Hanya kamu

Hanya kamu

Hanya kamu yang teringat dalam simpanan ingatan dalam otakku

Hanya kamu yang selalu bisa membuatku tertawa tanpa beban

Hanya kamu yang bisa membuatku bersandar lepas di bahumu

Hanya kamu yang namanya selalu aku ingat dalam mimpiku

 

Hanya kamu...
Sebal

Sebal

Aku menatap sebal pada pria yang tepat berdiri di depanku. Dan seperti biasa dia tidak terpengaruh dengan perubahan raut wajah yang aku tunjukkan. Datar--tanpa emosi.
"Hmm," erangku.
"Kamu marah?" Pertanyaan itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya.
"Apa aku tidak boleh marah?"
"Tentu saja boleh, marah itu salah satu bentuk emosi yang harus dikeluarkan,"jawabmu. "Apa permasalahannya?" Tanyamu sambil melipat tangan di dada.


Arghhh..kenapa pria di depanku ini tidak merasa bahwa dialah sumber dari kemarahanku.


"Cari tahu sendiri." Aku pergi meninggalkan dia





Susah sekali membuat lelaki lebih peka


Berserakan

Berserakan

 Semua rasa yang aku rasakan berserakan

Aku terlepas, terhempas

seketika itu aku dapati semua rasaku untukmu telah luruh

yang tersisa hanya kepingan kecil yang terkadang menyayat lebih tajam

kamu tidak pernah peduli dengan apa yang aku rasa

kamu tidak pernah peduli dengan apa yang aku inginkan

bahkan kamu tak tahu tentang semua perasaanmu padaku

Jika kau bertanya padaku

Aku harus bagaimana

karena aku sendiri tidak bisa menyakinkanmu untuk mengerti aku
Kamu tidak pernah tahu

Kamu tidak pernah tahu

Kamu tidak pernah tahu bagaimana perasaanku
Yang kamu tahu hanya memenuhi egomu saja
Kamu tidak pernah tahu bagaimana perasaanku
Yang kamu tahu hanya kebahagiaanmu sendiri
Kamu tidak pernah tahu seperti apa yang aku inginkan
Yang kamu tahu saat aku tersenyum saja
Kamu tidak pernah tahu berapa banyak air mata yang aku keluarkan
Yang kamu tahu aku harus selalu tersenyum saat dekatmu
kecewa

kecewa

Lelah dengan semua ini
Ketika kau tak lagi ingin mempertahankan semua rasa
Kenapa harus aku yang melakukan?
Jika kau sudah tak ingin semuanya kembali

Segampang inikah caramu?

Sungguh aku kecewa
suatu sore

suatu sore

Mimpi perlahan memudar
Layaknya semburat senja yang perlahan tenggelam gelapnya malam

Akankah ada sinar gemintang yang akan menggantiikan sedihnya malamku?
kamu

kamu

Kamu yang egois
Kamu yang hanya mementingkan dirimu
Kamu yang menyebalkan
Dan kamu yang kerap membuatku menangis
Bagaimana kau tahu

Bagaimana kau tahu

Bagaimana kau tahu isi hatiku?
Kalau kau tak pernah bertanya padaku
Bagaimana kau tahu isi hatiku?
Kalau kau terlalu pengecut tuk bertanya
Bagaimana kau tahu isi hatiku?
Kalau kau terlalu takut untuk mendekatiku
Bagaimana kau tahu isi hatiku?
Kalau kau sendiri tidak paham dengan perasaanmu sendiri

Bagaimana kau tahu isi hatiku?
Kalau kau tak mencoba untuk menyatakan perasaanmu

*terinspirasi dari curhatan teman
Titipan

Titipan

Ndri, Paman titip Ningsih ya. Soalnya kalau sekolah di Desa. Paling banter dia cuman jadi lulusan SMP. Kamu tahu kan kalau di desaku itu sekolah cuman sampe SMP aja,” pesan Pamanku–Rudi sebelum naik ke dalam kereta.


“Iya Paman, Insya Allah saya dan Mila akan berusaha menjaga Ningsih dengan baik.”


“Paman percayakan Ningsih sama kalian ya Ndri. Paman ingin Ningsih bisa jadi orang sukses yang taat pada jalan Allah seperti kamu dan Mila.”


“Insya Allah Paman, kami akan jaga Ningsih sebisa mungkin.”


“Ya, sudah kalau gitu. Paman berangkat dulu.”


“Hati-hati, Paman.


Sejak hari itu Ningsih, keponakanku itu secara resmi tinggal bersama kami.


Aku dan Mila adalah seorang pekerja kantoran dengan jam kerja yang lumayan sibuk. Kami berdua baru sampai di rumah menjelang malam, bahkan kalau lemburnya gila-gilaan bisa hingga dini hari. Hal inilah yang mungkin menyebabkan kami susah untuk mendapatkan momongan. Sampai menginjak tiga tahun pernikahan, kami belum direstui untuk memiliki momongan.


Mengajak Ningsih untuk tinggal bersama kami adalah rencana awal dari Mila. Kata dia rumah ini terlalu sepi, dan kebetulan pamanku sedang mengalami kendala ekonomi untuk menyekolahkan anaknya. Akhirnya kami memutuskan untuk membantu menyekolahkan Ningsih.


****


Pagi-pagi benar, aku sudah siap-siap untuk berangkat kerja. Mila—istriku masih tertidur pulas. Aku tidak tega untuk membangunkannya, karena dia baru saja tertidur setelah lembur mengerjakan tugas-tugas kantor.


“Sarapan dulu, Pak,” Mbok Nah—asisten rumah tanggaku muncul dari dapur.


“Maaf Mbok, saya sudah buru-buru. Tolong nanti si Mbok bantuin Ningsih naik kendaraan umum ya, soalnya dia masih belum paham jalur-jalurnya.”


“Baik, Pak,” jawab Mbok Nah khidmad.


Aku pun dengan langkah terburu-terburu menuju di mana mobil kesayanganku terparkir.


****


“Pak, hari ini mbak Ningsih pulangnya malam. Pas saya tanya darimana, dia malah marah,” lapor mbok Nah saat aku dan Mila baru saja datang.


Belakangan ini pekerjaanku dan Mila sangat sibuk. Kami pun hanya sebentar di rumah kemudian kembali lagi ke kantor bahkan tidak jarang kami harus ke luar untuk ketemu klien. Kami hampir tak pernah bertemu Ningsih untuk sekedar menanyakan kabarnya.


Laporan dari mbok Nah sedikit meresahkanku. Ini sudah kesekian kalinya aku mendengar Ningsih pulang malam. Apa yang dilakukan gadis itu di luar sana.


“Ah, Ningsih kan sudah besar, Mas. Dia pasti bisa menjaga dirinya.” kata Mila saat kuutarakan kekhawatiranku.


“Ningsih…. Ning… Kamu sudah tidur?” Mila mengetuk kamar Ningsih.


Tak ada jawaban.


“Mungkin dia sudah tidur, Yang. Sudahlah, besok pagi saja kita coba bicara sama dia” ujarku sambil menggamit tangan Mila, mengajaknya ke kamar kami.


Tiba-tiba telepon rumah berbunyi. Aneh, jam segini ada yang menelpon.


“Halo.”


“Halo, ini Hendri? Ini paman, Ndri. Paman Rudi.”


“Wah iya paman. Ada apa menelpon malam-malam begini.”


“Nggak, aku cuma ingin menanyakan kabar Ningsih. Dia baik-baik aja kan? Ini lho tantemu khawatir, tiba-tiba kok kepikiran Ningsih katanya. Mana handphonenya nggak bisa ditelpon.”


“Baik paman. Sepertinya Ningsih sedang tidur. Saya dan Mila barusan pulang.”


“Ooo ya sudah kalau gitu. Besok pagi tolong suruh Ningsih telpon kami ya.”


“Oya Ndri, apa kamu tahu Ningsih ada masalah atau tidak? Belakangan ini sepertinya dia berubah. Seperti nggak suka kalau kami telpon dan sering marah. Nggak biasanya Ningsih begitu.”


“Ah, masa paman. Setahu saya Ningsih baik-baik saja kok. Saya dan Mila memang nggak bisa terus memperhatikan, tapi ada mbok Nah yang mengawasi Ningsih.”


“Ya wis Ndri, titip-titip Ningsih ya. Paman tahu kamu dan Mila orang sibuk, tapi tolong jaga Ningsih ya Ndri. Anak kampung pergi ke Jakarta, takutnya kenapa-kenapa. Apalagi di Jakarta banyak narkoba, pergaulan yang nggak bagus” pesan Paman mengakhiri pembicaraan kami.


Sudah 6 bulan Ningsih tinggal bersama aku dan Mila, selama itu mungkin benar-benar hanya dalam hitungan jari kami menghabiskan waktu bertiga. Tiba-tiba aku tercekat, kalau menjaga dan mengawasi keponakan saja aku tidak punya waktu. Bagaimana jika kelak kami punya anak sendiri, pikirku resah.


“Halo” sayup-sayup kudengar Mila menjawab panggilan di telepon genggamnya.


“Apa? Ningsih? Ini siapa? Di mana?” ujar Mila, panik. Aku segera bergegas menghampirinya.


“Ningsih, Mas. Ada di UGD rumah sakit Delima. Katanya over dosis narkoba. Itu tadi suster yang telepon. Ayo kita ke sana” buru Mila.


Kami bergegas menuju rumah sakit. Seribu penyesalan berkecamuk di benakku. Terbayang Ningsih terbaring tak sadar di rumah sakit, terngiang juga perkataan Paman saat meminta kami menjaga Ningsih.


Duh, Gusti. Kenapa bisa begini. Maafkan kami lalai menjaga titipanMu. Tak bisa memegang kepercayaan yang diberikan orang kepada kami.


Mila menangis tersedu di sampingku. Aku tahu dia memiliki penyesalan yang sama denganku. Dalam mobil yang kupacu kencang di tengah gelapnya pagi, aku cuma bisa berdoa. “Semoga belum terlambat. Semoga Tuhan berkenan memberikan kami kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan ini. Semoga Ningsih bisa diselamatkan.”


Cerita ini dibuat untuk #20HariNulisDuet oleh @alfakurnia dan @child_smurf

Lepaskan

Lepaskan

Biarkan aku pergi...

Biarkan aku terbang menjauh darimu

Melepas semua rasa yang telah tercipta

 

Aku sadar rasa itu sudah terlanjur dalam

mengendap

menumpuk di dalam hatiku

 

Aku tahu ini susah

 

Lepaskan aku

 

karena aku tak mau menjadi yang kedua
Dalam Bayangan

Dalam Bayangan



 


Matahari masih setengah muncul—malu-malu. Sinarnya yang belum menyengat menilik lewat sela-sela jendela kamarku, hangat. Aku membuka mata. Refleks tanganku meraba-raba ruang di sampingku lalu bernafas lega. Lelaki itu masih ada di sana. Aku tolehkan kepala untuk melihatnya, dia terlihat masih lelap dalam tidurnya yang entah bermimpi apa.


Perlahan aku meringsut turun dari ranjang menuju dapur. Mengeluarkan dua mug bertuliskan ‘aku’ dan ‘kamu’


Aku mengisi teko dengan sedikit air dan kemudian memanaskannya sebentar. Sambil menunggu air mendidih, tanganku membuka dua sachet kopi instan kesukaanmu.


“Selamat pagi ucapku menyemangati diri sendiri sambil membuka jendela dapur. Hidungku mencium aroma wangi bunga Lili yang kelopaknya tampak segar, baru merekah. Potnya yang berwarna ungu tampak kontras dengan putihnya. Aku sengaja menaruh bunga lili itu di dekat jendela, agar dapur kami terlihat  lebih hidup.


Aku mengikat rambutku, mengambil air yang telah mendidih; menuangkannya ke dalam mug yang telah aku persiapkan. Urusan menyeduh kopi pun telah selesai. Aku mengeluarkan wajan anti lengket, menyiapkan sarapan untuk lelakiku yang masih tertidur lelap.


Lelakiku adalah tipe rumahan, dan sarapan adalah sesuatu yang wajib untuk disediakan setiap pagi.  Hmm..sepertinya nasi goreng cukup sempurna untuk sarapan pagi ini. Sambil bersenandung kecil, aku menyelesaikan acara memasakku.


Tak berapa lama kemudian aku sudah keluar dari dapur membawa dua buah piring nasi goreng yang masih mengepul. Aku menata meja mungilku. Meletakan dua buah piring nasi goreng dan dua gelas kopi yang asapnya masih mengepul. Saatnya membangunkan dia.


“Sayang, sarapan yuk,” panggilku sambil membuka tirai-tirai yang masih menutupi kamar kami.


“Hmm…” hanya gumaman yang keluar dari mulutnya. Matanya tetap terpejam, dia menggeliat. Ah, seperti biasa lelakiku memang manja.


Aku menghampirinya, menepuk pundaknya sekali lagi, “Yank, bangun yuk.” Dia diam tak menjawab. Gemas dengan tingkahnya aku semakin maju untuk mendekatinya, dan tiba-tiba..


Dia membuka mata—tersenyum dan merengkuhku dalam pelukannya yang kokoh.


 “Aku masih ngantuk,”  jawabnya sambil memelukku dengan erat.


Aku merona, jantungku berdegub kencang. Ingin aku mengelak dari pelukannya, tapi percuma karena dia semakin merengkuhku dalam dadanya. Tiba-tiba dia membuka mata, mengecup bibirku dengan perlahan sambil berbisik, “Selamat pagi matahariku.”


Sayup-sayup  terdengar suara pintu di ketuk. Dengan malas aku bangkit dari dada lelakiku sambil menggerutu.


“Cepat bangun, nanti sarapan dan mochacino favoritmu keburu dingin,” ingatku untuk kesekian kali padanya sambil merengut dan berlari ke pintu.


Siapa gerangan yang bertandang sepagi ini?


Sambil membuka pintu, sudut mataku menangkap lelakiku bertelanjang dada melangkah malas menuju ke dapur. Senyumku terbit melihat tingkahnya.



****


Pintu terbuka, senyuman lebar khas Ama, sahabatku, tersuguh sehangat mentari. Di tangannya sekeranjang apel tampak ranum bertumpuk. Ku ambil sebuah yang paling atas dan beranjak masuk meninggalkan Ama di belakang. Sahabatku ini tak perlu dipersilakan, rumah ini seperti rumah keduanya.


Benar dugaanku, di belakangku, pintu berdebam tertutup dan suara Ama terdengar menggerutu “Tuan rumah macam apa yang tidak mempersilakan tamunya masuk sehabis merampok apel yang dia bawa, tidak benar ini"


 :Gumaman Ama terhenti seiring dengan hidungnya yang kembang kempis. “Hey, Sya. Bau enak ini, haaseeekkk nasssii goreeeeng . Tanpa basa-basi dia menghambur ke dapur, melibasku yang terjengkang selangkah ke belakang.


Sialan" teriakku sambil tertawa.


 Mataku mencari-cari sosok lelakiku, tidak ada. Ah, mungkin dia sedang di kamar mandi membersihkan dirinya terlebih dahulu.  Sambil sibuk mengunyah apel yang tinggal separuh, ku towel pipi Ama


"Ma, tunggu sebentar. Makannya bareng-bareng aja" ucapku sambil mengedipkan mata. Gerakan Ama menyendok nasi goreng ke piringnya terhenti di udara


“Eh, kamu nunggu teman ya. Okey deh, aku cuma mau icip aja" sesendok besar nasi goreng masuk ke mulutnya. Matanya yang terpejam-pejam keenakan tiba-tiba tertahan pada dua cangkir mochacino hangat yang kuletakkan di ujung meja, alisnya berkerut. Diletakkannya sendok ke piring sambil memandangiku, mulai heran


"Sya, kamu sama sapa? Ada yang nginap di sini ya ?


Aku menggeleng.


 “Lantas kopi ini buat sapa? Kok ada dua begini?" tanya Ama heran.


Buat Satria, jawabku dalam hati. Ama gimana sih. Masak sama status teman sendiri lupa.


 "Sya, kok malah bengong sih?” Ama memanggilku.


"Hah?" jawabku kaget.


 "Tu, kan malah melamun. Sini..duduk yuk kita sarapan."


Aku menarik kursi--duduk di depan Ama yang sedang lahap dengan nasi goreng dihadapannya. Aku diam--memandang makanan di depanku. Ada rasa tidak rela melihat Ama menghabiskan makanan yang telah aku siapkan untuk lelakiku.


Kemana sih, kok dia belum muncul juga? Jangan-jangan dia tahu bahwa ada Ama. Maaf ya sayang, aku tidak tahu bahwa Ama akan datang sepagi ini dan merusak sarapan kita.


"Sya, kok nggak dimakan? Kamu kenapa sih?."


"Nggak apa-apa. Aku BT sama kamu. Pagi-pagi sudah ngerampok makanan orang," jawabku sebal.


"Aku tadi telp, hapemu nggak aktif. Ya, sudah kamu aku kesini saja,” Ama member penjelasan dengan nada tidak jelas.


 "Baterenya lowbat, lupa di charge," jawabku sambil menyesap mochanino di hadapanku.


“Astaga, Sya. Jadi kamu nggak rela kalau makanan ini aku makan?"


 Aku menggeleng.


Makanan itu bukan buat kamu tapi buat Satria.


"Sya, jangan bilang kalau makanan ini kamu siapkan buat...?" Ama tidak melanjutkan kata-katanya


Aku mengangguk.


Air mata mulai berhamburan dari kedua pelupuk mataku. Ama diam sambil mengenggam tanganku dari seberang meja. Bibirnya terkatup rapat.


Tangisku semakin menjadi, hangatnya genggaman Ama menamparku telak, membangunkanku dari mimpi. Tiba-tiba hatiku seperti diremas oleh ribuan tangan, sakitnyaa tidak tertahankan. Sakit yang sama ketika aku mendengar tentang kecelakaan Satria. Dan rasa sakit yang sama ketika aku terjerembab di atas pusara bertanah merah bertuliskan namanya.


Sakit ini tidak bisa kau bahasakan. Hatiku ternyata tidak pernah benar-benar bisa melepaskannya.


Ya…Satria sudah tiada.


Di sudut sana foto Satria tersenyum manis sedang memandangku dari kejauhan.





In the arms of the angel,


Fly away from here,


From this dark,cold hotel room,


And the endlessness that you feel


You are pulled from the wreckage,


Of your silence reverie.


You're in the arms of the angel,


May you find some comfort here.


(Angel-Sarah Mclean)



 


Hasil Tulisan duet antara @child_smurf dan @alithdqueen

Dear Imajinasi

Dear Imajinasi

Dear imajinasi,

Berbaik-baiklah denganku malam ini. Aku sungguh-sungguh membutuhkanmu malam ini untuk melengkapi cerita yang siap aku tuliskan dalam bukuku.


Aku tahu ini memang berat, tapi aku akan terus mencoba. Membuat semua impian ini menjadi sesuatu yang bisa aku capai.


Aku tahu, karyaku masih jauh dari sempurna. Tapi, setidaknya ijinkan aku sejenak untuk menyelesaikannya

Janji Wakil Rakyat

Janji Wakil Rakyat


 


“Dengan nama Allah, saya bersumpah untuk menjalankan tugas dan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya. Tidak melakukan pelanggaran terhadap kode etik negara dan menaati setiap aturan yang ada.”


Seorang anak laki-laki duduk di depan sebuah kotak berukuran 14’ yang mengeluarkan gambar dan suara seorang lelaki berbadan tambun, berkacamata kotak, berambut putih dan berjas hitam lengkap sedang mengambil sebuah sumpah jabatan di bawah kitab suci kepercayaannya.


Sedari tadi dia terus memperhatikan tanpa beranjak dari duduknya, seperti menyaksikan tayangan kartun yang begitu menarik sesuai dengan kesukaan teman-teman sebayanya.


KLIK!


Tiba-tiba televisi itu tidak mengeluarkan suara, gelap. Sengaja dimatikan oleh seorang perempuan paruh baya yang berdiri di belakangnya. Anak laki-laki itu menoleh ke belakang, dan menatap wajah perempuan yang ternyata Ibunya dengan muka kecewa.


“Ibu, kenapa TV-nya dimatikan?” tanyanya.


“Kamu harus sekolah, Arman. Lagipula tidak pantas anak seusiamu nonton tayangan seperti itu.” Ucap Ibu dengan sabar. Dia sangat mengerti, bahwa anaknya memang memiliki keingintahuan yang cukup tinggi terhadap suatu hal.


“Memang kenapa Ibu? Aku hanya ingin tahu siapa menteri-menteri yang akan dilantik. Mereka kan memiliki komitmen untuk menyejahterakan kita, Bu.”


Ibu menghampiri Arman, duduk di sebelahnya, dan menggenggam pundaknya. “Tidak, Arman. Mereka hanya ingin memperkaya diri mereka sendiri. Liat saja beberapa bulan nanti, salah satu dari mereka aka nada yang masuk bui karena korupsi. Percayalah pada Ibu. Kamu pasti akan tahu.”


Arman, masih tidak mengerti dan masih banyak pertanyaan yang memenuhi kepalanya, sebelum Ibunya menarik tangannya dan menyuruhnya untuk berangkat ke sekolah.


Apa benar kata Ibu bahwa wakil rakyat itu dilantik hanya untuk memperkaya diri sendiri?


Saat di sekolah Arman pun masih saja memikirkan perkataan ibunya. Dia masih saja penasaran dengan apa yang dikatakan ibunya tadi pagi. Rasa ingin tahunya semakin bertambah besar.


****


Saat pelajaran berlangsung, Arman masih saja berkutat dengan pikirannya sehingga tanpa dia sadari Pak Soleh--guru PKN itu sedang memperhatikannya.


"Arman! Dari tadi Bapak perhatikan kamu kok kayak orang melamun begitu. Ada apa?"


Arman terlonjak kaget, dia tidak menyangka bahwa pak Soleh sedang memperhatikannya.


 "Be..gini Pak, boleh saya tanya sesuatu?" tanya Arman sambil cengar-cengir setelah tertangkap basah melamun.


"Kamu mau tanya apa, Man?"


"Begini Pak, saya mau tanya apa benar wakil rakyat itu dilantik hanya untuk memperkaya diri sendiri?
Teman-teman Arman tertawa mendengar pertanyaan yang dilontarkan. Beberapa dari mereka saling berbisik-bisik.


Pak Sholeh terkejut dengan pertanyaan Arman. Dia tidak menyangka bahwa Arman yang masih duduk dibangku SD itu akan menanyakan hal-hal berat seperti ini.  Pak Sholeh tersenyum dalam hati dia bangga melihat kekritisan yang dimiliki oleh Arman. Cerdas juga anak ini.


"Begini Man, setahu bapak kita memilih wakil rakyat dan para mentri itu ya untuk mewakiliaspirasi kita. Tapi, kalau memang ada yang menyeleweng itu memang sudah bukan kuasa kita. Namanya saja lidah, dia dapat lupa dengan apa yang telah dijanjikan."


"Lalu, sampai sejauh mana aspirasi kita dijalankan pak?" tanya Arman lagi


"Bapak, agak tidak paham soal begitu itu Man. Mungkin ada baiknya kamu lebih banyak membaca saja."


"Baik, Pak"  Arman terdiam dengan ribuan pertanyaan di otakknya.


****


Pagi ini matahari bersinar sangat cerah, Arman seperti biasa sudah bersiap-siap berangkat sekolah. Setelah berpamitan dia pun melangkahkan kakinya dengan hati riang.


Sampai di perempatan jalan dekat sekolahnya, Arman berbelok. Rupanya hari ini dia sedang tidak ingin pergi ke sekolah. Dia berhenti di sebuah rumah kosong, mengeluarkan sebuah bungkusan dari koran dalam tasnya dan kemudian masuk ke dalam rumah itu.


Beberapa menit kemudian Arman keluar, seragam sekolah yang tadi melekat ditubuhnya sudah berganti dengan sebuah kaos berwarna putih kekuningan dan celana pendek berwarna coklat pudar. Rupanya Arman sudah mempersiapkan semua dari rumah. Arman memiliki suatu misi yaitu menuntaskan rasa keingintahuannya.


Hari ini dia berniat mengunjungi gedung di mana para wakil rakyat berkumpul. Dia masih sangat penasaran dengan apa sebenarnya yang dikerjakan para wakil rakyat itu.


Sampailah Arman di pelataran kantor di mana Anggota Dewan dan para Menteri melakukan tanggung jawabnya. Dengan penuh semangat dia berjalan melewati pos penjagaan.


"Permisi Dek, maaf pemulung tidak boleh masuk ke dalam," tegur salah seorang security di kantor itu.


"Maaf Pak, saya Arman dan saya bukan pemulung. Saya kesini ingin bertemu dengan Pak Mentri."


"Mereka sibuk dan nggak ada waktu untuk ngurusin hal macam beginian. Sudah sana pulang," ujar salah satu security.


"Kamu ini ada-ada saja. Pemulung kok mau ketemu sama Pak Menteri," salah seorang secuirity ikut berkomentar.=


"Tapi Pak, saya kesini memang mau ketemu dengan Pak Menteri. Sungguh saya bukan pemulung."


"Ah, sudah. Kamu Nganggu orang lagi kerja saja," salah satu dari mereka menghardik Arman.


Satu orang security menghampiri, dan mengajak Arman keluar dari pos Penjagaan.


"Nih saya kasih kamu uang untuk ongkos pulang. Saya tahu kamu ingin ketemu sama pak Mentri. Tapi, itu nggak mungkin Dek. Mereka terlalu sibuk untuk ngurusin orang miskin macam kita. Yang boleh ketemu mereka hanya kumpulan orang berdasi. Jadi, lebih baik kamu pulang saja."


Raut wajah Arman yang semula terlihat begitu bahagia, karena kesempatannya untuk bertemu dengan para wakil rakyat yang dia lihat di TV, langsung berubah menjadi begitu sedih. Lalu dia ingat perkataan Ibunya kemarin,


"Bapak, sebelum saya pergi bolehkah saya bertanya sesuatu?"


"Apa, Nak?" tanya salah seorang security.


"Apakah di tempat ini memperbolehkan korupsi? Apa Bapak tau kisah para menteri yang melakukan korupsi di sini?"


Kedua security itu saling bertukar pandang, dan bersamaan melihat Arman. Tatapan mereka seakan-akan berkata, "Kamu tau, Nak, korupsi di gedung ini bukanlah sesuatu hal yang tabu lagi..."





Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu "setuju......"
(Surat untuk wakil rakyat-iwan fals)



 tulisan kolaborasi dengan @bellazoditama

Bahasa Cinta

Bahasa Cinta

 



 

 

Aku benci ayahku.

Dia adalah satu-satunya orang yang tidak pernah bisa mengerti aku.


Aku juga malu mempunyai ayah—buatku dia tidak seperti kebanyakan ayah lainnya. Dia tidak normal. Yang bisa dia lakukan hanya mengeluarkan gumaman-gumaman tidak jelas dan juga gerakan tangan yang tidak mau aku mengerti.


Ibuku, entah kemana. Sepertinya dia sudah lama pergi sejak aku berusia balita. Mungkin saja dia juga bosan mendapat suami yang bisu dan tuli.


Terkadang aku suka bermimpi, membayangkan mempunyai seorang ayah yang dapat mengerti,mendengarkan seluruh keluh kesahku ketika teman-temanku mengejekku. Tapi, nyatanya ayahku tidak.


Ayahku seorang yang sangat sabar, walaupun aku sering membentak-bentaknya dia selalu dengan sabar menghadapi kemarahanku. Bahkan seringkali ayah berusaha menjadi ayah yang normal untukku. Tetap saja, dia tidak sempurna bagiku.


∞∞∞∞∞∞


 Aku benci teman-teman sekolahku…


Mereka hanyalah sekumpulan orang-orang tolol yang selalu bersorak terhadap kesedihan orang lain. Mereka suka sekali menindas orang-orang yang mereka anggap lemah. Termasuk diriku.


Seperti kejadian pagi ini. Aku baru saja keluar dari kamar mandi saat menemukan tas dan peralatan sekolahku berada di selokan. Dengan sangat marah, aku memunguti peralatan sekolahku yang telah rusak terkena air selokan. Saat itu, tidak ada satupun dari teman-teman sekelas yang datang membantuku. Mereka seakan menutup mata atas kejadian ini. Mereka terlalu takut bahkan untuk membela dirinya sendiri.


Aku mendatangi Berlian and the gank yang sedang asyik tertawa-tawa di kantin.


“Apa maksudmu, HAH??” teriakku sambil membawa tasku yang penuh dengan air got ke hadapan Berlian dkk.


Wajah Berlian tersentak saat melihatku, kegugupan nampak di raut wajahnya yang putih seperti mayat itu. Mata sipit hendak melotok, tapi sayang kelopaknya terlalu kecil. Bukan Berlian namanya kalau dia tidak bisa menghilangkan kegugupannya dalam sejenak.


Dia bangkit dan berbalik menatapku tajam. “Itu hukuman buat anak yang punya orang tua tuli dan bisu macam kamu,” ujarnya sambil berbisik di telingaku.


Mendengar kata-katanya seketika membuatku naik pitam. Aku tidak banyak berbicara, tapi tanganku sudah merangsek—menjambak rambut hitamnya.


Semua orang yang ada di kantin diam, namun keadaan itu tidak berlangsung lama. Mereka malah asik bersorak-sorak melihat diriku dan Berlian yang sedang bergulingan di lantai. Tidak hanya tanganku yang ikut menjambaki rambutnya, kakiku pun tidak tinggal diam.


Berlian tidak kalah sengitnya membalasku. Mulutnya tidak berhenti memakiku, tangan-tangannya pun ikut mencakari wajahku. Perih…


Tapi aku harus melawan…


∞∞∞∞∞∞


 Kantor Kepala Sekolah SMU Karya Bangsa


Dan di sinilah kami sekarang berada. Pak Wiryo selaku Kepala Sekolah menatap kami tajam. Aku tertunduk


“Kalian ini sudah kelas 3, tapi tidak bisa memberi contoh baik pada adik kelas! Mau jadi apa kalian ini??” suara Pak Wiryo menggelegar.


“Lintang yang mulai menyerang saya,” Berlian buka suara.


“Benar itu Lintang?”


Aku mendongak dan aku temukan tatapan tajam dari Wiryo. Aku diam, tidak menjawab. Percuma, semua yang ada di sekolah ini hanya sekumpulan orang yang suka berat sebelah.


“Kenapa kamu tidak menjawab Lintang?” tanya Pak Wiryo.


“Sudah tidak ada yang perlu dijelaskan Pak. Silahkan kalau Bapak ingin menghukum saya.”


“Baiklah kalau itu yang kamu inginkan. Kamu saya skors selama 1 minggu.”

Aku tertunduk lesu saat Pak Wiryo membacakan hukumanku.

*********


Minggu pagi, aku bangun lebih telat dari biasanya. Ayah belum tahu sekolah menskorsku selama satu minggu. Ayah memang tak pernah marah, tapi abang-abangku pasti akan memarahiku habis-habisan. Mereka seperti perpanjangan tangan Ayah. Aku benci mereka. Tapi aku tak berani macam-macam, bisa-bisa uang jajanku terancam.


Di teras depan, ternyata tak hanya ada Ayah, Bang Rizal dan Bang Adam. Ewin, teman jaman SMP juga ada. Dia sibuk mengutak-atik kameranya. Ayah tersenyum menyambutku. Aku hanya membalasnya setengah hati. Aku selalu bersikap baik budi terhadap Ayah dihadapan Abang-abangku.


“Lin, ntar temeni aku ya. Biasa…” kata Ewin. Dari sudut mataku, aku melihat Ayah menggerakkan tangannya bertanya tujuan kami hari ini. “Biasa om… Mau latihan motret di pantai” balas Ewin. Aku mengerang. Aku tak suka pantai hari Minggu seperti ini. Terlalu banyak keluarga menghabiskan hari Minggu mereka disana. Melihat mereka, aku seperti diingatkan kembali akan keadaan keluargaku yang timpang. Ayah yang cacat fisik dan ibu yang pergi entah kemana.


*********


RS Dharma Husada


Dari pantai kami langsung menuju Rumah Sakit. Ewin tak berkata apapun sepanjang perjalanan kami setelah ia menerima telepon dari Bang Adam.


Bang Adam menjemputku di parkiran. “Ikut abang yok....” ajaknya. Dia membawaku ke ruangan dengan tulisan Operating Theatre dipintu gandanya.


“Ngapain kita disini, Bang?” tanyaku.


“Tenang ajalah” cuma itu jawabnya. Tak lama Bang Rizal muncul. Ada apa ini? Kenapa Bang Rizal juga ada disini? Wajahnya kusut. “Gak dapat. Stok darah AB di PMI kosong.”


“Siapa yang perlu darah AB? Darahku kan AB. Pakai darahku aja.” sambarku. Mereka berpandang-pandangan. Bang Adam mendesah. “Ayah kecelakaan. Kata dokter ada benjolan di kepalanya. Harus dioperasi supaya darahnya bisa keluar. Jadi perlu darah cadangan buat jaga-jaga kalau seandainya perlu transfusi.”


“Ayah melarang kami untuk memakai darahmu karena Ayah takut kamu nanti jadi sakit dan sekolahmu terganggu. Makanya ini lagi nyari donor darah. Kalau kamu mau menunggu Ayah, tunggu aja di kamar. Ruangan Berlian 404, lantai 4. Kalau nggak mau, pulang saja.” lanjut Bang Adam.


Aku terduduk menyerap informasi itu. Ayah kecelakaan dan tak ada seorangpun yang memberitahuku? Apa mereka tak menganggapku adik lagi? Tapi baguslah… kalau Ayah meninggal berarti aku tak perlu lagi malu memiliki Ayah yang bisu dan tuli. Benarkah bagus? Ada rasa perih yang muncul tiba-tiba saat membayangkan Ayah meninggal.


Daripada pulang, hanya bersama Mbok Nah di rumah, lebih baik aku tiduran di kamar Ayah sampai Ayah selesai operasi.


Di kamar, celana panjang, kemeja, ponsel dan dompet Ayah masih tersampir diatas tempat tidur. Kuberanikan memeriksa isi dompet Ayah. Di kantong berlapis plastik putih tempat orang biasa memajang foto, ada foto Ayah. Di foto itu Ayah menggendong seorang anak. Aku tak perlu menajamkan pandanganku untuk melihat siapa yang digendong Ayah. Ayah tersenyum lebar memandang gadis kecilnya yang memakai rok warna merah muda, dibelakangnya tampak segerombolan rusa berada di balik kandang. Aku tercekat memandang foto itu. Kubawa dompet itu sambil berlari keluar ruangan. Aku harus segera sampai di ruang operasi. Ayah harus menerima darahku walaupun Ayah melarangnya.



If I could get another chance
Another walk
Another dance with him
I'd play a song that would never ever end
How I'd love love love
To dance with my father again (Luther Vandross)

Tulisan kolaborasi @putripwu dan @child_smurf

Kesalahan Besar

Kesalahan Besar

Seperti keputusanku mempersunting Kinanti menjadi pendamping hidupku adalah sebuah hal paling tolol yang telah aku lakukan dalam hidup. Aku telah membuat kesalahan besar dengan menikahi seseorang yang tidak pernah aku cintai.


Aku akui Kinanti mempunyai banyak kelebihan. Cantik, pintar dan juga bersahaja. Tapi sayang, kelebihan dia tidak pernah membiusku.


Karena hatiku lebih dulu sudah ada yang memiliki....

Surat Untuk Pembaca Blogku

Surat Untuk Pembaca Blogku

Dear kamu,

Hai kamu yang di sana.  Ya..kamu. Masih nggak percaya kalau aku tulis surat ini buat kamu :)


Buat kamu yang di sana. Mungkin sekarang ini kamu sedang menikmati rangkaian aksara yang aku torehkan dalam blog mungilku. Kamu marah, mengernyit muka, mencibir, senang, sedih terhadap semua tulisan di dalamnya.


Blog ini hanyalah rumah kecil di mana aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya, rumah ini juga adalah tempat di mana aku bisa menyalurkan kesenanganku pada dunia tulis menulis. Maafkan jika beberapa tulisan ku terkadang acak-acakan.


Bagaimana pun juga aku sedang belajar untuk menulis.


Untuk kamu yang di sana. Terima kasih atas waktu luangmu, Jika tidak keberatan, tolong luangkanlah waktu untuk sekedar memberikan kritik terhadap tulisan-tulisan saya.


Terakhir...




Tanpa kehadiran kalian, blog ini tidak bernilai




Salam hangat,




Luphyta

Rasa

Rasa

Suatu senja di Taman Kota, 1993

“Sahabat untuk selamanya…”


Kami saling mengaitkan dua jari kelingking ke udara sebagai janji tentang sebuah persahabatan.   Sejak saat itu aku dan Langit adalah sahabat yang tidak terpisahkan. Di mana ada Langit di situlah aku berada.


“Lang, janji ya jangan tinggalkan aku walaupun kelak nanti kita masing-masing punya pasangan,” tanyaku iseng-iseng saat kami sedang bermain ayunan di taman.


“Aku janji.” Langit bangkit dan seperti biasa mengacak-ngacak rambutku. Aku tertawa riang memamerkan deretan gigi putihku kepadanya.


 ® ®® ®® ®® ®® ®® ®


Januari 2003

(Tidak) ada persahabatan yang benar-benar murni di antara laki-laki dan perempuan


Lisa—salah satu sahabatku yang lain pernah menasehati tentang persahabatanku dengan Langit. Tapi, dengan cueknya aku menyangkal dan bahkan mencibirnya.


“Aku nggak bakalan suka Langit,” jawabku saat aku dan Lisa sedang membahas tentang hubunganku dengan Langit.


“Kamu yakin?”  Todong Lisa.


“Aku tahu semua keburukan dia. Oleh karena itu aku nggak bakalan bisa tertarik padanya,” jawabku tanpa ragu-ragu.


“Hati-hati! Kamu nggak akan pernah tahu kapan cinta itu akan datang. Dan, aku rasa dari caramu melihat Langit tadi pagi. Aku merasakan bahwa ada sesuatu yang berbeda dari matamu.”


“Jangan ngaco ah. Kamu salah. Aku nggak pernah mengagumi Langit sedikit pun. Percaya deh.” Aku menepuk pundak Lisa.


“Terserah kamu lah Lun.”


Rekaman pembicaraanku dengan Lisa tadi siang masih saja terngiang-ngiang dalam pikiranku. Aku merenung. Benarkah aku menyukainya?


Aku mencoba merevisi kembali tentang apa yang telah terjadi selama persahabatanku dengan Langit. Sepertinya tidak ada yang istimewa. Benarkah itu? Benakku kembali berbicara.


Oke, aku akui memang terkadang tanpa sadar  sering memikirkannya. Aku akui juga bahwa Langit sekarang ini terlihat lebih keren. Langit memang telah berubah, bukan lagi seperti Langit yang tubuhnya kerempeng. Langit yang sekarang tubuhnya lebih berisi, rahangnya terlihat kokoh, rambutnya pun bergaya cepak klimis, tapi satu hal tidak berubah. Langit tetaplah jahil seperti yang dulu. Mungkinkah karena perubahan ini?


Satu hal yang aku benci saat ini adalah diam-diam semua perkataan Lisa terasa benar.


Aku tidak pernah berpikir bahwa di dalam persahabatan kami ini akan terbentuk sebuah ‘rasa’ yang tidak biasa. Aku juga tidak pernah tahu pasti kapan perasaan ini tiba-tiba saja menelusup sepi dalam hubungan yang kami sebut persahabatan ini.


Tiba-tiba saja aku jatuh cinta pada Langit…


…dan dia tidak.


 


Agustus 2003


Ada yang aneh ketika aku memperkenalkan Anggita pada Luna, sahabatku. Senyumnya tak benar-benar tulus. Hey, tentu saja aku tau, bertahun-tahun aku sudah mengenalnya. Jadi aku tau benar apa yang disukainya, kejelekannya bahkan ekspresi wajahnya ketika dia menyukai atau membenci sesuatu. Dan aku juga tau, ekspresi wajahnya berubah ketika aku memperkenalkan Anggita sebagai kekasihku.


“Menurut kamu, Anggita gimana?” tanyaku pada Luna yang sedang mengaduk-aduk lemon tea-nya. Dia tersentak mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba.


“Kok tanya aku? Kami baru bertemu sekali. Tapi, kelihatannya anaknya baik,” jawabnya, kemudian menunduk lagi.


“Menurut kamu, dia pantas jadi istriku ?” tanyaku hati-hati. Masih memperhatikan ekspresi wajahnya yang benar-benar berubah. Muram.


Luna menggeleng. Kemudian tersenyum. Sedih. Lama Luna terdiam.


“Kamu bahagia, dengan dia?” akhirnya Luna bersuara. Aku mengangguk pelan.


“Aku merasa lengkap, dan dia melengkapi hidupku.”


“Langit, buatku, kebahagiaan kamu itu yang paling penting. Sebagai teman baikmu, aku nggak akan bisa bahagia kalau kamu sedih. Jadi, kalau kamu bisa bahagia dan merasa lengkap dengan Anggita, maka itu  cukup buatku.”


--------


                Ada yang tergores disini. Perih sekali. Pertanyaan Langit kemarin cukup untuk membuatku mengerti, bahwa rasa ini memang hanya ada padaku. Bukan padanya. Tapi, melihat binar matanya ketika bercerita tentang Anggita, membuatku tak tega untuk mengakui perasaan ini. Tapi aku juga tak akan sanggup menyaksikan pernikahan mereka dalam waktu dekat.


Entah, apa yang ada dikepalaku ketika akhirnya mengiyakan ajakan Lisa untuk menemaninya ke Jepang tepat pada saat pertunangan Langit dan Anggita. Muram dimatanya tak bisa disembunyikannya ketika aku mengatakan bahwa aku tak bias menghadiri pertunangannya.


“Apa artinya pertunanganku kalau kamu nggak ada?” ujarnya dengan amarah tertahan ketika aku meletakkan tiket keberangkatan didepannya.


“Yang paling penting kan ada Anggita,” aku mencoba melucu, menahan perih yang amat sangat ketika mengucapkan nama itu.


“Tapi kamu yang paling penting, kamu sahabatku, Lun!” tegasnya. Aku tersenyum. Mengusap pelan bahunya yang membuat jantungku berdetak tak karuan.


“Untuk seterusnya, hanya Anggita yang paling penting buatmu. Aku, tetap akan jadi sahabatmu. Sampai kapanpun.”


--------


                Aku menatap perih pada landasan dibelakangku. Hari ini, pertunangan Langit dan Anggita. Mengingatnya saja sudah membuat nafasku sesak. Aku tak akan pernah sanggup menyaksikan kebahagiaan sahabatku sendiri. Maka, ketika pertama kali Langit mengatakan padaku tentang rencana pertunangannya, tanpa berpikir panjang, aku mengiyakan ajakan Lisa untuk menemaninya ke Jepang. Bukan hanya berkunjung, tapi menetap.


Jika aku harus menyimpan rapat perasaan ini dari Langit, maka menghindar adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan hatiku. Nanti, aku akan mengatakan pada Langit, bahwa aku tak akan pulang selama beberapa saat. Sampai segala rasa dihatiku menipis dan kemudian hilang. Sampai aku merelakan dia  mencintai orang lain. Meski Langit tak akan pernah tahu alasannya.



NB: tulisan ini hasil duet dengan @weirdaft


Iri

Iri

Ada rasa perih menelusup kecil di dada.

Meninggalkan riak-riak kecil yang terkadang menyakitkan

Aku cemburu...

Aku iri...

Pada dia yang lebih dulu telah mengisi hatimu
incomplete

incomplete

Seringkali aku bertanya, sebenarnya apa sih artiku dalam hidupmu?
Mungkinkah kau menganggap aku hanya pelengkap hidupmu yang kata kebanyakan orang sempurna.
Aku masih ingat bisik-bisik para tamu undangan di saat kita berdua bersanding di pelaminan.
"Sakti beruntung sekali mendapatkan Kinanti sebagai istri. Cantik, bersahaja."

Kenyataannya, bagimu aku memang hanya sebuah pelengkap.
Orang diluar sana tidak pernah tahu pasti tentang apa yang aku rasakan.

Sudahlah, kenyataannya kami memang tidak bahagia