Surat Untuk Pembaca Blogku

Surat Untuk Pembaca Blogku

Dear kamu,

Hai kamu yang di sana.  Ya..kamu. Masih nggak percaya kalau aku tulis surat ini buat kamu :)


Buat kamu yang di sana. Mungkin sekarang ini kamu sedang menikmati rangkaian aksara yang aku torehkan dalam blog mungilku. Kamu marah, mengernyit muka, mencibir, senang, sedih terhadap semua tulisan di dalamnya.


Blog ini hanyalah rumah kecil di mana aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya, rumah ini juga adalah tempat di mana aku bisa menyalurkan kesenanganku pada dunia tulis menulis. Maafkan jika beberapa tulisan ku terkadang acak-acakan.


Bagaimana pun juga aku sedang belajar untuk menulis.


Untuk kamu yang di sana. Terima kasih atas waktu luangmu, Jika tidak keberatan, tolong luangkanlah waktu untuk sekedar memberikan kritik terhadap tulisan-tulisan saya.


Terakhir...




Tanpa kehadiran kalian, blog ini tidak bernilai




Salam hangat,




Luphyta

Rasa

Rasa

Suatu senja di Taman Kota, 1993

“Sahabat untuk selamanya…”


Kami saling mengaitkan dua jari kelingking ke udara sebagai janji tentang sebuah persahabatan.   Sejak saat itu aku dan Langit adalah sahabat yang tidak terpisahkan. Di mana ada Langit di situlah aku berada.


“Lang, janji ya jangan tinggalkan aku walaupun kelak nanti kita masing-masing punya pasangan,” tanyaku iseng-iseng saat kami sedang bermain ayunan di taman.


“Aku janji.” Langit bangkit dan seperti biasa mengacak-ngacak rambutku. Aku tertawa riang memamerkan deretan gigi putihku kepadanya.


 ® ®® ®® ®® ®® ®® ®


Januari 2003

(Tidak) ada persahabatan yang benar-benar murni di antara laki-laki dan perempuan


Lisa—salah satu sahabatku yang lain pernah menasehati tentang persahabatanku dengan Langit. Tapi, dengan cueknya aku menyangkal dan bahkan mencibirnya.


“Aku nggak bakalan suka Langit,” jawabku saat aku dan Lisa sedang membahas tentang hubunganku dengan Langit.


“Kamu yakin?”  Todong Lisa.


“Aku tahu semua keburukan dia. Oleh karena itu aku nggak bakalan bisa tertarik padanya,” jawabku tanpa ragu-ragu.


“Hati-hati! Kamu nggak akan pernah tahu kapan cinta itu akan datang. Dan, aku rasa dari caramu melihat Langit tadi pagi. Aku merasakan bahwa ada sesuatu yang berbeda dari matamu.”


“Jangan ngaco ah. Kamu salah. Aku nggak pernah mengagumi Langit sedikit pun. Percaya deh.” Aku menepuk pundak Lisa.


“Terserah kamu lah Lun.”


Rekaman pembicaraanku dengan Lisa tadi siang masih saja terngiang-ngiang dalam pikiranku. Aku merenung. Benarkah aku menyukainya?


Aku mencoba merevisi kembali tentang apa yang telah terjadi selama persahabatanku dengan Langit. Sepertinya tidak ada yang istimewa. Benarkah itu? Benakku kembali berbicara.


Oke, aku akui memang terkadang tanpa sadar  sering memikirkannya. Aku akui juga bahwa Langit sekarang ini terlihat lebih keren. Langit memang telah berubah, bukan lagi seperti Langit yang tubuhnya kerempeng. Langit yang sekarang tubuhnya lebih berisi, rahangnya terlihat kokoh, rambutnya pun bergaya cepak klimis, tapi satu hal tidak berubah. Langit tetaplah jahil seperti yang dulu. Mungkinkah karena perubahan ini?


Satu hal yang aku benci saat ini adalah diam-diam semua perkataan Lisa terasa benar.


Aku tidak pernah berpikir bahwa di dalam persahabatan kami ini akan terbentuk sebuah ‘rasa’ yang tidak biasa. Aku juga tidak pernah tahu pasti kapan perasaan ini tiba-tiba saja menelusup sepi dalam hubungan yang kami sebut persahabatan ini.


Tiba-tiba saja aku jatuh cinta pada Langit…


…dan dia tidak.


 


Agustus 2003


Ada yang aneh ketika aku memperkenalkan Anggita pada Luna, sahabatku. Senyumnya tak benar-benar tulus. Hey, tentu saja aku tau, bertahun-tahun aku sudah mengenalnya. Jadi aku tau benar apa yang disukainya, kejelekannya bahkan ekspresi wajahnya ketika dia menyukai atau membenci sesuatu. Dan aku juga tau, ekspresi wajahnya berubah ketika aku memperkenalkan Anggita sebagai kekasihku.


“Menurut kamu, Anggita gimana?” tanyaku pada Luna yang sedang mengaduk-aduk lemon tea-nya. Dia tersentak mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba.


“Kok tanya aku? Kami baru bertemu sekali. Tapi, kelihatannya anaknya baik,” jawabnya, kemudian menunduk lagi.


“Menurut kamu, dia pantas jadi istriku ?” tanyaku hati-hati. Masih memperhatikan ekspresi wajahnya yang benar-benar berubah. Muram.


Luna menggeleng. Kemudian tersenyum. Sedih. Lama Luna terdiam.


“Kamu bahagia, dengan dia?” akhirnya Luna bersuara. Aku mengangguk pelan.


“Aku merasa lengkap, dan dia melengkapi hidupku.”


“Langit, buatku, kebahagiaan kamu itu yang paling penting. Sebagai teman baikmu, aku nggak akan bisa bahagia kalau kamu sedih. Jadi, kalau kamu bisa bahagia dan merasa lengkap dengan Anggita, maka itu  cukup buatku.”


--------


                Ada yang tergores disini. Perih sekali. Pertanyaan Langit kemarin cukup untuk membuatku mengerti, bahwa rasa ini memang hanya ada padaku. Bukan padanya. Tapi, melihat binar matanya ketika bercerita tentang Anggita, membuatku tak tega untuk mengakui perasaan ini. Tapi aku juga tak akan sanggup menyaksikan pernikahan mereka dalam waktu dekat.


Entah, apa yang ada dikepalaku ketika akhirnya mengiyakan ajakan Lisa untuk menemaninya ke Jepang tepat pada saat pertunangan Langit dan Anggita. Muram dimatanya tak bisa disembunyikannya ketika aku mengatakan bahwa aku tak bias menghadiri pertunangannya.


“Apa artinya pertunanganku kalau kamu nggak ada?” ujarnya dengan amarah tertahan ketika aku meletakkan tiket keberangkatan didepannya.


“Yang paling penting kan ada Anggita,” aku mencoba melucu, menahan perih yang amat sangat ketika mengucapkan nama itu.


“Tapi kamu yang paling penting, kamu sahabatku, Lun!” tegasnya. Aku tersenyum. Mengusap pelan bahunya yang membuat jantungku berdetak tak karuan.


“Untuk seterusnya, hanya Anggita yang paling penting buatmu. Aku, tetap akan jadi sahabatmu. Sampai kapanpun.”


--------


                Aku menatap perih pada landasan dibelakangku. Hari ini, pertunangan Langit dan Anggita. Mengingatnya saja sudah membuat nafasku sesak. Aku tak akan pernah sanggup menyaksikan kebahagiaan sahabatku sendiri. Maka, ketika pertama kali Langit mengatakan padaku tentang rencana pertunangannya, tanpa berpikir panjang, aku mengiyakan ajakan Lisa untuk menemaninya ke Jepang. Bukan hanya berkunjung, tapi menetap.


Jika aku harus menyimpan rapat perasaan ini dari Langit, maka menghindar adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan hatiku. Nanti, aku akan mengatakan pada Langit, bahwa aku tak akan pulang selama beberapa saat. Sampai segala rasa dihatiku menipis dan kemudian hilang. Sampai aku merelakan dia  mencintai orang lain. Meski Langit tak akan pernah tahu alasannya.



NB: tulisan ini hasil duet dengan @weirdaft


Iri

Iri

Ada rasa perih menelusup kecil di dada.

Meninggalkan riak-riak kecil yang terkadang menyakitkan

Aku cemburu...

Aku iri...

Pada dia yang lebih dulu telah mengisi hatimu
incomplete

incomplete

Seringkali aku bertanya, sebenarnya apa sih artiku dalam hidupmu?
Mungkinkah kau menganggap aku hanya pelengkap hidupmu yang kata kebanyakan orang sempurna.
Aku masih ingat bisik-bisik para tamu undangan di saat kita berdua bersanding di pelaminan.
"Sakti beruntung sekali mendapatkan Kinanti sebagai istri. Cantik, bersahaja."

Kenyataannya, bagimu aku memang hanya sebuah pelengkap.
Orang diluar sana tidak pernah tahu pasti tentang apa yang aku rasakan.

Sudahlah, kenyataannya kami memang tidak bahagia
Inilah aku

Inilah aku

Inilah aku
Dengan segala kekuranganku..
Inilah aku
Dengan sengala kelebihanku
Tak ada yang aku sembunyikan
Akan ku tunjukkan pada dunia
Bahwa aku ada
Aku nyata

Dan inilah aku
Mencintaimu membuatku luka

Mencintaimu membuatku luka

"Bisakah hari ini kita makan siang?"
"Maaf, aku sibuk?" Katamu dingin
Aku mendesah, selalu saja jawabanmu sama--dingin.
"Kapan sih kamu punya sedikit waktu untukku?" Aku merengek.
"Jangan bertingkah seperti anak kecil. Sudah aku bilang, aku sibuk seharian ini."
"Selalu saja sepertiku." Suaraku bergetar
Kamu diam, tak ada lagi jawaban meluncur dari bibirmu. Hanya sebuah ciuman di kening dan kau pun berlalu dari hadapanku

Hatiku perih
****

Seperti hari-hari biasa, aku lebih memilih termenung di taman--tempatku dapat mencurahkan semua perasaanku. Tapi, kali ini apa yang aku rasakan lebih dari sebuah rasa sakit biasa.
Rasanya luka yang sekarang ada di hatiku ini semakin menganga tanpa ada obatnya.
Ah, terkadang aku sadar bahwa betapa bodohnya aku yang terlalu mencintaimu.

...Sekarang aku harus menanggung perih luka akibat ketololanku yang mencintaimu
Menunggu rindu

Menunggu rindu

Semburat langit menyisakan warna-warna lembayung yang melukis langit.
Taman-taman kota mulai dipenuhi orang-orang yang ingin mengendorkan sedikit syaraf-syarafnya.
Rumput-rumput masih saja basah. Tertinggal jejak-jejak tangisan langit yang semalam dengan galaknya menumpahkan semua perasaannya.
Aku terdiam di sebuah sudut taman, duduk memandang kumpulan anak-anak kecil yang suaranya membahana.
Rindu..
Hanya satu kata itu yang sekarang tertinggal dalam hatiku.

Rindukah kamu padaku?
Dear You

Dear You

Hai kamu yang disana
Tidakkah kau rindu padaku?
Tidakkah kau merindukan suaraku ini?
Tahukah kamu kalau aku merana karena merindukanmu?

Mungkin tidak...