Pria Peramu Kata (11)

Pria Peramu Kata (11)

Dear Kamu,

 Hai, apa kabar? baik-baik aja khan? Maaf kalau beberapa hari ini aku menghilang. Seperti kataku, aku sedang merentangkan jarak. Mencari tahu tentang perasaanku padaku. Nyatanya hatiku tetap tertuju padamu.


Entahlah, aku sedang tak ingin berharap apa-apa dalam hubungan ini. Mungkin kita hanya dipertemukan tapi tidak untuk beriringan.  Mungkin Tuhan ingin aku sekedar untuk mengagumimu dan kamu hanya menganggapku adek. Bukankah ada kalanya cinta hanya berjalan sendirian.


Kelak, jika memang kita bertemu. Tolong, jangan pernah lagi tanyakan tentang perasaan yang perlahan aku tepiskan.


Salam hangat,


(masih) pengagummu

Sebuah tawaran

Sebuah tawaran

"Pak, gimana berminat dengan tawaran saya?”


“Saya pikir-pikir dulu deh, Pak.”  Ujar Budi  dengan nada bimbang.


“Nggak usah banyak dipikir, Pak. Sampeyan percaya saja sama omongan saya, dijamin Bapak nggak bakalan rugi.” Lelaki berjaket hitam itu kembali berbicara.


“Nanti Bapak saya hubungi lagi deh, saya mesti koordinasi sama istri dulu.”


“Ya, sudah. Kalau nanti Pak Budi berubah pikiran. Segera hubungi saya, karena penawaran ini hanya khusus saya berikan pada orang yang saya kenal.”


Pria berjaket hitam itu pun berlalu, meninggalkan Budi dengan penuh kebimbangan.


*****


“Bu, bapak bisa ngomong sesuatu?”


“Ngomong opo to, Pak? Kok pake ijin segala,” ujar istrinya yang sedang asyik menikmati tayangan sinetron di TV.


“Ibu tahu Rudi kan?”


“Rudi yang rumahnya di ujung jalan itu ya? Memangnya kenapa dengan dia, Pak?” ujar bu Tari dengan pandangan mata tetap ke arah TV.


Budi geleng-geleng melihat sikap istrinya, sejak tadi diajak bicara, tapi pandangan matanya masih tertuju ada layar TV.


“Rudi nawarin kerja sama.”


“Kerja sama dalam bentuk apa?” Tari menoleh ke arah suaminya.


“Investasi dengan modal kecil, tapi hasilnya menggiurkan, Bu. Rudi aja gara-gara ikutan investasi itu bisa beli sepeda motor nggak pake kredit,” dengan semangat Budi menjelaskan pada istrinya.


“Bapak yakin mau ikutan? Kok sepertinya agak nyeremin, Pak,” ujar Tari khawatir.


“Ibu tenang saja, Rudi itu bisa dipercaya kok. Lagian modalnya nggak banyak-banyak amat,”


“Tapi, sepuluh juta bukan uang sedikit, Pak. Sebentar lagi Dio mau masuk sekolah loh,” Tari mengingatkan suaminya.


“Ibu, yakin deh sama bapak. Pokoknya uang itu pasti kembali dan masih bisa buat uang sekolah Dio nantinya.”


“Terserah Bapak ajalah, Ibu nggak ngerti soal begituan. Ya, sudah Pak. Ibu mau tidur dulu sudah ngantuk,”


Sepeninggal istrinya Budi tersenyum-senyum. Dengan semangat dia mengambil telepon genggamnya dan menekan sebuah nomor.


“Aku jadi ikutan, besok uangnya aku kasih.”


*****


Seminggu Kemudian


Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar servis area. Silahkan menghubungi kembali nanti.


Berkali-kali Budi mencoba menghubungi nomor yang tertera di kertas yang sedang dia genggam, tapi jawabannya tetap sama. Nomor itu tidak bisa dihubungi.


Cemas mulai menghantuinya, sudah seminggu ini dia berusaha menghubungi Rudi. Nyatanya nomor Rudi tidak pernah aktif.


Budi ingat akan janji Rudi yang segera menghubunginya ketika bisnis yang mereka sepakati berhasil, nyatanya sampai hari ini janji itu tak kunjungi ditepati.


  Beberapa kali Utari menanyakan perihal uang itu, tapi Budi selalu mengatakan bahwa uang itu aman dan akan segera kembali. Budi tidak pernah menceritakan kepada istrinya bahwa dia sedang kesulitan mengontak Rudi.


Sekali lagi dia mencoba menghubungi nomor Rudi, hasilnya nihil. Nomor itu tetap tidak aktif. Dengan perasaan gelisah Budi berinisiatif untuk mendatangi rumah Rudi.


Belum juga sampai di depan rumahnya, seluruh persendian Budi melemas ketika diam mendapati sebuah  plang kayu bertuliskan.


Rumah dijual.


Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dia katakan pada istrinya. Dalam hati dia merutuki kebodohannya yang begitu saja percaya pada Rudi.


Proyek: Writer Challenge

Ketika Kamu Membuka Hati

Ketika Kamu Membuka Hati


Ketika kamu membuka hatimu untuk orang lain, bersiaplah mereka akan melukaimu




Dalam sebuah hubungan, entah itu sepasang kekasih, pernikahan, pertemanan, rekan kerja atau bahkan keluarga.  Pasti akan ada suatu masa di mana kita merasa sakit karena perlakuan orang lain.


Ada kalanya kita berselisih paham, berbeda pandangan atau bahkan dikhianati kepercayaannya. Luka di hati pasti ada.


Kalau ditanya seberapa sering aku terluka, jawabannya sering.  Entah mengapa, aku adalah orang yang cepat percaya terhadap orang lain, dan sayangnya mereka seringkali memanfaatkan kelemahanku.


Prinsip Hidupku:




Kalau mereka jahat padaku, aku bisa saja lebih jahat pada mereka. Sayangnya, aku lebih memilih memaafkan, karena aku tak mau hatiku dipenuhi oleh kebencian. Urusan yang lain aku serahkan pada Allah, karena Dia yang pantas memutuskan.



Intinya aku tak mau membiarkan hatiku diliputi dendam yang akhirnya hanya semakin menyakitiku.

(masih) tentangmu

(masih) tentangmu

Masih saja tentangmu


tentang kamu; pencuri hatiku


kamu seperti semacam candu yang tak habis untuk aku perbincangkan


Lihat semua larik-larik puisiku,


memang masih tentang kamu


karena kamu telah meracuni benakku


Sebentar saja

Sebentar saja


Sebentar saja


Ijinkan aku di sampingmu


Sebentar saja


Kita nikmati semua rasa yang tersisa


Sebentar saja


Biarkan diam menemani kita


Sebentar saja


Aku rebahkan diriku di bahumu


Sebentar saja


Hanya sebentar


Karena aku harus segera bergegas pergi




Waktu terus berjalan, dan aku tak mau menunggu


Pria Peramu Kata (10)

Pria Peramu Kata (10)

Dear Kamu,

Ini adalah surat ke-10 yang aku tujukan kepadamu. Sebuah surat sederhana yang masih berisi tentang kamu, dan selalu kamu.


Kalau kamu bertanya sampai kapan aku akan menulis surat untukmu, jawabannya sampai aku lelah untuk mengagumimu.


Beberapa hari ini aku memang sengaja tak ingin berlama-lama mengobrol denganmu, bukan aku marah ataupun jenuh. Aku hanya ingin sekedar melebarkan jarak, agar kelak ketika kamu tak lagi membutuhkanku, aku terluka.


Memang terlihat sangat egois, tapi ini harus aku lakukan. Aku tak mau kembali terluka lagi seperti dulu.  Karena yang aku sadari, aku hanya pengagummu. Penikmat untaian kata di setiap goresan penamu.


Seperti pintaku, aku mau kamu tersenyum :)


Salam Hangat,


Pengagummu