kecewa
Ketika kau tak lagi ingin mempertahankan semua rasa
Kenapa harus aku yang melakukan?
Jika kau sudah tak ingin semuanya kembali
Segampang inikah caramu?
Sungguh aku kecewa
Ad Placement
Ndri, Paman titip Ningsih ya. Soalnya kalau sekolah di Desa. Paling banter dia cuman jadi lulusan SMP. Kamu tahu kan kalau di desaku itu sekolah cuman sampe SMP aja,” pesan Pamanku–Rudi sebelum naik ke dalam kereta.
“Iya Paman, Insya Allah saya dan Mila akan berusaha menjaga Ningsih dengan baik.”
“Paman percayakan Ningsih sama kalian ya Ndri. Paman ingin Ningsih bisa jadi orang sukses yang taat pada jalan Allah seperti kamu dan Mila.”
“Insya Allah Paman, kami akan jaga Ningsih sebisa mungkin.”
“Ya, sudah kalau gitu. Paman berangkat dulu.”
“Hati-hati, Paman.
Sejak hari itu Ningsih, keponakanku itu secara resmi tinggal bersama kami.
Aku dan Mila adalah seorang pekerja kantoran dengan jam kerja yang lumayan sibuk. Kami berdua baru sampai di rumah menjelang malam, bahkan kalau lemburnya gila-gilaan bisa hingga dini hari. Hal inilah yang mungkin menyebabkan kami susah untuk mendapatkan momongan. Sampai menginjak tiga tahun pernikahan, kami belum direstui untuk memiliki momongan.
Mengajak Ningsih untuk tinggal bersama kami adalah rencana awal dari Mila. Kata dia rumah ini terlalu sepi, dan kebetulan pamanku sedang mengalami kendala ekonomi untuk menyekolahkan anaknya. Akhirnya kami memutuskan untuk membantu menyekolahkan Ningsih.
****
Pagi-pagi benar, aku sudah siap-siap untuk berangkat kerja. Mila—istriku masih tertidur pulas. Aku tidak tega untuk membangunkannya, karena dia baru saja tertidur setelah lembur mengerjakan tugas-tugas kantor.
“Sarapan dulu, Pak,” Mbok Nah—asisten rumah tanggaku muncul dari dapur.
“Maaf Mbok, saya sudah buru-buru. Tolong nanti si Mbok bantuin Ningsih naik kendaraan umum ya, soalnya dia masih belum paham jalur-jalurnya.”
“Baik, Pak,” jawab Mbok Nah khidmad.
Aku pun dengan langkah terburu-terburu menuju di mana mobil kesayanganku terparkir.
****
“Pak, hari ini mbak Ningsih pulangnya malam. Pas saya tanya darimana, dia malah marah,” lapor mbok Nah saat aku dan Mila baru saja datang.
Belakangan ini pekerjaanku dan Mila sangat sibuk. Kami pun hanya sebentar di rumah kemudian kembali lagi ke kantor bahkan tidak jarang kami harus ke luar untuk ketemu klien. Kami hampir tak pernah bertemu Ningsih untuk sekedar menanyakan kabarnya.
Laporan dari mbok Nah sedikit meresahkanku. Ini sudah kesekian kalinya aku mendengar Ningsih pulang malam. Apa yang dilakukan gadis itu di luar sana.
“Ah, Ningsih kan sudah besar, Mas. Dia pasti bisa menjaga dirinya.” kata Mila saat kuutarakan kekhawatiranku.
“Ningsih…. Ning… Kamu sudah tidur?” Mila mengetuk kamar Ningsih.
Tak ada jawaban.
“Mungkin dia sudah tidur, Yang. Sudahlah, besok pagi saja kita coba bicara sama dia” ujarku sambil menggamit tangan Mila, mengajaknya ke kamar kami.
Tiba-tiba telepon rumah berbunyi. Aneh, jam segini ada yang menelpon.
“Halo.”
“Halo, ini Hendri? Ini paman, Ndri. Paman Rudi.”
“Wah iya paman. Ada apa menelpon malam-malam begini.”
“Nggak, aku cuma ingin menanyakan kabar Ningsih. Dia baik-baik aja kan? Ini lho tantemu khawatir, tiba-tiba kok kepikiran Ningsih katanya. Mana handphonenya nggak bisa ditelpon.”
“Baik paman. Sepertinya Ningsih sedang tidur. Saya dan Mila barusan pulang.”
“Ooo ya sudah kalau gitu. Besok pagi tolong suruh Ningsih telpon kami ya.”
“Oya Ndri, apa kamu tahu Ningsih ada masalah atau tidak? Belakangan ini sepertinya dia berubah. Seperti nggak suka kalau kami telpon dan sering marah. Nggak biasanya Ningsih begitu.”
“Ah, masa paman. Setahu saya Ningsih baik-baik saja kok. Saya dan Mila memang nggak bisa terus memperhatikan, tapi ada mbok Nah yang mengawasi Ningsih.”
“Ya wis Ndri, titip-titip Ningsih ya. Paman tahu kamu dan Mila orang sibuk, tapi tolong jaga Ningsih ya Ndri. Anak kampung pergi ke Jakarta, takutnya kenapa-kenapa. Apalagi di Jakarta banyak narkoba, pergaulan yang nggak bagus” pesan Paman mengakhiri pembicaraan kami.
Sudah 6 bulan Ningsih tinggal bersama aku dan Mila, selama itu mungkin benar-benar hanya dalam hitungan jari kami menghabiskan waktu bertiga. Tiba-tiba aku tercekat, kalau menjaga dan mengawasi keponakan saja aku tidak punya waktu. Bagaimana jika kelak kami punya anak sendiri, pikirku resah.
“Halo” sayup-sayup kudengar Mila menjawab panggilan di telepon genggamnya.
“Apa? Ningsih? Ini siapa? Di mana?” ujar Mila, panik. Aku segera bergegas menghampirinya.
“Ningsih, Mas. Ada di UGD rumah sakit Delima. Katanya over dosis narkoba. Itu tadi suster yang telepon. Ayo kita ke sana” buru Mila.
Kami bergegas menuju rumah sakit. Seribu penyesalan berkecamuk di benakku. Terbayang Ningsih terbaring tak sadar di rumah sakit, terngiang juga perkataan Paman saat meminta kami menjaga Ningsih.
Duh, Gusti. Kenapa bisa begini. Maafkan kami lalai menjaga titipanMu. Tak bisa memegang kepercayaan yang diberikan orang kepada kami.
Mila menangis tersedu di sampingku. Aku tahu dia memiliki penyesalan yang sama denganku. Dalam mobil yang kupacu kencang di tengah gelapnya pagi, aku cuma bisa berdoa. “Semoga belum terlambat. Semoga Tuhan berkenan memberikan kami kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan ini. Semoga Ningsih bisa diselamatkan.”
Cerita ini dibuat untuk #20HariNulisDuet oleh @alfakurnia dan @child_smurf
Matahari masih setengah muncul—malu-malu. Sinarnya yang belum menyengat menilik lewat sela-sela jendela kamarku, hangat. Aku membuka mata. Refleks tanganku meraba-raba ruang di sampingku lalu bernafas lega. Lelaki itu masih ada di sana. Aku tolehkan kepala untuk melihatnya, dia terlihat masih lelap dalam tidurnya yang entah bermimpi apa.
Perlahan aku meringsut turun dari ranjang menuju dapur. Mengeluarkan dua mug bertuliskan ‘aku’ dan ‘kamu’
Aku mengisi teko dengan sedikit air dan kemudian memanaskannya sebentar. Sambil menunggu air mendidih, tanganku membuka dua sachet kopi instan kesukaanmu.
“Selamat pagi ucapku menyemangati diri sendiri sambil membuka jendela dapur. Hidungku mencium aroma wangi bunga Lili yang kelopaknya tampak segar, baru merekah. Potnya yang berwarna ungu tampak kontras dengan putihnya. Aku sengaja menaruh bunga lili itu di dekat jendela, agar dapur kami terlihat lebih hidup.
Aku mengikat rambutku, mengambil air yang telah mendidih; menuangkannya ke dalam mug yang telah aku persiapkan. Urusan menyeduh kopi pun telah selesai. Aku mengeluarkan wajan anti lengket, menyiapkan sarapan untuk lelakiku yang masih tertidur lelap.
Lelakiku adalah tipe rumahan, dan sarapan adalah sesuatu yang wajib untuk disediakan setiap pagi. Hmm..sepertinya nasi goreng cukup sempurna untuk sarapan pagi ini. Sambil bersenandung kecil, aku menyelesaikan acara memasakku.
Tak berapa lama kemudian aku sudah keluar dari dapur membawa dua buah piring nasi goreng yang masih mengepul. Aku menata meja mungilku. Meletakan dua buah piring nasi goreng dan dua gelas kopi yang asapnya masih mengepul. Saatnya membangunkan dia.
“Sayang, sarapan yuk,” panggilku sambil membuka tirai-tirai yang masih menutupi kamar kami.
“Hmm…” hanya gumaman yang keluar dari mulutnya. Matanya tetap terpejam, dia menggeliat. Ah, seperti biasa lelakiku memang manja.
Aku menghampirinya, menepuk pundaknya sekali lagi, “Yank, bangun yuk.” Dia diam tak menjawab. Gemas dengan tingkahnya aku semakin maju untuk mendekatinya, dan tiba-tiba..
Dia membuka mata—tersenyum dan merengkuhku dalam pelukannya yang kokoh.
“Aku masih ngantuk,” jawabnya sambil memelukku dengan erat.
Aku merona, jantungku berdegub kencang. Ingin aku mengelak dari pelukannya, tapi percuma karena dia semakin merengkuhku dalam dadanya. Tiba-tiba dia membuka mata, mengecup bibirku dengan perlahan sambil berbisik, “Selamat pagi matahariku.”
Sayup-sayup terdengar suara pintu di ketuk. Dengan malas aku bangkit dari dada lelakiku sambil menggerutu.
“Cepat bangun, nanti sarapan dan mochacino favoritmu keburu dingin,” ingatku untuk kesekian kali padanya sambil merengut dan berlari ke pintu.
Siapa gerangan yang bertandang sepagi ini?
Sambil membuka pintu, sudut mataku menangkap lelakiku bertelanjang dada melangkah malas menuju ke dapur. Senyumku terbit melihat tingkahnya.
****
Pintu terbuka, senyuman lebar khas Ama, sahabatku, tersuguh sehangat mentari. Di tangannya sekeranjang apel tampak ranum bertumpuk. Ku ambil sebuah yang paling atas dan beranjak masuk meninggalkan Ama di belakang. Sahabatku ini tak perlu dipersilakan, rumah ini seperti rumah keduanya.
Benar dugaanku, di belakangku, pintu berdebam tertutup dan suara Ama terdengar menggerutu “Tuan rumah macam apa yang tidak mempersilakan tamunya masuk sehabis merampok apel yang dia bawa, tidak benar ini"
:Gumaman Ama terhenti seiring dengan hidungnya yang kembang kempis. “Hey, Sya. Bau enak ini, haaseeekkk nasssii goreeeeng . Tanpa basa-basi dia menghambur ke dapur, melibasku yang terjengkang selangkah ke belakang.
Sialan" teriakku sambil tertawa.
Mataku mencari-cari sosok lelakiku, tidak ada. Ah, mungkin dia sedang di kamar mandi membersihkan dirinya terlebih dahulu. Sambil sibuk mengunyah apel yang tinggal separuh, ku towel pipi Ama
"Ma, tunggu sebentar. Makannya bareng-bareng aja" ucapku sambil mengedipkan mata. Gerakan Ama menyendok nasi goreng ke piringnya terhenti di udara
“Eh, kamu nunggu teman ya. Okey deh, aku cuma mau icip aja" sesendok besar nasi goreng masuk ke mulutnya. Matanya yang terpejam-pejam keenakan tiba-tiba tertahan pada dua cangkir mochacino hangat yang kuletakkan di ujung meja, alisnya berkerut. Diletakkannya sendok ke piring sambil memandangiku, mulai heran
"Sya, kamu sama sapa? Ada yang nginap di sini ya ?
Aku menggeleng.
“Lantas kopi ini buat sapa? Kok ada dua begini?" tanya Ama heran.
Buat Satria, jawabku dalam hati. Ama gimana sih. Masak sama status teman sendiri lupa.
"Sya, kok malah bengong sih?” Ama memanggilku.
"Hah?" jawabku kaget.
"Tu, kan malah melamun. Sini..duduk yuk kita sarapan."
Aku menarik kursi--duduk di depan Ama yang sedang lahap dengan nasi goreng dihadapannya. Aku diam--memandang makanan di depanku. Ada rasa tidak rela melihat Ama menghabiskan makanan yang telah aku siapkan untuk lelakiku.
Kemana sih, kok dia belum muncul juga? Jangan-jangan dia tahu bahwa ada Ama. Maaf ya sayang, aku tidak tahu bahwa Ama akan datang sepagi ini dan merusak sarapan kita.
"Sya, kok nggak dimakan? Kamu kenapa sih?."
"Nggak apa-apa. Aku BT sama kamu. Pagi-pagi sudah ngerampok makanan orang," jawabku sebal.
"Aku tadi telp, hapemu nggak aktif. Ya, sudah kamu aku kesini saja,” Ama member penjelasan dengan nada tidak jelas.
"Baterenya lowbat, lupa di charge," jawabku sambil menyesap mochanino di hadapanku.
“Astaga, Sya. Jadi kamu nggak rela kalau makanan ini aku makan?"
Aku menggeleng.
Makanan itu bukan buat kamu tapi buat Satria.
"Sya, jangan bilang kalau makanan ini kamu siapkan buat...?" Ama tidak melanjutkan kata-katanya
Aku mengangguk.
Air mata mulai berhamburan dari kedua pelupuk mataku. Ama diam sambil mengenggam tanganku dari seberang meja. Bibirnya terkatup rapat.
Tangisku semakin menjadi, hangatnya genggaman Ama menamparku telak, membangunkanku dari mimpi. Tiba-tiba hatiku seperti diremas oleh ribuan tangan, sakitnyaa tidak tertahankan. Sakit yang sama ketika aku mendengar tentang kecelakaan Satria. Dan rasa sakit yang sama ketika aku terjerembab di atas pusara bertanah merah bertuliskan namanya.
Sakit ini tidak bisa kau bahasakan. Hatiku ternyata tidak pernah benar-benar bisa melepaskannya.
Ya…Satria sudah tiada.
Di sudut sana foto Satria tersenyum manis sedang memandangku dari kejauhan.
In the arms of the angel,
Fly away from here,
From this dark,cold hotel room,
And the endlessness that you feel
You are pulled from the wreckage,
Of your silence reverie.
You're in the arms of the angel,
May you find some comfort here.
(Angel-Sarah Mclean)
Hasil Tulisan duet antara @child_smurf dan @alithdqueen
Ad Placement