Sudut

Sudut




Berkali-kali aku melirik jam di pergelangan tanganku dengan gelisah. Sudah sejam aku di sini, sendiri.


Aku mengangkat cangkir kopiku yang panasnya telah menguap.. Getir, rasa itulah yang kini tertinggal di lidah dan juga –hatiku.


Setiap pintu resto ini terbuka, secara spontan pandanganku mengarah ke sana, tapi tak juga aku temukan sosoknya.


“Sudah siap pesan, Mbak?” seorang pelayan kembali menghampiri mejaku.


“Belum, Mbak. Saya masih menunggu teman,” ujarku.


 “Baiklah, jika nanti sudah siap. Silahkan panggil saya,” ucapnya dan kemudian berlalu dari hadapanku. Sekilas aku mendengar helaan napas dari mulut sang pelayan.


Aku merogoh ke dalam tasku, mengambil sebuah cermin kecil.  Aku memastikan tidak ada noda di riasanku kali ini. Aku ingin tampil sempurna di hadapannya nanti.


Makan malam kali ini semacam perayaan hubungan kami berdua, dan aku lebih suka merayakannya dengan sederhana. Tidak ada lilin, bunga-bunga atau pun kado mewah.


********


13 Februari 2012


Di sudut ini, pertama kali bertemu. Saat itu aku sedang asyik menikmati kesendirianku dengan sebuah buku di tangan. Dia datang tergopoh-gopoh. Tubuhnya basah kuyup terkena hujan,  dan wajahnya terlihat kebingungan mencari tempat kosong.


Hari itu restoran ini sangat ramai, beberapa dari mereka lebih menunggu hujan reda.  Entah apa yang membuatku berinisiatif untuk mengajaknya bergabung denganku.


“Hai, tempat ini kosong,” ujarku.


Dia menoleh ke arahku, aku menangkap sebuah keraguan dari raut wajahnya. “Silahkan, aku hanya sendiri,” ujarku sekali lagi.


Dia tersenyum dan duduk di hadapanku. Beberapa detik kami bertatapan, selanjutnya kami larut dalam sebuah pembicaraan panjang.


********


Aku masih saja terpaku, ketika lampu-lampu Kristal mulai dipadamkan. Perasaanku sedang tidak menentu. Sedih, marah, kecewa semua bercampur menghasilkan sebuah rasa sakit yang tak terbatas. Seberapa kuat aku menahan tangisku, nyatanya beberapa bulir air mata sudah mendesak keluar.


“Maaf, Mbak. Kami sudah mau tutup,” seorang pelayan menghampiriku.


Aku mendongak, “Bolehkah saya menunggu beberapa saat lagi? Mungkin dia sedang terjebak macet,” ujarku terisak.


“Baiklah, beberapa menit lagi.”



Sudut yang berbeda


“Wanita itu datang lagi?” bisik seorang perempuan muda


“Iya. Sejak tadi dia hanya terpaku. Entah siapa yang di nanti?” jawab seorang wanita di sampingnya.


“Sepertinya dia menanti seseorang, tapi kok aku nggak pernah melihat temannya, ya?” seorang pria yang baru datang menimpali.


“Entahlah. Aku kasihan melihatnya. Hampir setiap bulan, wanita itu selalu datang. ”


“Dia nggak gila kan?” Tanya wanita bertubuh tambun.


“Huss, jangan gosip yang aneh-aneh. Sepertinya dia baru saja kehilangan seseorang yang dia cintai. Sudahlah, ayo kita kerja lagi. Nanti Pak Budi marah.”


Tiba-tiba saja ruangan itu menjadi senyap.





 

Jenuh

Jenuh

Berungkali aku tepis semua rasa ini. Tapi, tetap saja menjejak dalam hatiku. Tak pernah aku pahami mengenai semua ini.


Aku mencoba mencari jawabannya, tapi tetap saja berakhir dengan rasa yang sama.



Aku jenuh; pada kamu.


 
Pria Peramu Kata (7)

Pria Peramu Kata (7)

Dear Pria Peramu Kata,

Terima kasih telah mengijinkanku mengetuk kesunyian hatimu.
Terima kasih telah mengijinkanku bersandar sejenak di bahumu
Terima kasih telah membiarkanku mengulas senyuman di wajahmu
Terima kasih telah mengijinkanku menghapus semua dukamu

Salam Hangat,

Pengagummu
Pria Peramu Kata (6)

Pria Peramu Kata (6)

Dear Kamu,
Kenapa aku mulai merasakan rindu padamu? Merindukan bagaimana sajak-sajakmu terangkai di Time Line. Aku suka tersenyum geli, saat pertama kali kita berkenalan.
Ah, aku keGR-an. Bukankah semua pria penyajak itu ramah dan idola wanita. Benarkah itu? Benarkah aku keGR-an, atas sikapmu.

Dan sekarang aku merindukanmu

Salam Hangat,

Penikmat Kata
Pria Peramu Kata (5)

Pria Peramu Kata (5)

Dear Kamu,
Apa kabarmu? Pasti baik-baik saja. Beberapa hari ini, aku pandangi Time Linemu penuh dengan kesedihan. Adakah sesuatu yang mengganjalmu.
Biasanya kamu orang yang semangat, tapi yang aku tangkap saat ini hanya kesedihan.
Aku tak suka, jika kamu seperti itu. Aku merindukanmu yang dulu; ceria. Aku kagum padamu, terutama sajak-sajakmu.
Tetap semangat ya!


Salam Hangat,


Pengagummu

Pria peramu kata (4)

Pria peramu kata (4)

Dear Kamu,

Sudah sebulan ini aku mengenalmu lebih dekat. Bukan seperti pertama kali aku mengagumi hanya lewat timelinemu.


Ingatkah kamu tentang cerita-cerita yang biasa kita perbincangkan? Buatku kamu teman yang menyenangkan dalam berdiskusi, terutama soal tulisan. Darimu aku belajar banyak.


Bolehkah aku lebih mengenalmu lagi?



Salam Hangat,



Pengagummu

Surat Untuk Langit

Surat Untuk Langit

Dear Langit,

Lang, apa kabar dirimu?

Adakah kau merindukanku?

Aku pulang. Sekarang jarak kita tidak lagi terbentang. Sebentar lagi aku bisa kembali menatap mata elangmu itu.


Ada banyak cerita yang ingin aku sampaikan kepadamu. Mau kah kau meluangkan waktumu? Aku ingin kita duduk di tempat biasa, taman kota dengan pemandangan langit lepas. Seperti namamu, langit.


Lang, tunggu aku ya.



Salam hangat,



Venus

Jodoh di tangan siapa?

Jodoh di tangan siapa?

 Kemana…kemana..kemana? Aku harus mencari di mana?



Penggalan lagu dari Ayu Ting Ting di atas tiba-tiba menggelitik benak saya untuk menulis tentang jodoh. Kenapa tentang jodoh? Menurut saya, urusan mencari pasangan masih saja menarik untuk dibicarakan.


Di era modern ini, masih ada sebagian orang yang masih saja diributkan tentang urusan jodoh. Terutama yang masih dalam status melajang, saya salah satunya. Bukan bermaksud untuk curhat.


Saya adalah tipikal wanita yang menunggu. Artinya saya akan pasif menunggu hingga kelak pangeran impian saya datang menjemput saya. Memang terlihat akan menjemukan, tapi entah mengapa saya lebih nyaman menunggu. Bukanlah dalam agama juga telah disebutkan bahwa sebelum roh kita ditiupkan segala urusan jodoh, rejeki dan kematian sudah tertulis di dalamnya. Jadi, menurut saya tidak ada salahnya menunggu, mungkin saja saat ini Tuhan sedang mempersiapkan dia agar datang di waktu yang tepat.


Seorang teman pernah berkata pada saya, “Jodoh itu memang di tangan Tuhan, Mbak. Tapi kalau nggak dicari juga nggak bakalan datang.”


Pernyataan teman saya membuat saya sedikit berpikir. Mungkinkah Tuhan tidak menggariskan kita dengan ‘Siapa’ tapi lebih dengan pilihan kita sendiri yang kemudian disetujui oleh Tuhan. Karena kalau Tuhan memang telah mentakdirkan dengan siapa, lalu kenapa masih saja ada yang namanya cinta kedua, ketiga dan seterusnya. Bahkan saat kita sudah dalam bahtera pernikahan.


 

“Jadi, Temukanlah jodohmu, dan biarkan Tuhan yang mengaturnya”