Bahasa Cinta

Bahasa Cinta

 



 

 

Aku benci ayahku.

Dia adalah satu-satunya orang yang tidak pernah bisa mengerti aku.


Aku juga malu mempunyai ayah—buatku dia tidak seperti kebanyakan ayah lainnya. Dia tidak normal. Yang bisa dia lakukan hanya mengeluarkan gumaman-gumaman tidak jelas dan juga gerakan tangan yang tidak mau aku mengerti.


Ibuku, entah kemana. Sepertinya dia sudah lama pergi sejak aku berusia balita. Mungkin saja dia juga bosan mendapat suami yang bisu dan tuli.


Terkadang aku suka bermimpi, membayangkan mempunyai seorang ayah yang dapat mengerti,mendengarkan seluruh keluh kesahku ketika teman-temanku mengejekku. Tapi, nyatanya ayahku tidak.


Ayahku seorang yang sangat sabar, walaupun aku sering membentak-bentaknya dia selalu dengan sabar menghadapi kemarahanku. Bahkan seringkali ayah berusaha menjadi ayah yang normal untukku. Tetap saja, dia tidak sempurna bagiku.


∞∞∞∞∞∞


 Aku benci teman-teman sekolahku…


Mereka hanyalah sekumpulan orang-orang tolol yang selalu bersorak terhadap kesedihan orang lain. Mereka suka sekali menindas orang-orang yang mereka anggap lemah. Termasuk diriku.


Seperti kejadian pagi ini. Aku baru saja keluar dari kamar mandi saat menemukan tas dan peralatan sekolahku berada di selokan. Dengan sangat marah, aku memunguti peralatan sekolahku yang telah rusak terkena air selokan. Saat itu, tidak ada satupun dari teman-teman sekelas yang datang membantuku. Mereka seakan menutup mata atas kejadian ini. Mereka terlalu takut bahkan untuk membela dirinya sendiri.


Aku mendatangi Berlian and the gank yang sedang asyik tertawa-tawa di kantin.


“Apa maksudmu, HAH??” teriakku sambil membawa tasku yang penuh dengan air got ke hadapan Berlian dkk.


Wajah Berlian tersentak saat melihatku, kegugupan nampak di raut wajahnya yang putih seperti mayat itu. Mata sipit hendak melotok, tapi sayang kelopaknya terlalu kecil. Bukan Berlian namanya kalau dia tidak bisa menghilangkan kegugupannya dalam sejenak.


Dia bangkit dan berbalik menatapku tajam. “Itu hukuman buat anak yang punya orang tua tuli dan bisu macam kamu,” ujarnya sambil berbisik di telingaku.


Mendengar kata-katanya seketika membuatku naik pitam. Aku tidak banyak berbicara, tapi tanganku sudah merangsek—menjambak rambut hitamnya.


Semua orang yang ada di kantin diam, namun keadaan itu tidak berlangsung lama. Mereka malah asik bersorak-sorak melihat diriku dan Berlian yang sedang bergulingan di lantai. Tidak hanya tanganku yang ikut menjambaki rambutnya, kakiku pun tidak tinggal diam.


Berlian tidak kalah sengitnya membalasku. Mulutnya tidak berhenti memakiku, tangan-tangannya pun ikut mencakari wajahku. Perih…


Tapi aku harus melawan…


∞∞∞∞∞∞


 Kantor Kepala Sekolah SMU Karya Bangsa


Dan di sinilah kami sekarang berada. Pak Wiryo selaku Kepala Sekolah menatap kami tajam. Aku tertunduk


“Kalian ini sudah kelas 3, tapi tidak bisa memberi contoh baik pada adik kelas! Mau jadi apa kalian ini??” suara Pak Wiryo menggelegar.


“Lintang yang mulai menyerang saya,” Berlian buka suara.


“Benar itu Lintang?”


Aku mendongak dan aku temukan tatapan tajam dari Wiryo. Aku diam, tidak menjawab. Percuma, semua yang ada di sekolah ini hanya sekumpulan orang yang suka berat sebelah.


“Kenapa kamu tidak menjawab Lintang?” tanya Pak Wiryo.


“Sudah tidak ada yang perlu dijelaskan Pak. Silahkan kalau Bapak ingin menghukum saya.”


“Baiklah kalau itu yang kamu inginkan. Kamu saya skors selama 1 minggu.”

Aku tertunduk lesu saat Pak Wiryo membacakan hukumanku.

*********


Minggu pagi, aku bangun lebih telat dari biasanya. Ayah belum tahu sekolah menskorsku selama satu minggu. Ayah memang tak pernah marah, tapi abang-abangku pasti akan memarahiku habis-habisan. Mereka seperti perpanjangan tangan Ayah. Aku benci mereka. Tapi aku tak berani macam-macam, bisa-bisa uang jajanku terancam.


Di teras depan, ternyata tak hanya ada Ayah, Bang Rizal dan Bang Adam. Ewin, teman jaman SMP juga ada. Dia sibuk mengutak-atik kameranya. Ayah tersenyum menyambutku. Aku hanya membalasnya setengah hati. Aku selalu bersikap baik budi terhadap Ayah dihadapan Abang-abangku.


“Lin, ntar temeni aku ya. Biasa…” kata Ewin. Dari sudut mataku, aku melihat Ayah menggerakkan tangannya bertanya tujuan kami hari ini. “Biasa om… Mau latihan motret di pantai” balas Ewin. Aku mengerang. Aku tak suka pantai hari Minggu seperti ini. Terlalu banyak keluarga menghabiskan hari Minggu mereka disana. Melihat mereka, aku seperti diingatkan kembali akan keadaan keluargaku yang timpang. Ayah yang cacat fisik dan ibu yang pergi entah kemana.


*********


RS Dharma Husada


Dari pantai kami langsung menuju Rumah Sakit. Ewin tak berkata apapun sepanjang perjalanan kami setelah ia menerima telepon dari Bang Adam.


Bang Adam menjemputku di parkiran. “Ikut abang yok....” ajaknya. Dia membawaku ke ruangan dengan tulisan Operating Theatre dipintu gandanya.


“Ngapain kita disini, Bang?” tanyaku.


“Tenang ajalah” cuma itu jawabnya. Tak lama Bang Rizal muncul. Ada apa ini? Kenapa Bang Rizal juga ada disini? Wajahnya kusut. “Gak dapat. Stok darah AB di PMI kosong.”


“Siapa yang perlu darah AB? Darahku kan AB. Pakai darahku aja.” sambarku. Mereka berpandang-pandangan. Bang Adam mendesah. “Ayah kecelakaan. Kata dokter ada benjolan di kepalanya. Harus dioperasi supaya darahnya bisa keluar. Jadi perlu darah cadangan buat jaga-jaga kalau seandainya perlu transfusi.”


“Ayah melarang kami untuk memakai darahmu karena Ayah takut kamu nanti jadi sakit dan sekolahmu terganggu. Makanya ini lagi nyari donor darah. Kalau kamu mau menunggu Ayah, tunggu aja di kamar. Ruangan Berlian 404, lantai 4. Kalau nggak mau, pulang saja.” lanjut Bang Adam.


Aku terduduk menyerap informasi itu. Ayah kecelakaan dan tak ada seorangpun yang memberitahuku? Apa mereka tak menganggapku adik lagi? Tapi baguslah… kalau Ayah meninggal berarti aku tak perlu lagi malu memiliki Ayah yang bisu dan tuli. Benarkah bagus? Ada rasa perih yang muncul tiba-tiba saat membayangkan Ayah meninggal.


Daripada pulang, hanya bersama Mbok Nah di rumah, lebih baik aku tiduran di kamar Ayah sampai Ayah selesai operasi.


Di kamar, celana panjang, kemeja, ponsel dan dompet Ayah masih tersampir diatas tempat tidur. Kuberanikan memeriksa isi dompet Ayah. Di kantong berlapis plastik putih tempat orang biasa memajang foto, ada foto Ayah. Di foto itu Ayah menggendong seorang anak. Aku tak perlu menajamkan pandanganku untuk melihat siapa yang digendong Ayah. Ayah tersenyum lebar memandang gadis kecilnya yang memakai rok warna merah muda, dibelakangnya tampak segerombolan rusa berada di balik kandang. Aku tercekat memandang foto itu. Kubawa dompet itu sambil berlari keluar ruangan. Aku harus segera sampai di ruang operasi. Ayah harus menerima darahku walaupun Ayah melarangnya.



If I could get another chance
Another walk
Another dance with him
I'd play a song that would never ever end
How I'd love love love
To dance with my father again (Luther Vandross)

Tulisan kolaborasi @putripwu dan @child_smurf

Kesalahan Besar

Kesalahan Besar

Seperti keputusanku mempersunting Kinanti menjadi pendamping hidupku adalah sebuah hal paling tolol yang telah aku lakukan dalam hidup. Aku telah membuat kesalahan besar dengan menikahi seseorang yang tidak pernah aku cintai.


Aku akui Kinanti mempunyai banyak kelebihan. Cantik, pintar dan juga bersahaja. Tapi sayang, kelebihan dia tidak pernah membiusku.


Karena hatiku lebih dulu sudah ada yang memiliki....

Surat Untuk Pembaca Blogku

Surat Untuk Pembaca Blogku

Dear kamu,

Hai kamu yang di sana.  Ya..kamu. Masih nggak percaya kalau aku tulis surat ini buat kamu :)


Buat kamu yang di sana. Mungkin sekarang ini kamu sedang menikmati rangkaian aksara yang aku torehkan dalam blog mungilku. Kamu marah, mengernyit muka, mencibir, senang, sedih terhadap semua tulisan di dalamnya.


Blog ini hanyalah rumah kecil di mana aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya, rumah ini juga adalah tempat di mana aku bisa menyalurkan kesenanganku pada dunia tulis menulis. Maafkan jika beberapa tulisan ku terkadang acak-acakan.


Bagaimana pun juga aku sedang belajar untuk menulis.


Untuk kamu yang di sana. Terima kasih atas waktu luangmu, Jika tidak keberatan, tolong luangkanlah waktu untuk sekedar memberikan kritik terhadap tulisan-tulisan saya.


Terakhir...




Tanpa kehadiran kalian, blog ini tidak bernilai




Salam hangat,




Luphyta

Rasa

Rasa

Suatu senja di Taman Kota, 1993

“Sahabat untuk selamanya…”


Kami saling mengaitkan dua jari kelingking ke udara sebagai janji tentang sebuah persahabatan.   Sejak saat itu aku dan Langit adalah sahabat yang tidak terpisahkan. Di mana ada Langit di situlah aku berada.


“Lang, janji ya jangan tinggalkan aku walaupun kelak nanti kita masing-masing punya pasangan,” tanyaku iseng-iseng saat kami sedang bermain ayunan di taman.


“Aku janji.” Langit bangkit dan seperti biasa mengacak-ngacak rambutku. Aku tertawa riang memamerkan deretan gigi putihku kepadanya.


 ® ®® ®® ®® ®® ®® ®


Januari 2003

(Tidak) ada persahabatan yang benar-benar murni di antara laki-laki dan perempuan


Lisa—salah satu sahabatku yang lain pernah menasehati tentang persahabatanku dengan Langit. Tapi, dengan cueknya aku menyangkal dan bahkan mencibirnya.


“Aku nggak bakalan suka Langit,” jawabku saat aku dan Lisa sedang membahas tentang hubunganku dengan Langit.


“Kamu yakin?”  Todong Lisa.


“Aku tahu semua keburukan dia. Oleh karena itu aku nggak bakalan bisa tertarik padanya,” jawabku tanpa ragu-ragu.


“Hati-hati! Kamu nggak akan pernah tahu kapan cinta itu akan datang. Dan, aku rasa dari caramu melihat Langit tadi pagi. Aku merasakan bahwa ada sesuatu yang berbeda dari matamu.”


“Jangan ngaco ah. Kamu salah. Aku nggak pernah mengagumi Langit sedikit pun. Percaya deh.” Aku menepuk pundak Lisa.


“Terserah kamu lah Lun.”


Rekaman pembicaraanku dengan Lisa tadi siang masih saja terngiang-ngiang dalam pikiranku. Aku merenung. Benarkah aku menyukainya?


Aku mencoba merevisi kembali tentang apa yang telah terjadi selama persahabatanku dengan Langit. Sepertinya tidak ada yang istimewa. Benarkah itu? Benakku kembali berbicara.


Oke, aku akui memang terkadang tanpa sadar  sering memikirkannya. Aku akui juga bahwa Langit sekarang ini terlihat lebih keren. Langit memang telah berubah, bukan lagi seperti Langit yang tubuhnya kerempeng. Langit yang sekarang tubuhnya lebih berisi, rahangnya terlihat kokoh, rambutnya pun bergaya cepak klimis, tapi satu hal tidak berubah. Langit tetaplah jahil seperti yang dulu. Mungkinkah karena perubahan ini?


Satu hal yang aku benci saat ini adalah diam-diam semua perkataan Lisa terasa benar.


Aku tidak pernah berpikir bahwa di dalam persahabatan kami ini akan terbentuk sebuah ‘rasa’ yang tidak biasa. Aku juga tidak pernah tahu pasti kapan perasaan ini tiba-tiba saja menelusup sepi dalam hubungan yang kami sebut persahabatan ini.


Tiba-tiba saja aku jatuh cinta pada Langit…


…dan dia tidak.


 


Agustus 2003


Ada yang aneh ketika aku memperkenalkan Anggita pada Luna, sahabatku. Senyumnya tak benar-benar tulus. Hey, tentu saja aku tau, bertahun-tahun aku sudah mengenalnya. Jadi aku tau benar apa yang disukainya, kejelekannya bahkan ekspresi wajahnya ketika dia menyukai atau membenci sesuatu. Dan aku juga tau, ekspresi wajahnya berubah ketika aku memperkenalkan Anggita sebagai kekasihku.


“Menurut kamu, Anggita gimana?” tanyaku pada Luna yang sedang mengaduk-aduk lemon tea-nya. Dia tersentak mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba.


“Kok tanya aku? Kami baru bertemu sekali. Tapi, kelihatannya anaknya baik,” jawabnya, kemudian menunduk lagi.


“Menurut kamu, dia pantas jadi istriku ?” tanyaku hati-hati. Masih memperhatikan ekspresi wajahnya yang benar-benar berubah. Muram.


Luna menggeleng. Kemudian tersenyum. Sedih. Lama Luna terdiam.


“Kamu bahagia, dengan dia?” akhirnya Luna bersuara. Aku mengangguk pelan.


“Aku merasa lengkap, dan dia melengkapi hidupku.”


“Langit, buatku, kebahagiaan kamu itu yang paling penting. Sebagai teman baikmu, aku nggak akan bisa bahagia kalau kamu sedih. Jadi, kalau kamu bisa bahagia dan merasa lengkap dengan Anggita, maka itu  cukup buatku.”


--------


                Ada yang tergores disini. Perih sekali. Pertanyaan Langit kemarin cukup untuk membuatku mengerti, bahwa rasa ini memang hanya ada padaku. Bukan padanya. Tapi, melihat binar matanya ketika bercerita tentang Anggita, membuatku tak tega untuk mengakui perasaan ini. Tapi aku juga tak akan sanggup menyaksikan pernikahan mereka dalam waktu dekat.


Entah, apa yang ada dikepalaku ketika akhirnya mengiyakan ajakan Lisa untuk menemaninya ke Jepang tepat pada saat pertunangan Langit dan Anggita. Muram dimatanya tak bisa disembunyikannya ketika aku mengatakan bahwa aku tak bias menghadiri pertunangannya.


“Apa artinya pertunanganku kalau kamu nggak ada?” ujarnya dengan amarah tertahan ketika aku meletakkan tiket keberangkatan didepannya.


“Yang paling penting kan ada Anggita,” aku mencoba melucu, menahan perih yang amat sangat ketika mengucapkan nama itu.


“Tapi kamu yang paling penting, kamu sahabatku, Lun!” tegasnya. Aku tersenyum. Mengusap pelan bahunya yang membuat jantungku berdetak tak karuan.


“Untuk seterusnya, hanya Anggita yang paling penting buatmu. Aku, tetap akan jadi sahabatmu. Sampai kapanpun.”


--------


                Aku menatap perih pada landasan dibelakangku. Hari ini, pertunangan Langit dan Anggita. Mengingatnya saja sudah membuat nafasku sesak. Aku tak akan pernah sanggup menyaksikan kebahagiaan sahabatku sendiri. Maka, ketika pertama kali Langit mengatakan padaku tentang rencana pertunangannya, tanpa berpikir panjang, aku mengiyakan ajakan Lisa untuk menemaninya ke Jepang. Bukan hanya berkunjung, tapi menetap.


Jika aku harus menyimpan rapat perasaan ini dari Langit, maka menghindar adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan hatiku. Nanti, aku akan mengatakan pada Langit, bahwa aku tak akan pulang selama beberapa saat. Sampai segala rasa dihatiku menipis dan kemudian hilang. Sampai aku merelakan dia  mencintai orang lain. Meski Langit tak akan pernah tahu alasannya.



NB: tulisan ini hasil duet dengan @weirdaft


Iri

Iri

Ada rasa perih menelusup kecil di dada.

Meninggalkan riak-riak kecil yang terkadang menyakitkan

Aku cemburu...

Aku iri...

Pada dia yang lebih dulu telah mengisi hatimu
incomplete

incomplete

Seringkali aku bertanya, sebenarnya apa sih artiku dalam hidupmu?
Mungkinkah kau menganggap aku hanya pelengkap hidupmu yang kata kebanyakan orang sempurna.
Aku masih ingat bisik-bisik para tamu undangan di saat kita berdua bersanding di pelaminan.
"Sakti beruntung sekali mendapatkan Kinanti sebagai istri. Cantik, bersahaja."

Kenyataannya, bagimu aku memang hanya sebuah pelengkap.
Orang diluar sana tidak pernah tahu pasti tentang apa yang aku rasakan.

Sudahlah, kenyataannya kami memang tidak bahagia
Inilah aku

Inilah aku

Inilah aku
Dengan segala kekuranganku..
Inilah aku
Dengan sengala kelebihanku
Tak ada yang aku sembunyikan
Akan ku tunjukkan pada dunia
Bahwa aku ada
Aku nyata

Dan inilah aku