Diam-diam cinta (prolog)
Pernahkah kamu mencintai seseorang dalam diam?
Aku pernah.
Aku bertemu dengannya tanpa sengaja di bawah sebuah emperan toko di kota Tua. Hari itu hujan turun tiba-tiba ketika aku asyik mengambil gambar. Seperti biasa, di saat jadwal mengajarku di sebuah sekolah musik sedang kosong. Aku memilih memotret.
Aku sedang mengambil gambar seorang gadis kecil yang tengah membawa permen kapas. Di belakangnya seorang wanita muda yang mungkin mamanya berteriak agar gadis kecil berkulit putih, berambut ikal yang dikuncir ke atas itu untuk tidak berlari. Gadis kecil itu menarik perhatian lensaku. Momen seperti inilah yang ingin kuabadikan.
Karena terlalu memerhatikan obyekku, aku tak menyadari bahwa langit biru cerah di atas kepalaku sudah berganti kelabu. Ribuan butiran air berjatuhan dari langit, membuatku berlari secepatnya untuk menyelamatkan Canon D Mark II kesayanganku. Sialnya, aku lupa memakai tas kedap air dan kantong plastik yang biasa kugunakan untuk melindungi kameraku.
Kota tua yang tadi ramai menjelma bangunan kosong tak berpenghuni. Orang-orang sibuk menyelamatkan diri dari rintik hujan yang semakin besar. Beberapa pedagang yang tadi menjajakan makanan pun tak ketinggalan. Mereka membawa serta bawaan mereka untuk mencari tempat berteduh.
Aku berteduh di depan toko souvenir yang tutup ketika tahu hujan datang. Mungkin, pemiliknya malas melihat lantai basah dan kotor, karena orang-orang akan menjadikan toko mereka sebagai tempat berteduh. Aku mengibaskan bulir-bulir air di atas rambutku. Lalu, memeriksa apakah kameraku baik-baik saja. Aku bisa bernapas lega, saat mengetahui kameraku tidak terkena hujan.
Pandanganku berkeliling. Saat itulah aku melihatnya. Gadis itu berdiri tidak jauh dari tempatku berada. Sama halnya denganku, gadis itu melindungi dirinya dari percikan renyai hujan yang masih berjatuhan.
"Cuaca memang tidak menentu. Sebentar hujan, sebentar panas." Aku membuka pembicaraan.
Gadis itu menoleh. Melemparkan pandangan takut bercampur heran. Lantas, memalingkan wajahnya ke arah yang berbeda. Gadis itu memberi pesan bahwa dia tak ingin diganggu. Aku tersenyum masam, belum apa-apa aku sudah diabaikan.
Aku mengamati gadis itu lekat. Tubuhnya mungil, kalau ditaksir tingginya sekitar 150-an. Kulitnya seputih pualam, dan kulihat pipinya kemerahan karena udara dingin. Rambut lurus hitam legam milik gadis itu dibiarkan terurai sampai menyentuh pundaknya, matanya sipit, berbingkai alis tipis melengkung, hidung mancung, dan bibir mungil berwarna fushia. Gadis itu seperti seorang anak perempuan yang terperangkap dalam tubuh dewasa.
Aku mengeluarkan kamera, membuka tutup lensa. Kemudian memutar fokus, mencari titik yang tepat. Klik. Beberapa kali aku mengabadikan wajahnya.
Gadis itu memalingkan wajah. Menyadari bahwa sedang dipotret.
"Berhenti memotretku."
Bersambung.....