Mengasah Kepekaan
Kemarin siang papi mengajakkku menjenguk anak salah satu temannya ke rumah sakit. Biasanya aku paling malas buat dia ajak kerumah sakit terlebih lagi udara di Surabaya sedang panas-panasnya. Menurut papi, anak temannya terkena lupus, dan 35 hari sedang koma diruang ICU. Aku memang tidak banyak pengetahuan tentang lupus, tapi yang aku tahu penyakit ini termasuk langka.
Akhirnya tiba juga dirumah sakit, seperti biasa masuk ke dalam rumah sakit membuat jantungku berdebar lebih kencang, yap inilah reaksi yang selalu aku rasakan. Akhirnya nyampe juga diruang ICU, dan bertemu dengan teman papi itu. Om yang selama ini aku kenal itu sekarang tampak kurus, lelah dan tidak terawat. Nampak gurat kesedihan saat dia bercerita kondisi anaknya. Dia bilang anaknya belum ada kemajuan, dan hanya bisa mengedipkan mata, dia juga bercerita bahwa untuk pengobatan sampai sekarang sudah menghabiskan dana 260 juta. Si om kemudian pun menawarkan kami untuk menjenguknya.
Saat melihatnya di ruangan ICU, teringat kenangan beberapa puluh tahun lalu saat aku juga berada diruangan itu selama 43 hari, sama-sama berjuang mencari hidup dengan bantuan alat-alat yang kadang menimbukan suara nggak enak. Ah...saat melihat wajahnya dan nafas tersengal-sengal aku tak tega. Saat itu aku merasa gemetar, dan berusaha mengalihkan pandangan kearah lain, tapi yang aku liat sama. Orang-orang yang sedang bertahan hidup.
Ah rasanya pengalamanku kemarin membuatku lebih merasa bersyukur bahwa sampai sekarang aku masih sehat.....
Seberapa hebatpun manusia, saat dia terkapar dirumah sakit, apa yang dia punya tidaklah berguna.