[caption id="attachment_3156" align="aligncenter" width="638"]
Sumber: Zayd Ustman[/caption]
Sore itu langit di Jakarta telihat muram. Arakan awan kelabu pekat memenuhi langit ibu kota. Samar-samar suara petir bersahutan di bentangan cakrawala. Menyisakan kilatan cahaya dan suara yang berdentum di angkasa.
Seorang laki-laki nampak tak terganggu dengan keadaan langit yang semakin gelap yang kemudian diikuti oleh milyaran butir air yang berjatuhan dari langit. Lelaki itu bergeming. Dia membiarkan air hujan membasahi tubuhnya.
"Rena pasti datang...pasti," racaunya di sela-sela guyuran air hujan yang menderas. Lelaki itu tetap bertahan.
Ujung-ujung giginya bergemeretak, tubuhnya kurusnya kian menggigil tapi dia tetap bertahan membiarkan dirinya di bawah kucuran air hujan. "Aku pasti akan menunggumu, Ren. Menunggumu datang." Lelaki itu merapatkan pelukan di tubuhnya. Berharap mengurangi dingin yang mulai menusuk ke dalam kulitnya. Semua sia-sia. Seberapa pun kuatnya pelukan itu, tubuhnya tetap saja menggigil.
"Hentikan semua ini, Ndre." sebuah suara melindap di telinga lelaki itu.
Lelaki itu mendongak. Sebuah payung berwarna pelangi tepat di atas kepalanya dalam genggaman seorang gadis.
"Amel? Untuk apa kamu kesini. Sana pergi. Nanti Rena melihat kita," Rendra mengibaskan tangannya.
"Rena tak akan datang, Ndre," ucap Amel sambil tetap berusaha memayungi lelaki di hadapannya. Gadis itu melupakan tubuhnya yang mulai membasah karena payung yang dibawanya tak cukup melindungi mereka berdua.
"Rena pasti datang, Mel. Dia sudah janji." tubuh Andre bergetar.
"Sampai kapan kamu akan terus-terusan begini?" teriak Rena. Suara lantangnya terhalangi suara hujan yang menderu-deru.