One night
Aku masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana Evan menciumku semalam. Tanpa persiapan apapun, tiba-tiba saja lelaki itu mendaratkan bibirnya di atas lipatan bibirku. Lembut. Dan, aku hanya bisa memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan bibirnya bergumul, mengecup permukaan bibirku, lalu tanpa sadar kedua tanganku sudah memeluk lehernya erat. Kami berdua hanyut malam itu.
Pagi ini, ketika aku terbangun. Hal kali pertama yang aku ingat adalah aroma bibir Evan yang masih menempel di bibirku. Aroma tembakau. Lelaki itu adalah seorang perokok, jadi wajar saja jika aroma tembakau menguar dari bibirnya. Sejenak, aku tersenyum sendiri lalu meraba pipinya yang mulai memanas. Mengingat Evan, seluruh tubuhku memanas.
Hubungan kami baru seumur jagung, jadi wajar kalau cinta itu masih terasa hangat-hangatnya. Seringkali aku merasakan gempa kecil di dada dan perutku. Kemudian, pualam pipi yang merona saat lelaki itu menyentuhkan buku-buku jemarinya di pipiku. Ah, Evan memang pandai memperlakukan wanita.
Lamat-lamat kudengar suara ponsel berdering. Aku masih yang terduduk di pinggiran tempat tidur spontan berdiri. Mencari di mana ponsel kecil itu berada. Di saat dibutuhkan begini benda itu mendadak menyembunyikan diri. Aku mencoba mengingat-ingat di mana aku meletakkannya semalam. Ah, akhirnya aku ingat. Semalam aku dan Evan berkirim pesan singkat hingga malam, dan tentu saja ponsel itu pasti berada di atas tempat tidurku. Aku membolak-balik selimut, bantal, dan juga guling yang berserakan. Akhirnya, kutemukan juga benda yang sedang berkedip-kedip. Aku tersenyum. Nama Evan tertera di sana.
"Hallo." Aku berjalan ke dekat jendela. Menyingkap sedikit tirai yang menutup kaca jendela kamarku.
"Ka, bisa kita bertemu hari ini?" sambut Evan tanpa membalas sapaanku.
Ada perasaaan tidak nyaman saat Evan tak membalas sapaanku dan mendadak ingin bertemu. Padahal semalam kami sudah makan malam bersama, lalu dilanjutkan dengan saling berkirim pesan hingga larut malam. Apa sesuatu telah terjadi?
Aku menggelengkan kepala, membuang semua pemikiran negatif dari benakku saat ini. Mungkin saja Evan memang ingin bertemu denganku saja. Bukankah wajar jika yang namanya kasmaran selalu ingin bertemu. "Bisa, kita mau ketemuan di mana?" tanyaku.
"Di tempat biasa pukul 15.00."
***
"Aku ingin semua ini berakhir, Inka." Suara berat Evan melindap di gendang telingaku.
Aku mendongak. Menatap pada dua buah manik mata hitam yang biasa menelanjangi diriku. Lelaki itu tertunduk. Hatiku terasa diremas-remas. Ini bukan Evan yang biasa menatapku dalam-dalam.
Aku merasakan firasat buruk.
"Kenapa Evan?" tanyaku dengan nada setenang mungkin.
"Aku tak bisa menjanjikan apa pun padamu," jawab Evan lirih.
Jawaban macam apa ini?
"Aku tak pernah memintamu menjadikanku yang pertama," aku meraih jemarinya. Mencari sisa kehangatan di buku-buku jemarinya.
Evan membalas remasanku pelan. "Aku tak mau menyakitimu lebih lama lagi, Inka."
Aku mencebik.
Aku sudah mempersiapkan hatiku jauh-jauh hari untuk kausakiti sejak kita bertemu dalam keadaan tidak sadar dalam sebuah kamar tanpa sehelai benang.