I Guess You Don't Know (M Signal)
www.google.com |
Ad Placement
www.google.com |
www.google.com |
"Just Because you miss someone, doesn't mean you need then back in your life. Missing is just part of moving on. - Moving On Quotes
Sejatinya, cinta itu saling menghormati. Bukan saling berperang siapa yang paling hebat
Rasa sakit ini seperti ribuan jarum yang menancap di ulu hatiku
Memar di hatiku kembali berdarah
Aku ingin larut dalam air
Menghilang tak berbekas
Membawa sakit ini
Dengarkah kamu isi hatiku?
Tahukah kamu rasa sakit ini?
Larut
Dalam air dan menghilang
Alhamdulillah. Akhirnya bisa bikin postingan lagi di blog. Adakah yang merindukan tulisan-tulisan saya?
Akhirnya Pemilihan Presiden berakhor juga. Lega rasanya. Setelah beberapa bulan terakhir seluruh perhatian masyarakat Indonesia terpusat pada acara Pesta Demokrasi yang digelar tiap 5 tahun.
Yey. Akhirnya media sosial saya bersih dari segala macam kampanye. Eh. Nggak juga sih. Buktinya masih banyak yang saling menghujat, menyindir dan menjatuhkan.
Capek deh.
Serius saya capek. Baca cerita yang bikin dahi berkerut. Saya rindu kedamaian. Bukan adu perang tulisan yang isinya nyinyiran. Ngakunya sih pada dewasa. Tapi, kelakuan lebih parah dari anak-anak.
Harusnya mereka malu dong sama anak-anak.
Semarah-marahnya mereka sama temannya. Nggak sampai lima menit juga udah baikan. Hih.
Sadar nggak sih kalian yang ngakunya 'dewasa' kalau kalian secara tidak sadar udah turut andil membentuk karakter bangsa. Memberikan pendidikan tak kasat mata sama generasi muda ini.
Gimana generasi muda Indonesia mau bangkit. Lah wong para dewasanya sibuk menghujat.
Kritiklah dengan santun. Bukan pakai acara saling melemparkan kosakata perhewanan.
Malulah.
Ya. Sudahlah. Postingan ini hanya suara hati saya.
Selamat untuk Presiden yang terpilih. Jangan kasih kami mimpi, tapi bukti
Enjoy your holiday.
Best Regard,
Swastikha
Mungkin kalian nggak pernah tahu kalau aku sebenarnya adalah penyuka warna pink.
Yes. I loved pink
Aku punya beberapa barang berwarna pink. Bahkan, setiap memilih benda yang kusuka. Pasti kutanya dulu ada yang warna pink nggak?
Kalau ada ya pasti langsung kuambil.
Buat aku warna pink itu melambangkan ketenangan dan anggun dan unyu :D
Berarti saya unyu dong ya?
Kalau aku suka warna pink. Kamu?
Aku tergugu di balik layar
Dengan berlinang air mata
Menyaksikan kebiadaban di tanah Palestina
Ratusan anak tak berdosa kehilangan nyawa
Para wanita menangis, karena dipaksa berpisah dari suami dan anaknya
Tak ada lagi kenyamanan
Bahkan sekadar melelapkan mata yang terlampau lelah
Tangan-tangan berbau mesiu
Jemari-jemari mungil tak lagi sembunyi dibalik ketiak sang ibu
Kehangatan yang biasa merengkuhnya tercabik-cabik
Mata-mata tanpa dosa siap menunggu kematiannya
Ya Allah...
Sampai kapan bumi Palestina memerah karena darah?
Sampai kapan mereka berhenti mendengar desingan peluru?
Sampai kapan mereka bisa tersenyum untuk menatap masa depan?
Ya Allah
Turunkan kekuatanmu
Lapangkanlah kesabaran pada mereka
Suntikkanlah kekuatan
Agar bisa memukul balik Yahudi
Semoga esok matahari masih bersinar di bumi Palestina
Karena mereka tak mau lagi dikenal dengan negara 1000 tangisan
Bersimbah darah
Surabaya, 10-07-2014
Kita sebagai manusia tanpa disadari kerap kali mengeluh pada Allah tentang apa yang terjadi dalam hidup kita.
Jika ada musibah, ada kalanya menyalahkan Allah.
Dulu, aku pernah dalam titik ini. Marah pada Allah atas sakit yang ada ditubuhku. Pertanyaan dan keluhan selalu mewarnai hariku. Saat itu aku kehilangan gairah hidup.
Rasanya dunia terasa abu-abu.
Hingga seorang teman memberiku sebuah kata ajaib.
"Allah memberimu sakit karena Dia mencintaimu. Dengan sakit itu kamu akan selalu mengingatNya."
Kata itu seperti sebuah tamparan atas keluh kesahku selama ini. Lalu, aku mencoba melihatnya dari sisi yang berbeda.
Dan, Subahanallahu. Allah memang menyayangiku dengan caranya. Sakit ini sebagai pengingat di saat aku mulai lalai dengan perintahnya. Allah pun memberiku banyak kemudahan, melebihi orang yang lebih sehat dariku.
Beribu syukur kupanjatkan, ketika Allah mengundangku ke Baitullah.
Sekarang, aku malah berharap sakit ini tetap berada di tempatnya. Karena aku masih ingin disayang Allah. Aku masih ingin dalam pelukanNya.
Amin.
Makkah
Hari ini ribuan manusia berpusat
Pada satu pusaran yang selalu bergerak di titik yang sama
Bersujud pada Sang Maha Tertinggi
Ya Allah aku penuhi undanganmu
Bersimpuh ku dihadapanmu
Aku menyerah dalam kuasamu
Hamba bagai titik kecil dalam lautan manusia.
Makkah, 23 Juni 2014 (23.02)
Perjalanan kali ini terasa beda. Allah memberiku sebuah kesempatan untuk bisa kembali mengunjungi Baitullah. Rasanya senang tak terkira.
Terima kasih Ya Allah semoga perjalanan ini membawa perubahan dan berita baik.
Ijinkan kami berangkat dan pulang kembali dengan selamat. Amin
http://www.koreandrama.org/?p=7830 |
Andai kamu tahu seberapa besar aku mengharapkan kehadiranmu.
Di sini, memelukku erat dengan kedua lengan kokohmu dan mengatakan semuanya baik-baik saja.
Lalu, jari-jari lembutmu mengusap bulir bening yang mengalir di pipiku.
Dan, membiarkanku merasakan detak kehidupanmu.
Hai, kamu
Aku sudah menunggu lama
Menghabiskan banyak waktuku untuk menemukanmu
Tapi, aku hanya bisa tergugu
Karena kamu tak pernah nyata
Kita hanya sepasang takdir yang dipertemukan dalam mimpi.
Mungkinkah kisah kita hanya akan terjadi saat aku terlelap?
Hai, Kamu!
Kumohon jangan terlalu lama bersembunyi
Hatiku sudah tak sabar berbagi debarannya bersamamu.
http://www.pinterest.com/pin/302374562454277210/ |
Sejatinya anak-anak tak butuh mainan. Yang dibutuhkan mereka adalah kedua orang tua yang selalu merentangkan kedua tangannya untuk memeluk. - Lupyhta
http://www.pinterest.com/pin/302374562454224788/ |
http://www.pinterest.com/pin/302374562454143596/ |
Menumpahkan perasaan ke dalam diary terasa menyenangkan ketimbang menceritakan kepada orang lain. Maklum saat itu lagi sensitif sama komentar orang tentang diri saya. Kebiasaan menulis diary itu kemudian berkembang. Tidak hanya menulis curhatan yang menye-menye, saya mulai mencoba menulis puisi, cerpen dan draft novel (kalau membaca ulang tulisan yang ditulis dulu rasanya malu. Soalnya masih cupu :D )
Masuk perguruan tinggi, saya mencoba untuk membuat blog. Tujuannya sih masih sama yaitu mencurahkan isi hati. Tak ada teman atau saudara yang tahu kalau saya punya blog. Sengaja, biar nggak ketahuan kalau curhat. Aktivitas menulis blog sempat terhenti karena koneksi internet yang masih mengandalkan gratisan. Maklum, saat jaman saya kuliah, internet adalah barang mahal. Saya pun kembali nulis diary.
Hingga, kakak perempuan saya mengenalkan pada sebuah situs ngerumpi.com. ngerumpi.com semacam wadah bagi para orang-orang punya ketertarikan untuk menulis. Awalnya, saya lebih memilih silent reader dan meninggalkan komentar di mana-mana. Sampai, akhirnya punya keberanian untuk memposting tulisan saya di akun itu.
Postingan pertama cukup mendapatkan tanggapan. Respon mereka mendorong saya untuk lebih aktif menulis. Mencari tema-tema baru sebagai bahan tulisan. Di ngerumpi.com saya bertemu banyak penulis-penulis keren. Rasanya menyenangkan berada di dalam lingkungan yang memiliki passion sama. Dan, karena ngerumpi.com saya bisa ikutan dalam proyek 2 teman maya. Kita bertiga berhasil menang dalam lomba menulis kumcer. Yeay, buku pertama saya. :D
Terkadang, aku ingin menghilang di balik awan. Menyembunyikan diri dari keramaian.
Cinta telah lama pergi, tapi aku masih menyimpan kenangan tentangmu
[caption id="attachment_3315" align="aligncenter" width="560"] https://www.facebook.com/photo.php?fbid=438531789530876&set=a.211080582275999.68340.211070425610348&type=3&theater[/caption]
Jarak itu selalu bisa membuatmu lebih keras berusaha, lebih menyadari bahwa kedekatan bukan hanya raga melainkan juga jiwa. - @adelladellaide
Bersama ortu pas ke Lombok |
Aku masih mengais-ngais rindu di antara kepingan hati yang kau patahkan
Well, postingan ini mungkin bukan resolusi. Tapi, hanya sekadar perenungan untuk tahun ke depannya supaya lebih baik lagi.
1. Lebih menggunakan "hati" untuk melihat hal-hal yang ada di dunia.
2. Belajar untuk tidak mengeluh dan bersyukur
3. Membaca lebih banyak buku
4. Lebih rajin menulis
5. Setidaknya menerbitkan 1 buku untuk tahun ini.
google.com |
"Kalau seumur kamu sudah jangan kebanyakan milih. Apalagi urusan tampang. Terima aja apa adanya."
Kemarin, seorang teman mengatakan itu pada saya. Walaupun dengan nada setengah bercanda. Saya tahu bahwa itu adalah sebuah sindiran.
Sebenarnya itu bukan kali pertama saya disindir soal kesukaan saya sama dunia tulis-menulis. Beberapa orang terdekat mengganggap bahwa aktivitas menulis itu nggak penting. Apalagi kalau yang ditulis isinya tentang cinta. Katanya itu cuman bikin dirimu galau saja.
Coba buka laci nomor 2. Aku meninggalkan sesuatu untukmu.
Airin mengerutkan dahi saat membaca pesan singkat yang dikirimkan oleh Rio --suaminya.
Dia bergegas menuju kamar. Mengikuti apa yang ditulis suaminya dalam sms yang baru saja diterimanya.
Airin membuka laci kamarnya. Merogoh ke dalam. Mencari apa yang ditinggalkan sang suami untuknya. Wanita itu mengernyit ketika menyadari satu-satunya benda yang ada di laci hanyalah sebuah kertas.
Dengan penuh rasa penasaran Airin membukanya. Hanya terdapat coretan seperti peta denah dan sebuah pesan yang ditulis dipojok bawah.
ikuti jalan ini dan kamu menemukan jawabannya.
Airin tersenyum. Rio menyiapkan sebuah kejutan untuknya.
Aiko merentangkan tangannya, kemudian menggerakkannya seakan kupu-kupu yang sedang terbang. Bibir mungilnya tak berhenti melafalkan nyanyian yang tak jelas.
Tak jauh dari Aiko berdiri, seorang wanita paruh baya menatap dari kejauhan. Sepasang mata yang mulai menua itu berkaca-kaca saat menyaksikan Aiko yang sedang bernyanyi.
Dadanya terasa sesak menyaksikan putri semata wayangnya yang berputar-putar sambil meracaukan sesuatu yang tak jelas.
Kasihan dirimu, Nak. Semenjak ayahmu pergi. Kamu terobsesi menjadi kupu-kupu
Aku menengadahkan tanganku. Membiarkan daun-daun berwarna oranye yang berjatuhan memenuhi ceruk tanganku.
Aku sangat suka musim gugur.
Rasanya menyenangkan melihat dedaunan beraneka warna berjatuhan dari langit. Belum lagi aroma khas daun kering yang bersentuhan dengan tanah. Menenangkan.
Hari ini seperti biasa, sepulang kerja aku mampir ke sebuah taman yang letaknya tak jauh dari kantor. Selain untuk menikmati udara sore. Ada hal yang lebih penting.
Aku menunggu seseorang.
Lelaki itu datang lagi. Kali ini dia mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru laut dengan bawahan celana cargo berwarna dongker. Rambutnya diberi gel lalu dibentuk jambul ke depan. Dia sungguh manis.
Seperti biasa lelaki itu selalu duduk di sudut dekat jendela. Seakan menunjukkan bahwa dia ingin menjauh dari keramaian.
Aku membetulkan celemekku sesaat sebelum menyambar buku menu dan berjalan menghampiri lelaki itu.
"Mau pesan?" Tanyaku sambil memegang kertas pemesanan.
"Expresso,"ucapnya tanpa tersenyum.
"Baik ditunggu." Aku menyunggingkan senyuman ramah.
Lelaki itu menatapku dingin, kaku.
****
"Dia datang lagi?" Bisik Robi.
Aku mengangguk. "Pesanannya pun selalu sama Exspresso."
"Lelaki yang aneh. Pesan kopi tapi nggak pernah diminum," timpal Bowo yang sedang membuat pesanan lelaki itu.
Aku mengedikkan bahu. "Biarkan saja. Dia kan pelanggan kita."
"Rie. Kamu yang antar ya."
Aku mengambil baki dan meletakkan secangkir exspresso yang masih menepul. Lalu, membawanya ke meja nomor 16.
"Ini pesanannya." Aku meletakkan cangkir itu di hadapannya. "Silakan dinikmati."
Lelaki itu tak merespon apa yang kukatakan. Tatapannya hanya mengarah pada sebuah foto yang sudah usang.
Lelaki yang tampan. Tapi, sayang tak bisa melupakan kenangan.
"Aku harus bisa menyelesaikannya sebelum Matahari tenggelam." Aku mengangkat kedua tangan sebagai perwujudan bahwa sedang bersemangat.
Di depanku ada beberapa tumpukan berkas-berkas yang harus segera diselesaikan. Aku menghela napas panjang. Ini akan menjadi hari yang sibuk.
***
"Naru, tolong kamu selesaikan laporan penjualan ni secepatnya. Kalau bisa sebelum Matahari tenggelam," perintah Budi.
"Hah?" Tanyaku kaget.
"Kamu harus selesaikan. Kalau tidak kamu kupecat." Suara pak Budi meninggi.
Aku meninggalkan ruangan Direksi dengan kaki lunglai.
bagaimana caranya aku menyelesaikan laporan sebanyak itu?
Ting...
Sebuah ide terlintas. Aku mengambil sebatang korek. Lalu, kulemparkan pada kertas-kertas yang sudah kutumpuk rapi.
Aku tertawa-tawa. Memandangi nyala api yang mulai membesar.
Pada hujan yang berjatuhan, aku sematkan doa-doa untukmu. Semoga kamu selalu baik-baik saja
Pesonamu itu racun. Dan, sialnya aku rela meneguknya sampai mampus.
"Percayalah, Nak. Selalu ada pelangi setelah badai."
Aku mengingat pesan yang Ayah ucapkan setahun lalu. Saat itu, badai besar sedang menghantam keluarga kami. Ibu tiba-tiba memutuskan meninggalkan rumah setelah merasa menemukan 'belahan hatinya.' Seorang laki-laki yang dikenalnya di pusat perbelanjaan.
Sinting!
Sejak itu, tak kutemukan lagi pelangi di sepasang mata bulat yang selalu menatapku dengan penuh cinta. Sinarnya meredup, atau bahkan berhenti berpendar.
Ayah berubah menjadi lelaki yang pendiam. Mengurung diri di kamar dengan asap tembakau yang menyesaki dadanya. Dan, kerap kali kutemukan ayah menangis sambil memeluk foto Ibu.
Satu hal yang paling aku inginkan saat ini adalah sentuhan lembut dari tangan ayah.
Ya. Aku amat merindukan jemari-jemari yang kini mulai keriput itu menyentuh wajahku, mengelap air mata yang menganak sungai di kedua tulang pipiku, atau sebuah sentuhan ringan di ujung rambutku.
Rasanya bertahun-tahun, jemari Ayah tak pernah menggenggamku. Sama seperti dulu saat kali pertama, lelaki itu mengajarkanku menapaki dunia.
Ya Tuhan. Aku rindu.
Kini, tak ada lagi pelukan yang terentang, dan dada yang kokoh untuk mengatakan bahwa semua baik-baik saja.
Lelaki itu kini menjelma monster, di mana jemarinya sibuk menggenggam botol-botol bearoma obat pembersih lantai. Bibirnya tak pernah berhenti mengeluarkan sumpah serapah setiap kali aku melakukan kesalahan.
Jemari yang dulu biasa menyentuhku, kini menjelma tangan-tangan kasar yang meninggalkan bekas pada kulit putihku.
Entah, apa yang membuatnya seperti itu. Yang pasti, lelaki itu kini tak lagi menjadi pelindung bagiku.
Aku menghapus air mata yang berjatuhan dari pelupukku, saat menatap foto usang Ayah yang menggengam erat tangan mungilku. Dulu.
Hanya sebuah perayaan makan bersama keluarga. Rasanya sudah menyenangkan.
Puluhan doa yang dikirimkan para sahabat dan kerabat adalah hal yang terindah.
Dari balik tirai aku suka memperhatikan apa yang ada di luar sana.
Sesekali aku mencoba untuk berinteraksi dengan mereka. Melambaikan tangan atau menyunggingkan senyum pada seseorang yang tak sengaja melihat sosokku. Anehnya tak satupun dari mereka menyadari keberadaanku. Meskipun aku melambaikan tangan beberapa kali ke arah mereka.
Seperti hari ini saat aku berusaha beramah tamah pada Ny. Ross --tetangga sebelah rumah. Sayangnya, wanita paruh baya itu tak melihat senyumku. Dia malah asyik berbicara dengan bunganya.
Lamat-lamat aku mendengar suara orang sedang bercakap-cakap. Dengan hati riang aku menuruni tangga. Melihat siapa yang berkunjung.
Aku mengintip dari jendela ruang tamu. Di luar ada 2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan muda. Mereka sepertinya sedang mendiskusikan sesuatu.
Tunggu dulu, aku melihat sebuah mata mungil sedang melongok ke dalam rumah.
Aku melambaikan tangan untuk menyapanya. Mata mungil itu mengerjap. Dan, satu tangannya yang juga mungil membalas lambaianku.
Akhirnya, aku punya teman di rumah ini
"Huft....gagal lagi," keluh Nadira saat melihat garis merah satu pada test pack dalam genggamannya. Ada seberkas rasa kecewa bergelayut di dadanya. Semua perjuangannya beberapa bulan terakhir ini terasa sia-sia karena satu garis merah. Ya, hanya sebuah garis merah yang membuat seluruh hidupnya berubah.
****
Setahun sebelumnya.
"Kamu yakin akan melakukan semua ini, Jo?" tanya Bapak dengan raut wajah tak percaya.
"Paijo, yakin Pak. Ini adalah pilihan hidupku," jawab Paijo dengan suara bergetar. Ditatapnya lelaki paruh baya yang telah membesarkannya itu. Paijo merengkuh jemari-jemari yang mengkisut karena usia, lalu meletakkanya di dada. "Paijo akan baik-baik saja Pak. Kata dokter operasi ini aman. Dan, sebentar lagi bapak akan memiliki anak gadis yang cantik."
"Apa yang harus saya lakukan Mbah biar Putri jadi milik saya?" Tanya Paijo pada Mbah Murji yang sedang berkomat-kamit di depan bara api yang menyala.
"Yang....kamu harus lakukan adalah menyalakan lilin selama 7 hari dalam kamar," ujar Mbah Murji.
"Hanya itu?" Paijo mengernyitkan dahi.
"Ini memang perihal mudah, tapi sulit untuk dijalankan. Dan, satu lagi. Kamu harus menghindar dari kucing hitam."
"Kucing hitam? Baiklah."
****
Malam semakin larut. Paijo terkantuk-kantuk menjaga nyala lilin di hadapannya. Kemarin saat mendapat syarat dari Mbah Murji semua terlihat mudah, namun kenyataan sulit. Menjaga lilin tanpa harus melakukan apa-apa itu membosankan. Belum lagi serbuan nyamuk yang tak henti mengganggunya.
Meong....meong
Samar-samar Paijo mendengar suara kucing. Dia mendiamkannya. Bukannya berhenti, kucing itu malah semakin keras mengeong.
"Ah, kucing sialan mengganggu saja." Paijo menyambar segelas air di atas nakas. Dia membuka jendela dan menyiramkan air di dalam gelas.
Paijo membeku saat mengetahui bahwa kucing yang dia siram berwarna hitam.
Meong....meong
Paijo menggaruk-garuk tubuhnya yang gatal sambil mengusapkan kedua kakinya ke muka.
Aku sudah memutar pegangan pintu apartemen dan siap masuk ke dalam saat Thomas --tetanggaku datang.
"Ini ada kiriman untukmu." Lelaki berkebangsaan Norwegia itu mengulurkan sebuah kotak coklat berpita merah kepadaku.
"Terima kasih, Tom," ucapku sesaat sebelum lelaki itu kembali ke dalam apartemennya dan menutup pintu. Begitulah Thomas. Dia bukanlah tipe laki-laki yang suka berbasa-basi.
Aku menutup pintu sambil mengapit kotak itu. Kemudian menyalakan lampu apartemenku yang gelap gulita.
Sampai di ruang tengah aku membuka syal yang melilit leherku dan menjatuhkan diri di atas sofa. Kini, perhatianku hanya tertuju pada kotak coklat dalam genggamanku. Tak ada nama pengirimnya. Di sana hanya tertempel sebuah kertas kecil bertuliskan Untuk Marsha.
Aku membolak-balik kotak itu, tapi tak menemukan petunjuk siapa yang telah mengirimnya. Sudahlah. Itu tak penting.
Dengan hati-hati aku menarik ujung pita yang membungkus lapisan luar kotak, membuka tutupnya. Tak ada apa-apa di sana, selain sebuah amplop putih.
Dengan penuh tanda tanya aku mengambil amplop itu dan menyobeknya perlahan.
Sebuah tiket London-Jkt
Ponselku bergetar. Aku mengulum senyum saat melihat sebuah nama tertera di layar.
"Sudah terima hadiahku?" Suara Andi langsung menyerbu saat aku menekan tombol terima.
"Aku baru membukanya. It was surprising me," jawabku.
"Pulanglah, Sha. Aku merindukanmu."
"...."
"Sha...." Suara Andi kembali bergema di telinga.
"Aku akan pulang. Jika, kamu sudah resmi mengurus perceraianmu."
"Sayang, temenin aku ke nikahan Putri ya," tukas Dimas saat kami istirahat makan siang.
"Kapan?" Tanyaku malas-malasan.
"Besok. Dandan yang cantik ya." Dimas mencubit lembut daguku.
Aku menggembungkan pipi tak suka.
***
Aku mematut di depan cermin. Memastikan tak ada yang salah dengan riasan dan gaun halter neck berwarna merah marun yang kukenakan. Semua sempurna.
Tinggal menunggu Dimas menjemput.
Sejujurnya, hari ini aku ingin menghabiskan waktu di kamar saja. Menyalakan pendingin kamar, lagu romantis, dan sebuah novel roman yang baru aku beli rasanya lebih menyenangkan. Namun, ajakan Dimas untuk menemaninya ke resepsi Putri tak dapat kutolak. Soalnya Putri adalah sahabat Dimas dan kebetulan aku juga mengenal gadis itu. Jadi, kali ini aku harus sedikit menekan egoku.
Tin...
Bunyi klakson. Aku bergegas keluar kamar menyambut Dimas yang menjemputku.
***
"Pa, aku mau cincin ini di hari jadi pernikahan kita nanti." Sasa menunjukkan gambar sepasang cincin di salah satu iklan majalah fashion yang digenggamnya.
Ardi yang sedang sibuk dengan pekerjaannya hanya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada laptopnya.
"Pa, coba lihat deh. Baguskan? Belikan ya?" Amelia bergelayut di pundak Ardi sambil menyorongkan gambar cincin di depan suaminya.
"Inikan mahal, Ma. Papa dapat uang dari mana?" keluh Ardi.
"Mama nggak mau tahu. Pokoknya Papa belikan cincin ini sebagai pengganti mas kawin yang sudah Papa gadaikan." Sasa menutup pintu kamar dengan keras.
Sepeninggal istrinya Ardi menghela napas panjang. Dia memijit pelipisnya yang mendadak nyeri setelah mendengar permintaan istrinya.
Dapat darimana uang sebanyak itu?
***
"Di. Kamu jangan lupa tugasmu," ujar seseorang di seberang sana.
Ardi tak menjawab. Dadanya berdebar keras.
"Sudah jangan kebanyakan mikir. Kalau tugasmu berhasil. Kamu bisa dapat 50 juta." Seseorang di sana berusaha meyakinkannya.
Haruskah aku melakukan hal ini? suara hatinya berbicara.
"Pokoknya Papa harus belikan Mama cincin itu." suara rengekan Sasa bergema di telinga Ardi.
"Oke. Tugasku hanya membuat Pak Direktur terkapar kan?"
"Lihat boneka itu lucu," tunjuk Mika pada teman-temannya.
"Kamu mau beli boneka itu?" Lidya menimpali.
Mika meraih boneka gadis berpita dua itu dalam rengkuhannya. "Iya, boneka ini cantik dan lucu."
"Hii. Kamu nggak takut kalau nanti malam-malam boneka itu bisa berjalan?" Lidya begidik.
Mika mencibir. "Kamu kebanyakan nonton horor." Gadis itu tak memedulikan respon Lidya dan ngeloyor ke kasir untuk membayar boneka dengan perasaan membuncah.
***
Mika
Suara lirih menelusup gendang telinga Mika. Gadis itu menggeliat. Matanya terlalu rapat untuk dibuka. Tak lama kemudian Mika kembali terlelap.
Mika
Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras.
Dengan mata setengah terbuka. Mika terduduk. Dia sejenak menarik napas untuk mengembalikan kesadarannya.
Gadis itu membeku saat mengarahkan pandangannya ke sudut jendela. Boneka porselen itu menatapnya sambil tersenyum
"Mika kita main yuk."
Sore itu langit di Jakarta telihat muram. Arakan awan kelabu pekat memenuhi langit ibu kota. Samar-samar suara petir bersahutan di bentangan cakrawala. Menyisakan kilatan cahaya dan suara yang berdentum di angkasa.
Seorang laki-laki nampak tak terganggu dengan keadaan langit yang semakin gelap yang kemudian diikuti oleh milyaran butir air yang berjatuhan dari langit. Lelaki itu bergeming. Dia membiarkan air hujan membasahi tubuhnya.
"Aku pasti akan menunggumu, Ren. Menunggumu datang." Lelaki itu merapatkan pelukan di tubuhnya. Berharap mengurangi dingin yang mulai menusuk ke dalam kulitnya. Semua sia-sia. Seberapa pun kuatnya pelukan itu, tubuhnya tetap saja menggigil.
"Hentikan semua ini, Ndre." sebuah suara melindap di telinga lelaki itu.
Lelaki itu mendongak. Sebuah payung berwarna pelangi tepat di atas kepalanya dalam genggaman seorang gadis.
"Amel? Untuk apa kamu kesini. Sana pergi. Nanti Rena melihat kita," Rendra mengibaskan tangannya.
"Rena tak akan datang, Ndre," ucap Amel sambil tetap berusaha memayungi lelaki di hadapannya. Gadis itu melupakan tubuhnya yang mulai membasah karena payung yang dibawanya tak cukup melindungi mereka berdua.
"Rena pasti datang, Mel. Dia sudah janji." tubuh Andre bergetar.
"Sampai kapan kamu akan terus-terusan begini?" teriak Rena. Suara lantangnya terhalangi suara hujan yang menderu-deru.
Sumber foto: koleksi Pribadi
Aku menurunkan novel di genggamanku. Lalu, pandanganku terarah pada lelaki berpotongan spike tengah memotret seekor kupu-kupu yang hinggap di atas bunga.
Aku mengulum senyum. Beberapa hari ini, Arya sedang tergila-gila dengan dunia fotografi. Hampir setiap waktunya tak bisa lepas dari DSLR yang tergantung di lehernya. Kecuali sedang tidur.
"Hai," aku melambaikan tangan ke arahnya.
Arya menoleh, lantas meletakkan satu jarinya di bibir sebagai tanda untuk tidak berisik. Aku menurutinya. Membiarkan lelaki itu sibuk dengan buruannya.
Aku menghela napas. Harusnya hari ini menjadi istimewa. Tepat di tanggal ini dua tahun lalu aku dan Arya resmi menjadi pasangan kekasih. Tapi, hari ini tak ada perayaan apa pun. Arya malah memintaku untuk menemaninya mengambil gambar di taman komplek.
Huft. Sekali saja aku ingin seperti pasangan lainnya yang menghabiskan waktu bersama pasangannya dengan kegiatan yang menarik. Misalnya nonton bioskop, makan di cafe. Bukan menunggui orang yang asyik dengan dunianya sendiri.
"Bosan?" Arya menghampiriku tanpa rasa bersalah. Lelaki itu ikut menjatuhkan diri di sampingku.
Aku menggembungkan pipi sebagai bentuk kekesalan pada Arya.
Bukannya mencoba mendinginkan hatiku. Arya hanya diam saja tanpa suara. Dari sudut mataku, kutemukan lelaki sibuk melihat hasil jepretannya hari ini. Aku mengerang. Rasanya ingin kulemparkan buku di atas pangkuanku.
Aku hendak bangkit meninggalkannya, saat sebuah sentuhan lembut menggenggam buku-buku jemariku. "Maaf. Aku sudah membuatmu bosan hari ini."
Hening.
Arya meletakkan dua tanganku di dadanya. Tanpa kata lelaki itu memagut lembut bibirku. Aku memejamkan mata. Membiarkan aliran hangat bergelenyar di dada. Semua rasa marah yang tadi penuh sesak kini menguap. Menyisakan rona merah di kedua pualam pipiku.
Aku membenamkan diri di dada Arya. Menikmati hari istimewa dengan cara kami sendiri.
Kami memang memiliki kesukaan yang berbeda. Arya dengan kamera dan aku dengan buku. Tapi, cinta menyatukan kami menjadi satu
"Selamat pagi anak-anak." Annie menyapa muridnya dengan suara lantang.
"Pagi, Bu." suara koor anak-anak menyerbu gendang telinganya.
Gadis berusia 25 tahun itu mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Hampir separuh dari murid-muridnya tampak tak memedulikan kehadirannya. Ada yang mengobrol, ada yang asyik membaca dan beberapa lain terlihat acuh dengan keriuhan di dalam kelas.
Annie menghela napas. Ini hari pertamanya mengajar dan dia tak harus melakukan apa untuk menarik perhatian anak-anak didiknya itu
Ting.
Tiba-tiba terlintas sebuah ide. Annie membuka tas kerjanya. Dia mengeluarkan beberapa tumpukan kertas aneka warna yang masih terbungkus plastik. Annie merobek plastik itu dengan hati-hati, lalu perlahan mengeluarkan kertas berwarna-warni.
"Baiklah, pelajaran pertama hari ini. Kita mulai dengan membuat origami bangau." Annie berjalan membagikan kertas dalam genggamannya.
"Yah. Kita bukan anak TK Bu." salah seorang berkomentar.
Annie terus melangkah tanpa memedulikan tatapan sebal dari murid-muridnya.
****
"Bu Annie."
Annie selesai merapikan mejanya dan hendak keluar dari ruang guru saat seseorang memanggilnya.
"Ya." Annie membalikkan punggungnya dan mendapati Meta, siswa kelas 1 sedang berdiri di belakangnya.
"Ada apa Meta?"
Gadis itu tak bersuara. Dia mengeluarkan sebuah kotak kayu berukuran 8x8 cm dari tasnya. Dengan tangan gemetar Meta mengulurkan kotak dalam genggamannya pada Annie.
"Ini seribu bangau. Bisakah orang tua saya tidak jadi bercerai?"
Sumber foto: Zayd Ustman
Aku menggilaimu dengan seluruh hatiku
"Aku mau setangkai mawar," ucapnya saat kami bertemu.
"Setangkai mawar?" Alisku terangkat
"Iya. Setangkai mawar merah yang baru dipetik," ucapnya setengah merajuk. Aku bisa menangkap sorot kebahagiaan yang terpancar dari sepasang mata almond yang tengah menatapku.
"Hmm, baiklah. Aku akan membawakan pesananmu." Aku menyentuh ujung rambut Kania. Lalu, mendaratkan bibirku di keningnya. "Sekarang waktunya kamu istirahat."
Seulas senyum terukir di bibir mungil Kania. Tak lama sepasang mata bulat milik Kania tertutup.
****
Tunggu aku
Sent
Aku menjejalkan ponselku ke dalam saku celana dan bergegas masuk ke dalam Jazz Hitam milikku. Menyalakan mesinnya dengan cepat. Lima menit kemudian dengan lincah mobil hitam yang kukendarai membelah jalanan yang masih lengang. Ini pukul 04.00 dini hari, saat di mana orang-orang masih bermain dengan mimpinya. Dan, aku sudah berada di jalanan menikmati dinginnya pagi.
Sepanjang perjalanan bibirku tak berhenti bersenandung. Hatiku sedang berbunga-bunga. Akhirnya aku mendapatkan pesanan Kania, walaupun harus mendapatkan tatapan sebal dari Rasya karena telah membangunkannya di pagi buta. Tak mengapa. Ini demi Kania.
Masih fokus dengan kemudi. Tangan kiriku mengambil sesuatu dari samping kursi penumpang. Dengan hati-hati tanganku menggenggam setangkai mawar yang masih berduri. Aku lupa, harusnya duri-duri di daun itu telah kutanggalkan supaya tak menyakiti jemari Kania yang selembut kapas.
Aroma khas bunga berwarna merah itu langsung menyerbu indra penciumanku. Aku melengos. Aku tak suka aroma mawar, tapi Kania --gadisku begitu tergila-gila dengan mawar.
Ponselku berdering.
Aku melambatkan laju kendaraan agar bisa melihat siapa yang menelponku pagi-pagi begini.
Seluruh persendianku melemas saat membaca sebuah pesan singkat yang masuk ke ponselku.
Van, Kania baru saja pergi. Maafkan dia tidak bisa menunggumu lebih lama lagi. Tolong iklaskan kepergiannya.
Sumber foto: koleksi Zayd ustman
Jika menulis tentangmu membuatku lega. Aku rela menulis sebanyak apapun itu
Andai saja jarak dapat dilipat dengan mudah. Aku ingin berlari ke dalam pelukanmu. Untuk sekadar menghidu aroma parfum yang menguar dari tubuhmu
Jika kamu seorang jurnalis Perang, kamu ingin meliput di negara mana?
Inggris. Kota London
Memangnya di London ada perang?
Kagak. Ya pokoknya aku mau London. Masalah perang atau nggak itu urusan belakangan. Siapa tahu nanti di London ada perang boyband :D.
Ngasal banget sih postingan ini.
Terus terang saya nggak pernah bermimpi menjadi jurnalis perang. Soalnya saya nggak suka berada dalam tekanan dan negara yang penuh dengan ancaman. Sebut saja saya penakut. Nggak papa deh ketimbang di sana saya malah bikin semua orang repot.
Hoho..tema ini cukup lucu juga dan bikin garuk-garuk kepala. Pasalnya aku nggak pernah bermimpi ingin jadi Presiden. Kebayang gimana beratnya harus mengatur negara. Wong ngatur diri sendiri aja sulit.
Oke, balik ke topik utama.
Apa sih yang akan kamu lakukan jika menjadi Presiden?
Pertama, saya akan membenahi sistem pendidikan yang ada. Membenahi mekanisme perekrutan guru agar SDM untuk mengatur pendidikan lebih terjamin.
Kedua, memperbanyak taman kota. Ingin rasanya Indonesia memiliki taman-taman keren kayak di London. Ya, walaupun kita tidak punya musim yang sama dengan negara-negara Eropa. Rasanya tidak salah menikmati daun berguguran di taman yang indah.
Rasanya cukup segini aja. Nggak sanggup membayangkan jika jadi Presiden beneran :))
Aku masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana Evan menciumku semalam. Tanpa persiapan apapun, tiba-tiba saja lelaki itu mendaratkan bibirnya di atas lipatan bibirku. Lembut. Dan, aku hanya bisa memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan bibirnya bergumul, mengecup permukaan bibirku, lalu tanpa sadar kedua tanganku sudah memeluk lehernya erat. Kami berdua hanyut malam itu.
Pagi ini, ketika aku terbangun. Hal kali pertama yang aku ingat adalah aroma bibir Evan yang masih menempel di bibirku. Aroma tembakau. Lelaki itu adalah seorang perokok, jadi wajar saja jika aroma tembakau menguar dari bibirnya. Sejenak, aku tersenyum sendiri lalu meraba pipinya yang mulai memanas. Mengingat Evan, seluruh tubuhku memanas.
Hubungan kami baru seumur jagung, jadi wajar kalau cinta itu masih terasa hangat-hangatnya. Seringkali aku merasakan gempa kecil di dada dan perutku. Kemudian, pualam pipi yang merona saat lelaki itu menyentuhkan buku-buku jemarinya di pipiku. Ah, Evan memang pandai memperlakukan wanita.
Lamat-lamat kudengar suara ponsel berdering. Aku masih yang terduduk di pinggiran tempat tidur spontan berdiri. Mencari di mana ponsel kecil itu berada. Di saat dibutuhkan begini benda itu mendadak menyembunyikan diri. Aku mencoba mengingat-ingat di mana aku meletakkannya semalam. Ah, akhirnya aku ingat. Semalam aku dan Evan berkirim pesan singkat hingga malam, dan tentu saja ponsel itu pasti berada di atas tempat tidurku. Aku membolak-balik selimut, bantal, dan juga guling yang berserakan. Akhirnya, kutemukan juga benda yang sedang berkedip-kedip. Aku tersenyum. Nama Evan tertera di sana.
"Hallo." Aku berjalan ke dekat jendela. Menyingkap sedikit tirai yang menutup kaca jendela kamarku.
"Ka, bisa kita bertemu hari ini?" sambut Evan tanpa membalas sapaanku.
Ada perasaaan tidak nyaman saat Evan tak membalas sapaanku dan mendadak ingin bertemu. Padahal semalam kami sudah makan malam bersama, lalu dilanjutkan dengan saling berkirim pesan hingga larut malam. Apa sesuatu telah terjadi?
Aku menggelengkan kepala, membuang semua pemikiran negatif dari benakku saat ini. Mungkin saja Evan memang ingin bertemu denganku saja. Bukankah wajar jika yang namanya kasmaran selalu ingin bertemu. "Bisa, kita mau ketemuan di mana?" tanyaku.
"Di tempat biasa pukul 15.00."
***
"Aku ingin semua ini berakhir, Inka." Suara berat Evan melindap di gendang telingaku.
Aku mendongak. Menatap pada dua buah manik mata hitam yang biasa menelanjangi diriku. Lelaki itu tertunduk. Hatiku terasa diremas-remas. Ini bukan Evan yang biasa menatapku dalam-dalam.
Aku merasakan firasat buruk.
"Kenapa Evan?" tanyaku dengan nada setenang mungkin.
"Aku tak bisa menjanjikan apa pun padamu," jawab Evan lirih.
Jawaban macam apa ini?
"Aku tak pernah memintamu menjadikanku yang pertama," aku meraih jemarinya. Mencari sisa kehangatan di buku-buku jemarinya.
Evan membalas remasanku pelan. "Aku tak mau menyakitimu lebih lama lagi, Inka."
Aku mencebik.
Aku sudah mempersiapkan hatiku jauh-jauh hari untuk kausakiti sejak kita bertemu dalam keadaan tidak sadar dalam sebuah kamar tanpa sehelai benang.
Ad Placement