Penyakit Kejiwaan Tidak Bisa Dengan Self Diagnosis

woman crying, mental ilness, Penyakit Kejiwaan Tidak Bisa Dengan Self Diagnosis




Sebuah pesan singkat masuk ke Whatsapp saya waktu itu dari seseorang yang kenal.


X: “Mba, kayaknya anakku mengalami masalah xxxx deh?
”Y: Oh iya, hasil diagnosa Psikolog?” 
X: “Bukan, saya baca-baca dari google dan kayaknya ini sesuai dengan yang terjadi pada anak saya?” 
Y: (hening)


Percakapan ini mengingatkan beberapa tahun lalu, di saat saya duduk di bangku perkuliahan, menyimak kuliah Psikologi Abnormal, di mana kala itu Dosen sedang menjelaskan gejala-gejala dari penyakit kejiwaan. Membaca ciri-ciri tersebut membuat saya terpaku, hampir semua yang disebutkan di presentasi Dosen, cocok dengan diri saya.

Saat Dosen menjelaskan penyakit jiwa lainnya, lagi-lagi saya merasa semua gejala yang dijelaskan tadi ada pada diri saya. Oh, oke. Saya mulai merasa nggak nyaman.

Am I Crazy?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus bergaung di telinga. Sehabis kuliah saya sibuk membayangkan tentang ciri-ciri tadi. Apakah betul saya menderita seperti apa yang dijelaskan Dosen tadi? Terus terang itu amat mengganggu pikiran.

Kembali ke masalah awal ya. Belakangan ini di Media Sosial, saya banyak menemukan orang-orang dengan mudahnya mendiagnosa dirinya sendiri dengan penyakit kejiwaan setelah membaca ciri-ciri yang ada di mesin pencaharian atau bahkan dari tes-tes yang banyak ada di dunia maya. Padahal, belum jelas validitas dan reabilitasnya.

So Sad, saat saya tahu ada seorang teman yang kemudian dengan gampangnya mendiagnosis dirinya sendiri dengan gangguan jiwa tanpa bantuan ahli, hanya berbekal dari cerita-cerita yang dia dapat dari media sosial.

Baca juga: Belajar Ilmu Psikologi Untuk Diri Sendiri

Bahaya Self Diagnosis


Penyakit Kejiwaan Berbeda dengan penyakit biasa yang mudah dilihat gejalanya dari luar. Sedangkan kejiwaan banyak berhubungan dengan masalah psikis/jiwa yang notabene tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, meskipun terkadang ada gejala yang nampak.

Penyakit medis, jika salah diagnosa mungkin Dokter bisa mengeluarkan efek obatnya dengan obat lainnya atau bisa dengan metode detoksifikasi. Tapi, beda dengan masalah kejiwaan. Jika kamu salah diagnosa dirimu sendiri, berakibat fatal bagi hidupmu.

Mau saya kasih tahu bagian fatalnya?

Seorang Psikolog/Psikiater dalam memutuskan diagnosis terhadap kliennya itu membutuhkan waktu yang panjang, bukan pada pertemuan pertama karena mereka bukan cenayang. Bahkan, jika mereka menemukan 2-3 gejala sesuai dengan kondisi klien, mereka tidak akan segampang itu untuk menjatuhkan diagnosa.

Biasanya mereka akan melakukan serangkaian tes yang berbeda demi memperkuat apa yang mereka duga. Beberapa dari mereka juga ada yang meminta melakukan pemeriksaan silang dengan medis dikarenakan ada beberapa penyakit jiwa yang disebabkan masalah medis.

Kenapa mereka harus sedetail itu?

“Begitu diagnosa diketuk, berarti seorang Psikolog/Psikiater harus siap memberikan sebuah label yang harus dilekatkan pada klien.”

Labelling pada klien berarti akan melekat seumur hidup yang pada akhirnya akan mengubah hampir segala kehidupannya. Mulai dari perlakuan, cara berpikir, bahkan juga mengenai hubungan sosial dan terakhir stigma masyarakat. As you know, masih banyak stigma negatif di luaran sana terhadap orang yang memiliki gangguan psikologis.

Kebayang nggak, kalau mendiagnosa dirimu sendiri dengan suatu penyakit kejiwaan/psikologis tertentu hanya karena membaca tulisan di Internet yang ternyata beberapa cirinya cocok denganmu?

Buat yang memiliki tingkat kesehatan mental yang baik, pastinya dia akan mulai mencari tahu lebih detail atau bahkan mengunjungi layanan Psikiater/Psikolog atau bahkan hanya sekedar mawas diri.

Respon yang berbeda, jika kamu sedang memiliki tingkat kesehatan mental yang rendah. Apa yang kamu baca tadi akan terus terngiang-ngiang di benakmu, tanpa kamu sadari alam bawah sadar membenarkan apa yang dikatakan tulisan tadi. Parahnya, kamu dengan pasrah menerima kondisi itu yang membuat kondisimu semakin menurun. Kamu mulai merasa perlu dikasihani atau bahkan merasa paling menderita. Padahal kenyataannya itu hanya perasaanmu saja karena kamu memang belum pernah datang ke ahlinya.

Sama seperti contoh ilustrasi yang saya jelaskan di atas. Seorang Ibu yang merasa yakin anaknya terdiagnosis seperti yang dikatakan di Internet. Untung saja diagnosa tersebut kebetulan sesuatu yang positif, lah bagaimana seandainya itu negatif dan sang Ibu percaya anaknya begitu. Blam, pada akhirnya Ibu tersebut akan salah memberikan perlakuan pada anaknya, sehingga perkembangan yang tadinya normal menjadi malah terganggu akibat self diagnosis.

Seperti drama korea Beautiful Mind yang pernah saya tonton, tentang seorang Anak yang didiagnosa mengalami gangguan emosi setelah kesalahan operasi pada otaknya di masa kecil. Anak itu kemudian dididik oleh orang tua layaknya diagnosa tersebut. Si anak besar dengan perilaku emosi yang datar yang menurut orang lain aneh. Di akhir cerita, baru ketahuan bahwa ternyata diagnosa itu salah, area di otak yang tadi diyakini oleh bapaknya terluka, ternyata tidak.

Kamu bisa membayangkan seperti apa hidup anak itu?

Seorang Dosen pernah mengatakan ini pada kami di sebuah perkuliahan Matrikulasi untuk Pendidikan Profesi Psikologi. Kala itu dia membahas peran Psikolog dalam kehidupan orang lain.

“Kalau Kamu nanti Jadi Psikolog, Jangan Pernah Jadi Tuhan Untuk Kehidupan Orang lain.”

Kata beliau, sebagai seorang Psikolog kita harus hati-hati dalam memberikan diagnosa kepada orang lain. Jangan sampai hasil diagnosa tersebut membuat kehidupan orang lain rusak.

Because labelling


Baca juga: 5 hal yang bisa diajarkan kepada anak tentang mudik lebaran

Apa yang harus dilakukan?


Jika kamu merasa ada sesuatu yang aneh atau ada perilaku yang mulai menganggu kehidupan rutinitasmu, carilah bantuan ahli. Sekarang rasanya hampir semua rumah sakit menyediakan jasa Psikolog dan Psikiater yang siap membantumu. Selain di Rumah Sakit, Jasa Psikolog bisa kamu temui di beberapa Puskesmas.

Mungkin, kamu yang masih merasa malu atau takut bertemu Psikolog/Psikiater secara langsung, teknologi sudah canggih. Konsultasi bisa dilakukan secara daring/online.

Selama ini banyak orang yang merasa malu untuk datang ke Psikolog/Psikiater karena takut dianggap gila. Padahal, tidak seperti yang dibayangkan oleh orang-orang. Psikolog dan Psikiater membantu kita untuk mengurai benang-benang kusut yang terjadi selama hidup kita, supaya kita tumbuh menjadi pribadi lebih baik.


Jangan takut untuk konsultasi dengan Ahlinya.


Salam,

2 comments

  1. Salah satu alasan terbesar saya berniat lanjut s2 psikologi walaupun s1 saya ekonomi, karena ingin melengkapi keluarga saya yang hampir semuanya tenaga kesehatan fisik. Pun pengalaman beberapa teman dekat saya yang suka sok asal jadi psikolog padahal mereka kebanyakan baca dari majalah atau mendiagnosa dari media daring. Ada sih yang ternyata beneran terbukti bipolar setelqh saya paksa konsul ke psikiater dan psikolog. Alhamdulillah-nya dia mau mendengarkan saya.

    Maka, para tenaga kesehatan mental rasanya perlu turut berjuang mengubah stigma kalo yang datang ke mereka itu selalu orang gila deh. Yaaa ... walaupun yang dihadapi itu, para orang awam yang keukeuhan.

    Doakan niat s2 saya terlaksana dalam waktu yang tepat ya Mba.

    ReplyDelete
  2. ternyata gak cuman pasien yg berobat ke dokter aja yang sering mendiagnosa dirinya sendiri, pasien yg ke psikiater/psikolog pun begitu yak. Apa karna skrg apa2 bisa cari di internet ya, jd hal-hal yg berhubungan dgn diagnosis ini dianggap sepele. Padahal. .. hmmm.

    ReplyDelete


EmoticonEmoticon