasakan berserakan
Aku terlepas, terhempas
seketika itu aku dapati semua rasaku untukmu telah luruh
yang tersisa hanya kepingan kecil yang terkadang menyayat lebih tajam
kamu tidak pernah peduli dengan apa yang aku rasa
kamu tidak pernah peduli dengan apa yang aku inginkan
bahkan kamu tak tahu tentang semua perasaanmu padaku
Jika kau bertanya padaku
Aku harus bagaimana
karena aku sendiri tidak bisa menyakinkanmu untuk mengerti aku
Kamu tidak pernah tahu
Yang kamu tahu hanya memenuhi egomu saja
Kamu tidak pernah tahu bagaimana perasaanku
Yang kamu tahu hanya kebahagiaanmu sendiri
Kamu tidak pernah tahu seperti apa yang aku inginkan
Yang kamu tahu saat aku tersenyum saja
Kamu tidak pernah tahu berapa banyak air mata yang aku keluarkan
Yang kamu tahu aku harus selalu tersenyum saat dekatmu
kecewa
Ketika kau tak lagi ingin mempertahankan semua rasa
Kenapa harus aku yang melakukan?
Jika kau sudah tak ingin semuanya kembali
Segampang inikah caramu?
Sungguh aku kecewa
suatu sore
Layaknya semburat senja yang perlahan tenggelam gelapnya malam
Akankah ada sinar gemintang yang akan menggantiikan sedihnya malamku?
kamu
Kamu yang hanya mementingkan dirimu
Kamu yang menyebalkan
Dan kamu yang kerap membuatku menangis
Mengertilah tentangku
Aku tak butuh rayuan
Aku tak butuh hadiah
Yang aku butuhkan hanya kau mengerti aku
Bagaimana kau tahu
Kalau kau tak pernah bertanya padaku
Bagaimana kau tahu isi hatiku?
Kalau kau terlalu pengecut tuk bertanya
Bagaimana kau tahu isi hatiku?
Kalau kau terlalu takut untuk mendekatiku
Bagaimana kau tahu isi hatiku?
Kalau kau sendiri tidak paham dengan perasaanmu sendiri
Bagaimana kau tahu isi hatiku?
Kalau kau tak mencoba untuk menyatakan perasaanmu
*terinspirasi dari curhatan teman
Titipan
Ndri, Paman titip Ningsih ya. Soalnya kalau sekolah di Desa. Paling banter dia cuman jadi lulusan SMP. Kamu tahu kan kalau di desaku itu sekolah cuman sampe SMP aja,” pesan Pamanku–Rudi sebelum naik ke dalam kereta.
“Iya Paman, Insya Allah saya dan Mila akan berusaha menjaga Ningsih dengan baik.”
“Paman percayakan Ningsih sama kalian ya Ndri. Paman ingin Ningsih bisa jadi orang sukses yang taat pada jalan Allah seperti kamu dan Mila.”
“Insya Allah Paman, kami akan jaga Ningsih sebisa mungkin.”
“Ya, sudah kalau gitu. Paman berangkat dulu.”
“Hati-hati, Paman.
Sejak hari itu Ningsih, keponakanku itu secara resmi tinggal bersama kami.
Aku dan Mila adalah seorang pekerja kantoran dengan jam kerja yang lumayan sibuk. Kami berdua baru sampai di rumah menjelang malam, bahkan kalau lemburnya gila-gilaan bisa hingga dini hari. Hal inilah yang mungkin menyebabkan kami susah untuk mendapatkan momongan. Sampai menginjak tiga tahun pernikahan, kami belum direstui untuk memiliki momongan.
Mengajak Ningsih untuk tinggal bersama kami adalah rencana awal dari Mila. Kata dia rumah ini terlalu sepi, dan kebetulan pamanku sedang mengalami kendala ekonomi untuk menyekolahkan anaknya. Akhirnya kami memutuskan untuk membantu menyekolahkan Ningsih.
****
Pagi-pagi benar, aku sudah siap-siap untuk berangkat kerja. Mila—istriku masih tertidur pulas. Aku tidak tega untuk membangunkannya, karena dia baru saja tertidur setelah lembur mengerjakan tugas-tugas kantor.
“Sarapan dulu, Pak,” Mbok Nah—asisten rumah tanggaku muncul dari dapur.
“Maaf Mbok, saya sudah buru-buru. Tolong nanti si Mbok bantuin Ningsih naik kendaraan umum ya, soalnya dia masih belum paham jalur-jalurnya.”
“Baik, Pak,” jawab Mbok Nah khidmad.
Aku pun dengan langkah terburu-terburu menuju di mana mobil kesayanganku terparkir.
****
“Pak, hari ini mbak Ningsih pulangnya malam. Pas saya tanya darimana, dia malah marah,” lapor mbok Nah saat aku dan Mila baru saja datang.
Belakangan ini pekerjaanku dan Mila sangat sibuk. Kami pun hanya sebentar di rumah kemudian kembali lagi ke kantor bahkan tidak jarang kami harus ke luar untuk ketemu klien. Kami hampir tak pernah bertemu Ningsih untuk sekedar menanyakan kabarnya.
Laporan dari mbok Nah sedikit meresahkanku. Ini sudah kesekian kalinya aku mendengar Ningsih pulang malam. Apa yang dilakukan gadis itu di luar sana.
“Ah, Ningsih kan sudah besar, Mas. Dia pasti bisa menjaga dirinya.” kata Mila saat kuutarakan kekhawatiranku.
“Ningsih…. Ning… Kamu sudah tidur?” Mila mengetuk kamar Ningsih.
Tak ada jawaban.
“Mungkin dia sudah tidur, Yang. Sudahlah, besok pagi saja kita coba bicara sama dia” ujarku sambil menggamit tangan Mila, mengajaknya ke kamar kami.
Tiba-tiba telepon rumah berbunyi. Aneh, jam segini ada yang menelpon.
“Halo.”
“Halo, ini Hendri? Ini paman, Ndri. Paman Rudi.”
“Wah iya paman. Ada apa menelpon malam-malam begini.”
“Nggak, aku cuma ingin menanyakan kabar Ningsih. Dia baik-baik aja kan? Ini lho tantemu khawatir, tiba-tiba kok kepikiran Ningsih katanya. Mana handphonenya nggak bisa ditelpon.”
“Baik paman. Sepertinya Ningsih sedang tidur. Saya dan Mila barusan pulang.”
“Ooo ya sudah kalau gitu. Besok pagi tolong suruh Ningsih telpon kami ya.”
“Oya Ndri, apa kamu tahu Ningsih ada masalah atau tidak? Belakangan ini sepertinya dia berubah. Seperti nggak suka kalau kami telpon dan sering marah. Nggak biasanya Ningsih begitu.”
“Ah, masa paman. Setahu saya Ningsih baik-baik saja kok. Saya dan Mila memang nggak bisa terus memperhatikan, tapi ada mbok Nah yang mengawasi Ningsih.”
“Ya wis Ndri, titip-titip Ningsih ya. Paman tahu kamu dan Mila orang sibuk, tapi tolong jaga Ningsih ya Ndri. Anak kampung pergi ke Jakarta, takutnya kenapa-kenapa. Apalagi di Jakarta banyak narkoba, pergaulan yang nggak bagus” pesan Paman mengakhiri pembicaraan kami.
Sudah 6 bulan Ningsih tinggal bersama aku dan Mila, selama itu mungkin benar-benar hanya dalam hitungan jari kami menghabiskan waktu bertiga. Tiba-tiba aku tercekat, kalau menjaga dan mengawasi keponakan saja aku tidak punya waktu. Bagaimana jika kelak kami punya anak sendiri, pikirku resah.
“Halo” sayup-sayup kudengar Mila menjawab panggilan di telepon genggamnya.
“Apa? Ningsih? Ini siapa? Di mana?” ujar Mila, panik. Aku segera bergegas menghampirinya.
“Ningsih, Mas. Ada di UGD rumah sakit Delima. Katanya over dosis narkoba. Itu tadi suster yang telepon. Ayo kita ke sana” buru Mila.
Kami bergegas menuju rumah sakit. Seribu penyesalan berkecamuk di benakku. Terbayang Ningsih terbaring tak sadar di rumah sakit, terngiang juga perkataan Paman saat meminta kami menjaga Ningsih.
Duh, Gusti. Kenapa bisa begini. Maafkan kami lalai menjaga titipanMu. Tak bisa memegang kepercayaan yang diberikan orang kepada kami.
Mila menangis tersedu di sampingku. Aku tahu dia memiliki penyesalan yang sama denganku. Dalam mobil yang kupacu kencang di tengah gelapnya pagi, aku cuma bisa berdoa. “Semoga belum terlambat. Semoga Tuhan berkenan memberikan kami kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan ini. Semoga Ningsih bisa diselamatkan.”
Cerita ini dibuat untuk #20HariNulisDuet oleh @alfakurnia dan @child_smurf
Lepaskan
Biarkan aku terbang menjauh darimu
Melepas semua rasa yang telah tercipta
Aku sadar rasa itu sudah terlanjur dalam
mengendap
menumpuk di dalam hatiku
Aku tahu ini susah
Lepaskan aku
karena aku tak mau menjadi yang kedua
Dalam Bayangan
Matahari masih setengah muncul—malu-malu. Sinarnya yang belum menyengat menilik lewat sela-sela jendela kamarku, hangat. Aku membuka mata. Refleks tanganku meraba-raba ruang di sampingku lalu bernafas lega. Lelaki itu masih ada di sana. Aku tolehkan kepala untuk melihatnya, dia terlihat masih lelap dalam tidurnya yang entah bermimpi apa.
Perlahan aku meringsut turun dari ranjang menuju dapur. Mengeluarkan dua mug bertuliskan ‘aku’ dan ‘kamu’
Aku mengisi teko dengan sedikit air dan kemudian memanaskannya sebentar. Sambil menunggu air mendidih, tanganku membuka dua sachet kopi instan kesukaanmu.
“Selamat pagi ucapku menyemangati diri sendiri sambil membuka jendela dapur. Hidungku mencium aroma wangi bunga Lili yang kelopaknya tampak segar, baru merekah. Potnya yang berwarna ungu tampak kontras dengan putihnya. Aku sengaja menaruh bunga lili itu di dekat jendela, agar dapur kami terlihat lebih hidup.
Aku mengikat rambutku, mengambil air yang telah mendidih; menuangkannya ke dalam mug yang telah aku persiapkan. Urusan menyeduh kopi pun telah selesai. Aku mengeluarkan wajan anti lengket, menyiapkan sarapan untuk lelakiku yang masih tertidur lelap.
Lelakiku adalah tipe rumahan, dan sarapan adalah sesuatu yang wajib untuk disediakan setiap pagi. Hmm..sepertinya nasi goreng cukup sempurna untuk sarapan pagi ini. Sambil bersenandung kecil, aku menyelesaikan acara memasakku.
Tak berapa lama kemudian aku sudah keluar dari dapur membawa dua buah piring nasi goreng yang masih mengepul. Aku menata meja mungilku. Meletakan dua buah piring nasi goreng dan dua gelas kopi yang asapnya masih mengepul. Saatnya membangunkan dia.
“Sayang, sarapan yuk,” panggilku sambil membuka tirai-tirai yang masih menutupi kamar kami.
“Hmm…” hanya gumaman yang keluar dari mulutnya. Matanya tetap terpejam, dia menggeliat. Ah, seperti biasa lelakiku memang manja.
Aku menghampirinya, menepuk pundaknya sekali lagi, “Yank, bangun yuk.” Dia diam tak menjawab. Gemas dengan tingkahnya aku semakin maju untuk mendekatinya, dan tiba-tiba..
Dia membuka mata—tersenyum dan merengkuhku dalam pelukannya yang kokoh.
“Aku masih ngantuk,” jawabnya sambil memelukku dengan erat.
Aku merona, jantungku berdegub kencang. Ingin aku mengelak dari pelukannya, tapi percuma karena dia semakin merengkuhku dalam dadanya. Tiba-tiba dia membuka mata, mengecup bibirku dengan perlahan sambil berbisik, “Selamat pagi matahariku.”
Sayup-sayup terdengar suara pintu di ketuk. Dengan malas aku bangkit dari dada lelakiku sambil menggerutu.
“Cepat bangun, nanti sarapan dan mochacino favoritmu keburu dingin,” ingatku untuk kesekian kali padanya sambil merengut dan berlari ke pintu.
Siapa gerangan yang bertandang sepagi ini?
Sambil membuka pintu, sudut mataku menangkap lelakiku bertelanjang dada melangkah malas menuju ke dapur. Senyumku terbit melihat tingkahnya.
****
Pintu terbuka, senyuman lebar khas Ama, sahabatku, tersuguh sehangat mentari. Di tangannya sekeranjang apel tampak ranum bertumpuk. Ku ambil sebuah yang paling atas dan beranjak masuk meninggalkan Ama di belakang. Sahabatku ini tak perlu dipersilakan, rumah ini seperti rumah keduanya.
Benar dugaanku, di belakangku, pintu berdebam tertutup dan suara Ama terdengar menggerutu “Tuan rumah macam apa yang tidak mempersilakan tamunya masuk sehabis merampok apel yang dia bawa, tidak benar ini"
:Gumaman Ama terhenti seiring dengan hidungnya yang kembang kempis. “Hey, Sya. Bau enak ini, haaseeekkk nasssii goreeeeng . Tanpa basa-basi dia menghambur ke dapur, melibasku yang terjengkang selangkah ke belakang.
Sialan" teriakku sambil tertawa.
Mataku mencari-cari sosok lelakiku, tidak ada. Ah, mungkin dia sedang di kamar mandi membersihkan dirinya terlebih dahulu. Sambil sibuk mengunyah apel yang tinggal separuh, ku towel pipi Ama
"Ma, tunggu sebentar. Makannya bareng-bareng aja" ucapku sambil mengedipkan mata. Gerakan Ama menyendok nasi goreng ke piringnya terhenti di udara
“Eh, kamu nunggu teman ya. Okey deh, aku cuma mau icip aja" sesendok besar nasi goreng masuk ke mulutnya. Matanya yang terpejam-pejam keenakan tiba-tiba tertahan pada dua cangkir mochacino hangat yang kuletakkan di ujung meja, alisnya berkerut. Diletakkannya sendok ke piring sambil memandangiku, mulai heran
"Sya, kamu sama sapa? Ada yang nginap di sini ya ?
Aku menggeleng.
“Lantas kopi ini buat sapa? Kok ada dua begini?" tanya Ama heran.
Buat Satria, jawabku dalam hati. Ama gimana sih. Masak sama status teman sendiri lupa.
"Sya, kok malah bengong sih?” Ama memanggilku.
"Hah?" jawabku kaget.
"Tu, kan malah melamun. Sini..duduk yuk kita sarapan."
Aku menarik kursi--duduk di depan Ama yang sedang lahap dengan nasi goreng dihadapannya. Aku diam--memandang makanan di depanku. Ada rasa tidak rela melihat Ama menghabiskan makanan yang telah aku siapkan untuk lelakiku.
Kemana sih, kok dia belum muncul juga? Jangan-jangan dia tahu bahwa ada Ama. Maaf ya sayang, aku tidak tahu bahwa Ama akan datang sepagi ini dan merusak sarapan kita.
"Sya, kok nggak dimakan? Kamu kenapa sih?."
"Nggak apa-apa. Aku BT sama kamu. Pagi-pagi sudah ngerampok makanan orang," jawabku sebal.
"Aku tadi telp, hapemu nggak aktif. Ya, sudah kamu aku kesini saja,” Ama member penjelasan dengan nada tidak jelas.
"Baterenya lowbat, lupa di charge," jawabku sambil menyesap mochanino di hadapanku.
“Astaga, Sya. Jadi kamu nggak rela kalau makanan ini aku makan?"
Aku menggeleng.
Makanan itu bukan buat kamu tapi buat Satria.
"Sya, jangan bilang kalau makanan ini kamu siapkan buat...?" Ama tidak melanjutkan kata-katanya
Aku mengangguk.
Air mata mulai berhamburan dari kedua pelupuk mataku. Ama diam sambil mengenggam tanganku dari seberang meja. Bibirnya terkatup rapat.
Tangisku semakin menjadi, hangatnya genggaman Ama menamparku telak, membangunkanku dari mimpi. Tiba-tiba hatiku seperti diremas oleh ribuan tangan, sakitnyaa tidak tertahankan. Sakit yang sama ketika aku mendengar tentang kecelakaan Satria. Dan rasa sakit yang sama ketika aku terjerembab di atas pusara bertanah merah bertuliskan namanya.
Sakit ini tidak bisa kau bahasakan. Hatiku ternyata tidak pernah benar-benar bisa melepaskannya.
Ya…Satria sudah tiada.
Di sudut sana foto Satria tersenyum manis sedang memandangku dari kejauhan.
In the arms of the angel,
Fly away from here,
From this dark,cold hotel room,
And the endlessness that you feel
You are pulled from the wreckage,
Of your silence reverie.
You're in the arms of the angel,
May you find some comfort here.
(Angel-Sarah Mclean)
Hasil Tulisan duet antara @child_smurf dan @alithdqueen
Dear Imajinasi
Berbaik-baiklah denganku malam ini. Aku sungguh-sungguh membutuhkanmu malam ini untuk melengkapi cerita yang siap aku tuliskan dalam bukuku.
Aku tahu ini memang berat, tapi aku akan terus mencoba. Membuat semua impian ini menjadi sesuatu yang bisa aku capai.
Aku tahu, karyaku masih jauh dari sempurna. Tapi, setidaknya ijinkan aku sejenak untuk menyelesaikannya
Janji Wakil Rakyat
“Dengan nama Allah, saya bersumpah untuk menjalankan tugas dan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya. Tidak melakukan pelanggaran terhadap kode etik negara dan menaati setiap aturan yang ada.”
Seorang anak laki-laki duduk di depan sebuah kotak berukuran 14’ yang mengeluarkan gambar dan suara seorang lelaki berbadan tambun, berkacamata kotak, berambut putih dan berjas hitam lengkap sedang mengambil sebuah sumpah jabatan di bawah kitab suci kepercayaannya.
Sedari tadi dia terus memperhatikan tanpa beranjak dari duduknya, seperti menyaksikan tayangan kartun yang begitu menarik sesuai dengan kesukaan teman-teman sebayanya.
KLIK!
Tiba-tiba televisi itu tidak mengeluarkan suara, gelap. Sengaja dimatikan oleh seorang perempuan paruh baya yang berdiri di belakangnya. Anak laki-laki itu menoleh ke belakang, dan menatap wajah perempuan yang ternyata Ibunya dengan muka kecewa.
“Ibu, kenapa TV-nya dimatikan?” tanyanya.
“Kamu harus sekolah, Arman. Lagipula tidak pantas anak seusiamu nonton tayangan seperti itu.” Ucap Ibu dengan sabar. Dia sangat mengerti, bahwa anaknya memang memiliki keingintahuan yang cukup tinggi terhadap suatu hal.
“Memang kenapa Ibu? Aku hanya ingin tahu siapa menteri-menteri yang akan dilantik. Mereka kan memiliki komitmen untuk menyejahterakan kita, Bu.”
Ibu menghampiri Arman, duduk di sebelahnya, dan menggenggam pundaknya. “Tidak, Arman. Mereka hanya ingin memperkaya diri mereka sendiri. Liat saja beberapa bulan nanti, salah satu dari mereka aka nada yang masuk bui karena korupsi. Percayalah pada Ibu. Kamu pasti akan tahu.”
Arman, masih tidak mengerti dan masih banyak pertanyaan yang memenuhi kepalanya, sebelum Ibunya menarik tangannya dan menyuruhnya untuk berangkat ke sekolah.
Apa benar kata Ibu bahwa wakil rakyat itu dilantik hanya untuk memperkaya diri sendiri?
Saat di sekolah Arman pun masih saja memikirkan perkataan ibunya. Dia masih saja penasaran dengan apa yang dikatakan ibunya tadi pagi. Rasa ingin tahunya semakin bertambah besar.
****
Saat pelajaran berlangsung, Arman masih saja berkutat dengan pikirannya sehingga tanpa dia sadari Pak Soleh--guru PKN itu sedang memperhatikannya.
"Arman! Dari tadi Bapak perhatikan kamu kok kayak orang melamun begitu. Ada apa?"
Arman terlonjak kaget, dia tidak menyangka bahwa pak Soleh sedang memperhatikannya.
"Be..gini Pak, boleh saya tanya sesuatu?" tanya Arman sambil cengar-cengir setelah tertangkap basah melamun.
"Kamu mau tanya apa, Man?"
"Begini Pak, saya mau tanya apa benar wakil rakyat itu dilantik hanya untuk memperkaya diri sendiri?
Teman-teman Arman tertawa mendengar pertanyaan yang dilontarkan. Beberapa dari mereka saling berbisik-bisik.
Pak Sholeh terkejut dengan pertanyaan Arman. Dia tidak menyangka bahwa Arman yang masih duduk dibangku SD itu akan menanyakan hal-hal berat seperti ini. Pak Sholeh tersenyum dalam hati dia bangga melihat kekritisan yang dimiliki oleh Arman. Cerdas juga anak ini.
"Begini Man, setahu bapak kita memilih wakil rakyat dan para mentri itu ya untuk mewakiliaspirasi kita. Tapi, kalau memang ada yang menyeleweng itu memang sudah bukan kuasa kita. Namanya saja lidah, dia dapat lupa dengan apa yang telah dijanjikan."
"Lalu, sampai sejauh mana aspirasi kita dijalankan pak?" tanya Arman lagi
"Bapak, agak tidak paham soal begitu itu Man. Mungkin ada baiknya kamu lebih banyak membaca saja."
"Baik, Pak" Arman terdiam dengan ribuan pertanyaan di otakknya.
****
Pagi ini matahari bersinar sangat cerah, Arman seperti biasa sudah bersiap-siap berangkat sekolah. Setelah berpamitan dia pun melangkahkan kakinya dengan hati riang.
Sampai di perempatan jalan dekat sekolahnya, Arman berbelok. Rupanya hari ini dia sedang tidak ingin pergi ke sekolah. Dia berhenti di sebuah rumah kosong, mengeluarkan sebuah bungkusan dari koran dalam tasnya dan kemudian masuk ke dalam rumah itu.
Beberapa menit kemudian Arman keluar, seragam sekolah yang tadi melekat ditubuhnya sudah berganti dengan sebuah kaos berwarna putih kekuningan dan celana pendek berwarna coklat pudar. Rupanya Arman sudah mempersiapkan semua dari rumah. Arman memiliki suatu misi yaitu menuntaskan rasa keingintahuannya.
Hari ini dia berniat mengunjungi gedung di mana para wakil rakyat berkumpul. Dia masih sangat penasaran dengan apa sebenarnya yang dikerjakan para wakil rakyat itu.
Sampailah Arman di pelataran kantor di mana Anggota Dewan dan para Menteri melakukan tanggung jawabnya. Dengan penuh semangat dia berjalan melewati pos penjagaan.
"Permisi Dek, maaf pemulung tidak boleh masuk ke dalam," tegur salah seorang security di kantor itu.
"Maaf Pak, saya Arman dan saya bukan pemulung. Saya kesini ingin bertemu dengan Pak Mentri."
"Mereka sibuk dan nggak ada waktu untuk ngurusin hal macam beginian. Sudah sana pulang," ujar salah satu security.
"Kamu ini ada-ada saja. Pemulung kok mau ketemu sama Pak Menteri," salah seorang secuirity ikut berkomentar.=
"Tapi Pak, saya kesini memang mau ketemu dengan Pak Menteri. Sungguh saya bukan pemulung."
"Ah, sudah. Kamu Nganggu orang lagi kerja saja," salah satu dari mereka menghardik Arman.
Satu orang security menghampiri, dan mengajak Arman keluar dari pos Penjagaan.
"Nih saya kasih kamu uang untuk ongkos pulang. Saya tahu kamu ingin ketemu sama pak Mentri. Tapi, itu nggak mungkin Dek. Mereka terlalu sibuk untuk ngurusin orang miskin macam kita. Yang boleh ketemu mereka hanya kumpulan orang berdasi. Jadi, lebih baik kamu pulang saja."
Raut wajah Arman yang semula terlihat begitu bahagia, karena kesempatannya untuk bertemu dengan para wakil rakyat yang dia lihat di TV, langsung berubah menjadi begitu sedih. Lalu dia ingat perkataan Ibunya kemarin,
"Bapak, sebelum saya pergi bolehkah saya bertanya sesuatu?"
"Apa, Nak?" tanya salah seorang security.
"Apakah di tempat ini memperbolehkan korupsi? Apa Bapak tau kisah para menteri yang melakukan korupsi di sini?"
Kedua security itu saling bertukar pandang, dan bersamaan melihat Arman. Tatapan mereka seakan-akan berkata, "Kamu tau, Nak, korupsi di gedung ini bukanlah sesuatu hal yang tabu lagi..."
Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu "setuju......"
(Surat untuk wakil rakyat-iwan fals)
tulisan kolaborasi dengan @bellazoditama
Bahasa Cinta
Aku benci ayahku.
Dia adalah satu-satunya orang yang tidak pernah bisa mengerti aku.
Aku juga malu mempunyai ayah—buatku dia tidak seperti kebanyakan ayah lainnya. Dia tidak normal. Yang bisa dia lakukan hanya mengeluarkan gumaman-gumaman tidak jelas dan juga gerakan tangan yang tidak mau aku mengerti.
Ibuku, entah kemana. Sepertinya dia sudah lama pergi sejak aku berusia balita. Mungkin saja dia juga bosan mendapat suami yang bisu dan tuli.
Terkadang aku suka bermimpi, membayangkan mempunyai seorang ayah yang dapat mengerti,mendengarkan seluruh keluh kesahku ketika teman-temanku mengejekku. Tapi, nyatanya ayahku tidak.
Ayahku seorang yang sangat sabar, walaupun aku sering membentak-bentaknya dia selalu dengan sabar menghadapi kemarahanku. Bahkan seringkali ayah berusaha menjadi ayah yang normal untukku. Tetap saja, dia tidak sempurna bagiku.
∞∞∞∞∞∞
Aku benci teman-teman sekolahku…
Mereka hanyalah sekumpulan orang-orang tolol yang selalu bersorak terhadap kesedihan orang lain. Mereka suka sekali menindas orang-orang yang mereka anggap lemah. Termasuk diriku.
Seperti kejadian pagi ini. Aku baru saja keluar dari kamar mandi saat menemukan tas dan peralatan sekolahku berada di selokan. Dengan sangat marah, aku memunguti peralatan sekolahku yang telah rusak terkena air selokan. Saat itu, tidak ada satupun dari teman-teman sekelas yang datang membantuku. Mereka seakan menutup mata atas kejadian ini. Mereka terlalu takut bahkan untuk membela dirinya sendiri.
Aku mendatangi Berlian and the gank yang sedang asyik tertawa-tawa di kantin.
“Apa maksudmu, HAH??” teriakku sambil membawa tasku yang penuh dengan air got ke hadapan Berlian dkk.
Wajah Berlian tersentak saat melihatku, kegugupan nampak di raut wajahnya yang putih seperti mayat itu. Mata sipit hendak melotok, tapi sayang kelopaknya terlalu kecil. Bukan Berlian namanya kalau dia tidak bisa menghilangkan kegugupannya dalam sejenak.
Dia bangkit dan berbalik menatapku tajam. “Itu hukuman buat anak yang punya orang tua tuli dan bisu macam kamu,” ujarnya sambil berbisik di telingaku.
Mendengar kata-katanya seketika membuatku naik pitam. Aku tidak banyak berbicara, tapi tanganku sudah merangsek—menjambak rambut hitamnya.
Semua orang yang ada di kantin diam, namun keadaan itu tidak berlangsung lama. Mereka malah asik bersorak-sorak melihat diriku dan Berlian yang sedang bergulingan di lantai. Tidak hanya tanganku yang ikut menjambaki rambutnya, kakiku pun tidak tinggal diam.
Berlian tidak kalah sengitnya membalasku. Mulutnya tidak berhenti memakiku, tangan-tangannya pun ikut mencakari wajahku. Perih…
Tapi aku harus melawan…
∞∞∞∞∞∞
Kantor Kepala Sekolah SMU Karya Bangsa
Dan di sinilah kami sekarang berada. Pak Wiryo selaku Kepala Sekolah menatap kami tajam. Aku tertunduk
“Kalian ini sudah kelas 3, tapi tidak bisa memberi contoh baik pada adik kelas! Mau jadi apa kalian ini??” suara Pak Wiryo menggelegar.
“Lintang yang mulai menyerang saya,” Berlian buka suara.
“Benar itu Lintang?”
Aku mendongak dan aku temukan tatapan tajam dari Wiryo. Aku diam, tidak menjawab. Percuma, semua yang ada di sekolah ini hanya sekumpulan orang yang suka berat sebelah.
“Kenapa kamu tidak menjawab Lintang?” tanya Pak Wiryo.
“Sudah tidak ada yang perlu dijelaskan Pak. Silahkan kalau Bapak ingin menghukum saya.”
“Baiklah kalau itu yang kamu inginkan. Kamu saya skors selama 1 minggu.”
Aku tertunduk lesu saat Pak Wiryo membacakan hukumanku.
*********
Minggu pagi, aku bangun lebih telat dari biasanya. Ayah belum tahu sekolah menskorsku selama satu minggu. Ayah memang tak pernah marah, tapi abang-abangku pasti akan memarahiku habis-habisan. Mereka seperti perpanjangan tangan Ayah. Aku benci mereka. Tapi aku tak berani macam-macam, bisa-bisa uang jajanku terancam.
Di teras depan, ternyata tak hanya ada Ayah, Bang Rizal dan Bang Adam. Ewin, teman jaman SMP juga ada. Dia sibuk mengutak-atik kameranya. Ayah tersenyum menyambutku. Aku hanya membalasnya setengah hati. Aku selalu bersikap baik budi terhadap Ayah dihadapan Abang-abangku.
“Lin, ntar temeni aku ya. Biasa…” kata Ewin. Dari sudut mataku, aku melihat Ayah menggerakkan tangannya bertanya tujuan kami hari ini. “Biasa om… Mau latihan motret di pantai” balas Ewin. Aku mengerang. Aku tak suka pantai hari Minggu seperti ini. Terlalu banyak keluarga menghabiskan hari Minggu mereka disana. Melihat mereka, aku seperti diingatkan kembali akan keadaan keluargaku yang timpang. Ayah yang cacat fisik dan ibu yang pergi entah kemana.
*********
RS Dharma Husada
Dari pantai kami langsung menuju Rumah Sakit. Ewin tak berkata apapun sepanjang perjalanan kami setelah ia menerima telepon dari Bang Adam.
Bang Adam menjemputku di parkiran. “Ikut abang yok....” ajaknya. Dia membawaku ke ruangan dengan tulisan Operating Theatre dipintu gandanya.
“Ngapain kita disini, Bang?” tanyaku.
“Tenang ajalah” cuma itu jawabnya. Tak lama Bang Rizal muncul. Ada apa ini? Kenapa Bang Rizal juga ada disini? Wajahnya kusut. “Gak dapat. Stok darah AB di PMI kosong.”
“Siapa yang perlu darah AB? Darahku kan AB. Pakai darahku aja.” sambarku. Mereka berpandang-pandangan. Bang Adam mendesah. “Ayah kecelakaan. Kata dokter ada benjolan di kepalanya. Harus dioperasi supaya darahnya bisa keluar. Jadi perlu darah cadangan buat jaga-jaga kalau seandainya perlu transfusi.”
“Ayah melarang kami untuk memakai darahmu karena Ayah takut kamu nanti jadi sakit dan sekolahmu terganggu. Makanya ini lagi nyari donor darah. Kalau kamu mau menunggu Ayah, tunggu aja di kamar. Ruangan Berlian 404, lantai 4. Kalau nggak mau, pulang saja.” lanjut Bang Adam.
Aku terduduk menyerap informasi itu. Ayah kecelakaan dan tak ada seorangpun yang memberitahuku? Apa mereka tak menganggapku adik lagi? Tapi baguslah… kalau Ayah meninggal berarti aku tak perlu lagi malu memiliki Ayah yang bisu dan tuli. Benarkah bagus? Ada rasa perih yang muncul tiba-tiba saat membayangkan Ayah meninggal.
Daripada pulang, hanya bersama Mbok Nah di rumah, lebih baik aku tiduran di kamar Ayah sampai Ayah selesai operasi.
Di kamar, celana panjang, kemeja, ponsel dan dompet Ayah masih tersampir diatas tempat tidur. Kuberanikan memeriksa isi dompet Ayah. Di kantong berlapis plastik putih tempat orang biasa memajang foto, ada foto Ayah. Di foto itu Ayah menggendong seorang anak. Aku tak perlu menajamkan pandanganku untuk melihat siapa yang digendong Ayah. Ayah tersenyum lebar memandang gadis kecilnya yang memakai rok warna merah muda, dibelakangnya tampak segerombolan rusa berada di balik kandang. Aku tercekat memandang foto itu. Kubawa dompet itu sambil berlari keluar ruangan. Aku harus segera sampai di ruang operasi. Ayah harus menerima darahku walaupun Ayah melarangnya.
If I could get another chance
Another walk
Another dance with him
I'd play a song that would never ever end
How I'd love love love
To dance with my father again (Luther Vandross)
Tulisan kolaborasi @putripwu dan @child_smurf
Kesalahan Besar
Seperti keputusanku mempersunting Kinanti menjadi pendamping hidupku adalah sebuah hal paling tolol yang telah aku lakukan dalam hidup. Aku telah membuat kesalahan besar dengan menikahi seseorang yang tidak pernah aku cintai.
Aku akui Kinanti mempunyai banyak kelebihan. Cantik, pintar dan juga bersahaja. Tapi sayang, kelebihan dia tidak pernah membiusku.
Karena hatiku lebih dulu sudah ada yang memiliki....
Surat Untuk Pembaca Blogku
Hai kamu yang di sana. Ya..kamu. Masih nggak percaya kalau aku tulis surat ini buat kamu :)
Buat kamu yang di sana. Mungkin sekarang ini kamu sedang menikmati rangkaian aksara yang aku torehkan dalam blog mungilku. Kamu marah, mengernyit muka, mencibir, senang, sedih terhadap semua tulisan di dalamnya.
Blog ini hanyalah rumah kecil di mana aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya, rumah ini juga adalah tempat di mana aku bisa menyalurkan kesenanganku pada dunia tulis menulis. Maafkan jika beberapa tulisan ku terkadang acak-acakan.
Bagaimana pun juga aku sedang belajar untuk menulis.
Untuk kamu yang di sana. Terima kasih atas waktu luangmu, Jika tidak keberatan, tolong luangkanlah waktu untuk sekedar memberikan kritik terhadap tulisan-tulisan saya.
Terakhir...
Tanpa kehadiran kalian, blog ini tidak bernilai
Salam hangat,
Luphyta
Rasa
“Sahabat untuk selamanya…”
Kami saling mengaitkan dua jari kelingking ke udara sebagai janji tentang sebuah persahabatan. Sejak saat itu aku dan Langit adalah sahabat yang tidak terpisahkan. Di mana ada Langit di situlah aku berada.
“Lang, janji ya jangan tinggalkan aku walaupun kelak nanti kita masing-masing punya pasangan,” tanyaku iseng-iseng saat kami sedang bermain ayunan di taman.
“Aku janji.” Langit bangkit dan seperti biasa mengacak-ngacak rambutku. Aku tertawa riang memamerkan deretan gigi putihku kepadanya.
® ®® ®® ®® ®® ®® ®
Januari 2003
(Tidak) ada persahabatan yang benar-benar murni di antara laki-laki dan perempuan
Lisa—salah satu sahabatku yang lain pernah menasehati tentang persahabatanku dengan Langit. Tapi, dengan cueknya aku menyangkal dan bahkan mencibirnya.
“Aku nggak bakalan suka Langit,” jawabku saat aku dan Lisa sedang membahas tentang hubunganku dengan Langit.
“Kamu yakin?” Todong Lisa.
“Aku tahu semua keburukan dia. Oleh karena itu aku nggak bakalan bisa tertarik padanya,” jawabku tanpa ragu-ragu.
“Hati-hati! Kamu nggak akan pernah tahu kapan cinta itu akan datang. Dan, aku rasa dari caramu melihat Langit tadi pagi. Aku merasakan bahwa ada sesuatu yang berbeda dari matamu.”
“Jangan ngaco ah. Kamu salah. Aku nggak pernah mengagumi Langit sedikit pun. Percaya deh.” Aku menepuk pundak Lisa.
“Terserah kamu lah Lun.”
Rekaman pembicaraanku dengan Lisa tadi siang masih saja terngiang-ngiang dalam pikiranku. Aku merenung. Benarkah aku menyukainya?
Aku mencoba merevisi kembali tentang apa yang telah terjadi selama persahabatanku dengan Langit. Sepertinya tidak ada yang istimewa. Benarkah itu? Benakku kembali berbicara.
Oke, aku akui memang terkadang tanpa sadar sering memikirkannya. Aku akui juga bahwa Langit sekarang ini terlihat lebih keren. Langit memang telah berubah, bukan lagi seperti Langit yang tubuhnya kerempeng. Langit yang sekarang tubuhnya lebih berisi, rahangnya terlihat kokoh, rambutnya pun bergaya cepak klimis, tapi satu hal tidak berubah. Langit tetaplah jahil seperti yang dulu. Mungkinkah karena perubahan ini?
Satu hal yang aku benci saat ini adalah diam-diam semua perkataan Lisa terasa benar.
Aku tidak pernah berpikir bahwa di dalam persahabatan kami ini akan terbentuk sebuah ‘rasa’ yang tidak biasa. Aku juga tidak pernah tahu pasti kapan perasaan ini tiba-tiba saja menelusup sepi dalam hubungan yang kami sebut persahabatan ini.
Tiba-tiba saja aku jatuh cinta pada Langit…
…dan dia tidak.
Agustus 2003
Ada yang aneh ketika aku memperkenalkan Anggita pada Luna, sahabatku. Senyumnya tak benar-benar tulus. Hey, tentu saja aku tau, bertahun-tahun aku sudah mengenalnya. Jadi aku tau benar apa yang disukainya, kejelekannya bahkan ekspresi wajahnya ketika dia menyukai atau membenci sesuatu. Dan aku juga tau, ekspresi wajahnya berubah ketika aku memperkenalkan Anggita sebagai kekasihku.
“Menurut kamu, Anggita gimana?” tanyaku pada Luna yang sedang mengaduk-aduk lemon tea-nya. Dia tersentak mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba.
“Kok tanya aku? Kami baru bertemu sekali. Tapi, kelihatannya anaknya baik,” jawabnya, kemudian menunduk lagi.
“Menurut kamu, dia pantas jadi istriku ?” tanyaku hati-hati. Masih memperhatikan ekspresi wajahnya yang benar-benar berubah. Muram.
Luna menggeleng. Kemudian tersenyum. Sedih. Lama Luna terdiam.
“Kamu bahagia, dengan dia?” akhirnya Luna bersuara. Aku mengangguk pelan.
“Aku merasa lengkap, dan dia melengkapi hidupku.”
“Langit, buatku, kebahagiaan kamu itu yang paling penting. Sebagai teman baikmu, aku nggak akan bisa bahagia kalau kamu sedih. Jadi, kalau kamu bisa bahagia dan merasa lengkap dengan Anggita, maka itu cukup buatku.”
--------
Ada yang tergores disini. Perih sekali. Pertanyaan Langit kemarin cukup untuk membuatku mengerti, bahwa rasa ini memang hanya ada padaku. Bukan padanya. Tapi, melihat binar matanya ketika bercerita tentang Anggita, membuatku tak tega untuk mengakui perasaan ini. Tapi aku juga tak akan sanggup menyaksikan pernikahan mereka dalam waktu dekat.
Entah, apa yang ada dikepalaku ketika akhirnya mengiyakan ajakan Lisa untuk menemaninya ke Jepang tepat pada saat pertunangan Langit dan Anggita. Muram dimatanya tak bisa disembunyikannya ketika aku mengatakan bahwa aku tak bias menghadiri pertunangannya.
“Apa artinya pertunanganku kalau kamu nggak ada?” ujarnya dengan amarah tertahan ketika aku meletakkan tiket keberangkatan didepannya.
“Yang paling penting kan ada Anggita,” aku mencoba melucu, menahan perih yang amat sangat ketika mengucapkan nama itu.
“Tapi kamu yang paling penting, kamu sahabatku, Lun!” tegasnya. Aku tersenyum. Mengusap pelan bahunya yang membuat jantungku berdetak tak karuan.
“Untuk seterusnya, hanya Anggita yang paling penting buatmu. Aku, tetap akan jadi sahabatmu. Sampai kapanpun.”
--------
Aku menatap perih pada landasan dibelakangku. Hari ini, pertunangan Langit dan Anggita. Mengingatnya saja sudah membuat nafasku sesak. Aku tak akan pernah sanggup menyaksikan kebahagiaan sahabatku sendiri. Maka, ketika pertama kali Langit mengatakan padaku tentang rencana pertunangannya, tanpa berpikir panjang, aku mengiyakan ajakan Lisa untuk menemaninya ke Jepang. Bukan hanya berkunjung, tapi menetap.
Jika aku harus menyimpan rapat perasaan ini dari Langit, maka menghindar adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan hatiku. Nanti, aku akan mengatakan pada Langit, bahwa aku tak akan pulang selama beberapa saat. Sampai segala rasa dihatiku menipis dan kemudian hilang. Sampai aku merelakan dia mencintai orang lain. Meski Langit tak akan pernah tahu alasannya.
NB: tulisan ini hasil duet dengan @weirdaft
Iri
Meninggalkan riak-riak kecil yang terkadang menyakitkan
Aku cemburu...
Aku iri...
Pada dia yang lebih dulu telah mengisi hatimu
incomplete
Mungkinkah kau menganggap aku hanya pelengkap hidupmu yang kata kebanyakan orang sempurna.
Aku masih ingat bisik-bisik para tamu undangan di saat kita berdua bersanding di pelaminan.
"Sakti beruntung sekali mendapatkan Kinanti sebagai istri. Cantik, bersahaja."
Kenyataannya, bagimu aku memang hanya sebuah pelengkap.
Orang diluar sana tidak pernah tahu pasti tentang apa yang aku rasakan.
Sudahlah, kenyataannya kami memang tidak bahagia