Perasaan
Aku sedang tak ingin bermain-main dengan perasaanku. Hatikulah kelak yang akan menjadi taruhannya.
Sepasang Senja
Kita adalah sepasang senja
yang semburatnya selalu di nanti
waktu seringkali tak berpihak
karena dengan cepatnya senja merangkak pergi
terusir oleh pekatnya malam
Kita adalah sepasang senja
hadirnya selalu ditunggu
namun cepat berlalu
sama seperti kenangan; usang kala semua berakhir
adakah senja yang selalu dinanti?
bahkan hingga gelap mencuri semburatnya.
Surabaya, 16 juli 2012
Kringgggg, sebuah surat untukmu
Dear Kamu,
Nggak tahu harus nulis apaan? Kata-kataku sudah hilang sebelum aku tuliskan padamu.
Satu kata saja...
Aku rindu
Salam Hangat,
Aku
Mencintaimu dengan sederhana
Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana
menjadi seseorang yang selalu ada
Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana
seperti arakan awan yang selalu setia pada langit
Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana
cukup dengan melihatmu bahagia
Kelak, aku ingin jemari kita bertautan di depan Tuhan
Kecewa
kenapa harus seperti ini?
Bahkan sebelum takdir membiarkan jemari kita bertautan
mimpi-mimpi kecil pun belum sempat kita jelang...
Salahkah aku?
Masihkah kau ragu?
Harus seperti apa aku bersikap?
Begitu kecilkah pengorbanan yang telah aku berikan.
Katamu cinta itu tanpa pamrih
Lalu, kenapa kau hitung semua apa yang telah aku lakukan?
Ah, sudahlah...
Sepertinya takdir ingin kita berlawanan arah
bukan beriringan
Biarlah rotasi ini menentukan jalannya
Jalanmu; jalanku.
Sudut
Berkali-kali aku melirik jam di pergelangan tanganku dengan gelisah. Sudah sejam aku di sini, sendiri.
Aku mengangkat cangkir kopiku yang panasnya telah menguap.. Getir, rasa itulah yang kini tertinggal di lidah dan juga –hatiku.
Setiap pintu resto ini terbuka, secara spontan pandanganku mengarah ke sana, tapi tak juga aku temukan sosoknya.
“Sudah siap pesan, Mbak?” seorang pelayan kembali menghampiri mejaku.
“Belum, Mbak. Saya masih menunggu teman,” ujarku.
“Baiklah, jika nanti sudah siap. Silahkan panggil saya,” ucapnya dan kemudian berlalu dari hadapanku. Sekilas aku mendengar helaan napas dari mulut sang pelayan.
Aku merogoh ke dalam tasku, mengambil sebuah cermin kecil. Aku memastikan tidak ada noda di riasanku kali ini. Aku ingin tampil sempurna di hadapannya nanti.
Makan malam kali ini semacam perayaan hubungan kami berdua, dan aku lebih suka merayakannya dengan sederhana. Tidak ada lilin, bunga-bunga atau pun kado mewah.
********
13 Februari 2012
Di sudut ini, pertama kali bertemu. Saat itu aku sedang asyik menikmati kesendirianku dengan sebuah buku di tangan. Dia datang tergopoh-gopoh. Tubuhnya basah kuyup terkena hujan, dan wajahnya terlihat kebingungan mencari tempat kosong.
Hari itu restoran ini sangat ramai, beberapa dari mereka lebih menunggu hujan reda. Entah apa yang membuatku berinisiatif untuk mengajaknya bergabung denganku.
“Hai, tempat ini kosong,” ujarku.
Dia menoleh ke arahku, aku menangkap sebuah keraguan dari raut wajahnya. “Silahkan, aku hanya sendiri,” ujarku sekali lagi.
Dia tersenyum dan duduk di hadapanku. Beberapa detik kami bertatapan, selanjutnya kami larut dalam sebuah pembicaraan panjang.
********
Aku masih saja terpaku, ketika lampu-lampu Kristal mulai dipadamkan. Perasaanku sedang tidak menentu. Sedih, marah, kecewa semua bercampur menghasilkan sebuah rasa sakit yang tak terbatas. Seberapa kuat aku menahan tangisku, nyatanya beberapa bulir air mata sudah mendesak keluar.
“Maaf, Mbak. Kami sudah mau tutup,” seorang pelayan menghampiriku.
Aku mendongak, “Bolehkah saya menunggu beberapa saat lagi? Mungkin dia sedang terjebak macet,” ujarku terisak.
“Baiklah, beberapa menit lagi.”
Sudut yang berbeda
“Wanita itu datang lagi?” bisik seorang perempuan muda
“Iya. Sejak tadi dia hanya terpaku. Entah siapa yang di nanti?” jawab seorang wanita di sampingnya.
“Sepertinya dia menanti seseorang, tapi kok aku nggak pernah melihat temannya, ya?” seorang pria yang baru datang menimpali.
“Entahlah. Aku kasihan melihatnya. Hampir setiap bulan, wanita itu selalu datang. ”
“Dia nggak gila kan?” Tanya wanita bertubuh tambun.
“Huss, jangan gosip yang aneh-aneh. Sepertinya dia baru saja kehilangan seseorang yang dia cintai. Sudahlah, ayo kita kerja lagi. Nanti Pak Budi marah.”
Tiba-tiba saja ruangan itu menjadi senyap.
Jenuh
Berungkali aku tepis semua rasa ini. Tapi, tetap saja menjejak dalam hatiku. Tak pernah aku pahami mengenai semua ini.
Aku mencoba mencari jawabannya, tapi tetap saja berakhir dengan rasa yang sama.
Aku jenuh; pada kamu.