Teruntuk Dqueen

Teruntuk Dqueen

teruntuk dqueen




Dear Dqueen,


Hai, apa kabar kabar senja di ujung sana? Masihkan warna langit jingga melintas di sungai mahakam? Atau langit telah berubah menjadi pekat seperti di kotaku.

Tiba-tiba saja, aku tergelitik untuk mengirimkan sebuah surat untukmu. Ya, mungkin surat ini tak sama dengan surat-surat yang telah kau terima. Tak apalah.

Kamu sadar nggak, Dear? Kalau pertemuan kita seperti ditakdirkan oleh Tuhan.  Ya, kurasa Tuhan telah mengatur segalanya. Membuat pertemuan pertama kita di rumah jingga, lalu tanpa sadar telah menyambungkan ikatan hati di antara kita.

 Terkadang merasa geli, ketika tahu bahwa ternyata kita memiliki banyak kesamaan terlebih soal selera. Dan kamu suka berbagi banyak hal kepadaku, tentang sesuatu yang tak pernah aku tahu sebelumnya.

Masih ingat percakapan kita di suatu sore, saat secara bersamaan kita memasang gambar yang sama sebagai profil BB?

"Kita ini saudara, tapi dilahirkan dari rahim yang berbeda," katamu sore itu. Lalu, kita sama-sama memasang emo ketawa dan pelukan.

Hei, Dear.

Tahukah kamu, bahwa aku mengagumi karya-karyamu itu. Menunggu setiap barisan kata yang kau rangkai. Lalu, diam-diam mencoba meniru caramu bertutur.

 Terima kasih atas semuanya --persahabatan kita. Semoga, kelak Tuhan benar-benar mempertemukan kita seperti mimpi yang pernah aku ceritakan kepadamu.

Aku sudahi suratku, lain kali kan kukirimkan lagi surat untukmu

Salam hangat,


Saudara (tidak) kembar


Cuti sakit hati

Cuti sakit hati

"Anda yakin mau melakukan ini?" tanya seseorang pria berpakaian hijau yang mengenakan tutup kepala dan juga masker.


Aku mengangguk, walaupun rasa ragu mulai menyergap di dada. Aku tahu, apa yang akan kulakukan ini beresiko tinggi.


"Anda sudah tahu apa efek sampingnya?" tanya pria itu sekali lagi.


 "Iya," jawabku lirih.


"Baiklah, kalau ini yang anda kehendaki. Sebentar lagi, seorang perawat akan mendorong anda ke ruang operasi. Banyaklah berdoa semoga, operasi ini berjalan lancar." Pria bermasker itu menepuk pundakku halus.


Rasa takut mulai membayang-bayangi diriku, ketika seorang perawat wanita mulai mendorong tempat tidurku menuju ruang operasi yang letaknya tidak jauh dari ruang perawatan.


Dadaku berdegub semakin kencang, tak kala kulihat tulisan RUANG OPERASI semakin dekat pelupuk mata.


"Aku ingin semua ini berakhir."


Mendadak ucapan Dani beberapa lalu terngiang-ngiang di benakku. Sedetik rasa takut yang merebak di dada perlahan sirna berganti sebuah keberanian.


Tak apa aku kehilangan ingatan, setidaknya hatiku tidak terlalu sakit lagi.


Orang Ketiga Pertama

Orang Ketiga Pertama

Aku membuka jendela kamarku lebar-lebar, membiarkan angin malam masuk ke dalam. Tak kupedulikan nyamuk yang mungkin mengambil kesempatan untuk masuk ke dalam kamar.


Sayup-sayup terdengar alunan suara Taylor Swift dari ponselku yang sengaja kugunakan untuk pemutar lagu sebagai pemecah kesunyian.


"We are never ever ever getting back together, we are never ever ever getting back together,"   aku ikut menyanyikannya dengan sepenuh hati sambil sesekali melakukan gerakan waltz di jendela.


Aku berjalan ke arah meja, menyambar sebungkus rokok lengkap dengan korek apinya. Kuambil sebatang lalu dengan cepat menyulutnya. Kunikmati setiap hembusan asap yang mulai memenuhi dadaku, lalu dengan cepat kukeluarkan lewat hidung.


Aku memutar arah,  menyandarkan tubuhku di jendela melihat betapa berantakannya kamarku. Di meja bercangkir-cangkir bekas kopi semalam masih berada di atas meja, di samping foto-foto yang tersebar hampir di seluruh penjuru meja.


Aku menarik napas panjang. Aku benar-benar kelelahan, setelah semalaman harus menelanjangi semua foto-foto itu. Mungkin terlihat bodoh, tapi itulah tugas yang diberikan boss besar. Mempelajari semua foto-foto itu, hingga mendapatkan gambaran yang tepat.


Drrt...drrttt


Ponsel di atas mejaku bergetar.  Kurasakan jantungku berdetak cepat, beberapa peluh menetes dari dahiku. Segera kutekan tombol hijau.


"Orang Ketiga Pertama."


Klik..pembicaraan terputus.


Segera kusambar tas hitam yang sejak tadi kuletakkan dekat pintu, dan berjalan keluar kamar dengan tergesa-gesa.


Sekarang waktunya, dan harus tepat sasaran.

Selamat Tuan, kamu telah kehilanganku

Selamat Tuan, kamu telah kehilanganku

Sebut saja aku orang yang sensitif.  Mudah meneteskan air mata, ketika melihat sesuatu yang begitu menyentuh. Tapi, jangan panggil aku cengeng. Sebab, aku hanya menangis saat hatiku ingin menangis.


Ketika aku putus denganmu, lalu kau membayangkan aku akan menangis meraung-raung, meratapi punggungmu yang menjauh itu, tentu kamu salah besar. Aku tak menangis sedikit pun.


Mungkin, terasa perih di hati, tapi sayangnya otak tak menyatukan hati dan mata. Hujan di mataku tak lagi turun hanya untuk menangisi kepergianmu.


Kamu, boleh saja berbangga hati karena mendepakku dari hatimu. Tapi, ingatlah tentang satu hal. Kelak, akulah yang akan menuai garam di atas luka hatimu yang membasah.


Silahkan kau panggil aku pendendam.


Maaf, rasanya terlalu disayangkan jika aku harus membuang waktuku untuk itu.


Selamat, Tuan. Kamu telah kehilanganku :)


im-sorry

Tentang Anak-anak

Tentang Anak-anak

Malam ini, tiba-tiba saja saya ingin membahas sedikit tentang pendidikan anak.


Sebagai pendidik, tentunya ada saja hal yang menggelitik untuk saya bahas. Kali ini, saya lebih menyoroti tentang pendidikan anak usia dini.  Dan, bahasan dalam tulisan ini, saya ambil dari pengalaman diri sehari-hari.


Banyak orang tua yang khawatir, jika anaknya tidak bisa membaca dan menulis. Dibandingkan ananya tak mengenal warna dasar.


Banyak orang tua yang khawatir, jika anaknya tidak bisa membaca dan menulis. Dibandingkan anaknya tidak mengenal bentuk-bentuk dasar.


Banyak orang tua yang khawatir, jika anaknya tidak bisa membaca dan menulis.  Dibandingkan anaknya tidak mengenal dunia luar


Banyak orang tua yang khawatir, jika anaknya tidak bisa membaca dan menulis.  Dibandingkan anaknya tidak tersenyum  dan tidak memiliki rasa ingin tahu.


Hal ini sedikit menganggu buat saya, ketika beberapa orang tua mengambil raport dan saya mengemukakan beberapa permasalahan anak mereka. Dan, hampir semua orang tua bertanya tentang kemampuan membaca dan menulis anaknya :((


Tidakkah mereka peduli terhadap perkembangan yang lain? Bukankah kemampuan membaca dan menulis masih bisa dipelajari, dibandingkan sebuah perilaku atau dunia anak-anak yang takkan pernah terulang lagi


Semuanya kembali kepada anda :)