Apakah Harus Menurunkan Standar Calon Suami, Supaya Lekas Menikah?
“Kak, apa saya harus menurunkan standar ya supaya cepat menikah?”
Itu bunyi pesan dari seorang follower yang masuk ke dm saya tadi malam. Sebenarnya, bukan kali pertama saya dapat pesan seperti ini. Ada beberapa follower juga menanyakan hal yang sama soal standar laki-laki. Jadi, saya nggak kaget dengan pertanyaan-pertanyaan ini.
Wanita Single Itu Aib Di Masyarakat
Dalam tatanan masyarakat, wanita yang belum menikah dan belum memiliki anak itu dianggap gagal jadi perempuan seutuhnya. Saya nggak tahu darimana asal penyataan ini tapi ini cukup meresahkan bagi kami yang masih melajang.
Entah berapa banyak perempuan-perempuan single di luar sana yang ketakutan setiap harinya karena usianya sudah cukup untuk menikah. Namun, tidak ada lelaki yang kunjung melamar. Ditambah tekanan dari keluarga yang memperparah keadaan.
Beberapa dari mereka pada akhirnya memilih menikah dengan siapa saja. Paling penting menikah.
Cukup menyedihkan, bukan?
Pada akhirnya, tatanan sosial di masyarakat menyebabkan wanita memilih pasangannya secara asal yang menyebabkan meningginya tingkat perceraian.
Wanita Single di Atas Usia 30 Tahun Dianggap Tidak Punya Hak Memilih?
“Kamu terlalu pemilih, pantesan belum menikah sampai sekarang!”
Kesekian kalinya saya mendengar komentar seperti ini ketika orang-orang mendengar saya belum menikah di usia 41 tahun.
Saya nggak habis pikir sama pernyataan mereka, seolah-olah wanita ketika usia 30 tahun ke atas dan belum menikah itu adalah kaum sisa. Mereka tidak lagi punya pilihan untuk memilih calon suaminya.
Ya sudah terima saja apa yang ada.
Komentar ini pula yang membuat banyak perempuan di sana menerima pilihan lelaki yang datang tanpa mempertimbangkan hal-hal lainnya. Pada akhirnya, beberapa dari mereka terjebak dengan KDRT atau hubungan toksik.
Apakah Wanita Harus Menurunkan Standar Supaya Cepat Menikah?
Mungkin bagi sebagian orang aku akan diberi label sebagai pemilih dan aku tidak peduli.
Bagiku pernikahan itu sebuah awal dari hubungan yang kompleks di mana dilegalkan oleh hukum dan agama. Menikah itu bukan sekedar tinggal bersama atau bisa melakukan hubungan sex dengan halal, tapi juga berbagi tanggung jawab dengan pasangan untuk merawat pernikahan, bersama-sama dalam pengasuhan anak.
Dan, tentu saja aku butuh lelaki yang tepat di sini.
Definisi lelaki yang tepat untuk setiap orang pastinya berbeda. Bagiku, suami itu harus bisa menyediakan rasa aman secara finansial, emosional dan fisik. Apalagi dia kelak tidak hanya jadi suami, tapi jadi figur bapak untuk anak-anakku kelak.
Buatku memilih itu wajib karena memang untuk masa depan kita.
Salah memilih menu, bisa kita atasi. Namun, salah pilih pasangan akan membuatmu setengah mati dalam menjalani kehidupan.
Aku hanya mau bilang buat perempuan di luar sana yang sedang berjuang menemukan jodoh. Percayalah kamu itu berharga.
Baca juga:
Pernah juga baca kutipan gitu, "menikah lebih lambat dengan pasangan yang tepat gak bikin kamu mati, tapi menikah cepat dengan pasangan yang salah udah banyak contohnya berakhir kematian."
ReplyDeleteYa, dari POV pria, sebenarnya pressure soal menikah ini sama juga dirasakan. Balik-balik tergantung lingkungan keluarga dan pertemanannya dan cara handle kalau udah muncul celetukan-celetukan soal itu haha. Aku sih udah di titik kalau mau nyenggol (urusan pribadi), bakalan kusenggol balik. Lu jual, gw beli ibaratnya :D
Memang ya kultur kita itu menikah itu soal usia, dan kalau belum mendapat jodoh itu seakan hina.
ReplyDeleteTapi saya juga mau membagi sudut pandang dari laki-laki, bahwa pressure seperti ini dirasakan juga. Apalagi jika sudah usia 30++, tapi merasa diri belum siap secara materi untuk menikah.
Jadinya memang harus extra sabar saja menghadapi keadaan seperti ini, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Percayalah jodoh yang baik itu tidak langsung secara instan. Teruslah memantaskan diri menikah itu ibadah.
ReplyDelete