#31HariFF: Mimpi Aiko

#31HariFF: Mimpi Aiko

20131218-193645.jpg

Foto: Koleksi Pribadi

 

"Akulah sepasang kupu-kupu dengan sayap yang cantik"

Aiko merentangkan tangannya, kemudian menggerakkannya seakan kupu-kupu yang sedang terbang. Bibir mungilnya tak berhenti melafalkan nyanyian yang tak jelas.
Tak jauh dari Aiko berdiri, seorang wanita paruh baya menatap dari kejauhan. Sepasang mata yang mulai menua itu berkaca-kaca saat menyaksikan Aiko yang sedang bernyanyi.
Dadanya terasa sesak menyaksikan putri semata wayangnya yang berputar-putar sambil meracaukan sesuatu yang tak jelas.


Kasihan dirimu, Nak. Semenjak ayahmu pergi. Kamu terobsesi menjadi kupu-kupu

#31HariFF: Di sudut taman

#31HariFF: Di sudut taman

20131216-211357.jpg

Aku menengadahkan tanganku. Membiarkan daun-daun berwarna oranye yang berjatuhan memenuhi ceruk tanganku.


Aku sangat suka musim gugur.


Rasanya menyenangkan melihat dedaunan beraneka warna berjatuhan dari langit. Belum lagi aroma khas daun kering yang bersentuhan dengan tanah. Menenangkan.


Hari ini seperti biasa, sepulang kerja aku mampir ke sebuah taman yang letaknya tak jauh dari kantor. Selain untuk menikmati udara sore. Ada hal yang lebih penting.


Aku menunggu seseorang.


#31HariFF: lelaki di sudut coffe shop

#31HariFF: lelaki di sudut coffe shop

20131215-205931.jpg

Lelaki itu datang lagi. Kali ini dia mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru laut dengan bawahan celana cargo berwarna dongker. Rambutnya diberi gel lalu dibentuk jambul ke depan. Dia sungguh manis.


Seperti biasa lelaki itu selalu duduk di sudut dekat jendela. Seakan menunjukkan bahwa dia ingin menjauh dari keramaian.
Aku membetulkan celemekku sesaat sebelum menyambar buku menu dan berjalan menghampiri lelaki itu.


"Mau pesan?" Tanyaku sambil memegang kertas pemesanan.
"Expresso,"ucapnya tanpa tersenyum.
"Baik ditunggu." Aku menyunggingkan senyuman ramah.
Lelaki itu menatapku dingin, kaku.


****

"Dia datang lagi?" Bisik Robi.
Aku mengangguk. "Pesanannya pun selalu sama Exspresso."
"Lelaki yang aneh. Pesan kopi tapi nggak pernah diminum," timpal Bowo yang sedang membuat pesanan lelaki itu.
Aku mengedikkan bahu. "Biarkan saja. Dia kan pelanggan kita."


"Rie. Kamu yang antar ya."


Aku mengambil baki dan meletakkan secangkir exspresso yang masih menepul. Lalu, membawanya ke meja nomor 16.


"Ini pesanannya." Aku meletakkan cangkir itu di hadapannya. "Silakan dinikmati."


Lelaki itu tak merespon apa yang kukatakan. Tatapannya hanya mengarah pada sebuah foto yang sudah usang.
Lelaki yang tampan. Tapi, sayang tak bisa melupakan kenangan.

#31HariFF: Langit Jingga

#31HariFF: Langit Jingga

20131215-032519.jpg

"Aku harus bisa menyelesaikannya sebelum Matahari tenggelam." Aku mengangkat kedua tangan sebagai perwujudan bahwa sedang bersemangat.
Di depanku ada beberapa tumpukan berkas-berkas yang harus segera diselesaikan. Aku menghela napas panjang. Ini akan menjadi hari yang sibuk.
***


"Naru, tolong kamu selesaikan laporan penjualan ni secepatnya. Kalau bisa sebelum Matahari tenggelam," perintah Budi.
"Hah?" Tanyaku kaget.
"Kamu harus selesaikan. Kalau tidak kamu kupecat." Suara pak Budi meninggi.
Aku meninggalkan ruangan Direksi dengan kaki lunglai.


bagaimana caranya aku menyelesaikan laporan sebanyak itu?


Ting...


Sebuah ide terlintas. Aku mengambil sebatang korek. Lalu, kulemparkan pada kertas-kertas yang sudah kutumpuk rapi.


Aku tertawa-tawa. Memandangi nyala api yang mulai membesar.

#31HariFF: Pelangi di mata ayah

#31HariFF: Pelangi di mata ayah

20131211-183432.jpg

"Percayalah, Nak. Selalu ada pelangi setelah badai."


Aku mengingat pesan yang Ayah ucapkan setahun lalu. Saat itu, badai besar sedang menghantam keluarga kami. Ibu tiba-tiba memutuskan meninggalkan rumah setelah merasa menemukan 'belahan hatinya.' Seorang laki-laki yang dikenalnya di pusat perbelanjaan.


Sinting!


Sejak itu, tak kutemukan lagi pelangi di sepasang mata bulat yang selalu menatapku dengan penuh cinta. Sinarnya meredup, atau bahkan berhenti berpendar.
Ayah berubah menjadi lelaki yang pendiam. Mengurung diri di kamar dengan asap tembakau yang menyesaki dadanya. Dan, kerap kali kutemukan ayah menangis sambil memeluk foto Ibu.


Begitukah cinta? Melepaskan yang dia sayang agar terlihat bahagia.

Bodoh.
Harusnya Ayah berjuang. Bukan hanya diam mematung. Meratapi nasib karena takdir yang tak berpihak.

Dan, ayah selalu menjawab, "Melepaskan orang kamu cintai itu berarti kamu membiarkan dia bahagia."

Ah, persetan dengan itu. Aku hanya ingin kembali melihat pelangi di mata ayah. Karena dari situlah hidupku berasal. Kalian boleh sebut aku Elextra Complex. Tapi, inilah kenyataan bahwa aku mencintai ayah melebihi apa pun.
#31hariff: Ayah

#31hariff: Ayah

20131210-173116.jpg

Satu hal yang paling aku inginkan saat ini adalah sentuhan lembut dari tangan ayah.
Ya. Aku amat merindukan jemari-jemari yang kini mulai keriput itu menyentuh wajahku, mengelap air mata yang menganak sungai di kedua tulang pipiku, atau sebuah sentuhan ringan di ujung rambutku.
Rasanya bertahun-tahun, jemari Ayah tak pernah menggenggamku. Sama seperti dulu saat kali pertama, lelaki itu mengajarkanku menapaki dunia.
Ya Tuhan. Aku rindu.


Kini, tak ada lagi pelukan yang terentang, dan dada yang kokoh untuk mengatakan bahwa semua baik-baik saja.


Lelaki itu kini menjelma monster, di mana jemarinya sibuk menggenggam botol-botol bearoma obat pembersih lantai. Bibirnya tak pernah berhenti mengeluarkan sumpah serapah setiap kali aku melakukan kesalahan.
Jemari yang dulu biasa menyentuhku, kini menjelma tangan-tangan kasar yang meninggalkan bekas pada kulit putihku.


Entah, apa yang membuatnya seperti itu. Yang pasti, lelaki itu kini tak lagi menjadi pelindung bagiku.


Aku menghapus air mata yang berjatuhan dari pelupukku, saat menatap foto usang Ayah yang menggengam erat tangan mungilku. Dulu.

#31HariFF: Gadis di balik jendela

#31HariFF: Gadis di balik jendela

20131208-181624.jpg

Dari balik tirai aku suka memperhatikan apa yang ada di luar sana.
Sesekali aku mencoba untuk berinteraksi dengan mereka. Melambaikan tangan atau menyunggingkan senyum pada seseorang yang tak sengaja melihat sosokku. Anehnya tak satupun dari mereka menyadari keberadaanku. Meskipun aku melambaikan tangan beberapa kali ke arah mereka.
Seperti hari ini saat aku berusaha beramah tamah pada Ny. Ross --tetangga sebelah rumah. Sayangnya, wanita paruh baya itu tak melihat senyumku. Dia malah asyik berbicara dengan bunganya.


Lamat-lamat aku mendengar suara orang sedang bercakap-cakap. Dengan hati riang aku menuruni tangga. Melihat siapa yang berkunjung.


Aku mengintip dari jendela ruang tamu. Di luar ada 2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan muda. Mereka sepertinya sedang mendiskusikan sesuatu.
Tunggu dulu, aku melihat sebuah mata mungil sedang melongok ke dalam rumah.


Aku melambaikan tangan untuk menyapanya. Mata mungil itu mengerjap. Dan, satu tangannya yang juga mungil membalas lambaianku.


Akhirnya, aku punya teman di rumah ini

#31HariFF: Test Pack

#31HariFF: Test Pack

[caption id="attachment_3192" align="aligncenter" width="640"]Google.com Google.com[/caption]

"Huft....gagal lagi," keluh Nadira saat melihat garis merah satu pada test pack dalam genggamannya. Ada seberkas rasa kecewa bergelayut di dadanya. Semua perjuangannya beberapa bulan terakhir ini terasa sia-sia karena satu garis merah. Ya, hanya sebuah garis merah yang membuat seluruh hidupnya berubah.


****


Setahun sebelumnya.


"Kamu yakin akan melakukan semua ini, Jo?" tanya Bapak dengan raut wajah tak percaya.


"Paijo, yakin Pak. Ini adalah pilihan hidupku," jawab Paijo dengan suara bergetar.  Ditatapnya lelaki paruh baya yang telah membesarkannya itu. Paijo merengkuh jemari-jemari yang mengkisut karena usia, lalu meletakkanya di dada. "Paijo akan baik-baik saja Pak. Kata dokter operasi ini aman. Dan, sebentar lagi bapak akan memiliki anak gadis yang cantik."


#31HariFF: Black Magic

#31HariFF: Black Magic

20131205-182300.jpg

Sumber: google.com

"Apa yang harus saya lakukan Mbah biar Putri jadi milik saya?" Tanya Paijo pada Mbah Murji yang sedang berkomat-kamit di depan bara api yang menyala.
"Yang....kamu harus lakukan adalah menyalakan lilin selama 7 hari dalam kamar," ujar Mbah Murji.
"Hanya itu?" Paijo mengernyitkan dahi.
"Ini memang perihal mudah, tapi sulit untuk dijalankan. Dan, satu lagi. Kamu harus menghindar dari kucing hitam."
"Kucing hitam? Baiklah."
****
Malam semakin larut. Paijo terkantuk-kantuk menjaga nyala lilin di hadapannya. Kemarin saat mendapat syarat dari Mbah Murji semua terlihat mudah, namun kenyataan sulit. Menjaga lilin tanpa harus melakukan apa-apa itu membosankan. Belum lagi serbuan nyamuk yang tak henti mengganggunya.
Meong....meong
Samar-samar Paijo mendengar suara kucing. Dia mendiamkannya. Bukannya berhenti, kucing itu malah semakin keras mengeong.
"Ah, kucing sialan mengganggu saja." Paijo menyambar segelas air di atas nakas. Dia membuka jendela dan menyiramkan air di dalam gelas.
Paijo membeku saat mengetahui bahwa kucing yang dia siram berwarna hitam.


Meong....meong


Paijo menggaruk-garuk tubuhnya yang gatal sambil mengusapkan kedua kakinya ke muka.

#31HariFF: Kotak coklat

#31HariFF: Kotak coklat

20131204-184543.jpg

Sumber gambar: google

Aku sudah memutar pegangan pintu apartemen dan siap masuk ke dalam saat Thomas --tetanggaku datang.
"Ini ada kiriman untukmu." Lelaki berkebangsaan Norwegia itu mengulurkan sebuah kotak coklat berpita merah kepadaku.
"Terima kasih, Tom," ucapku sesaat sebelum lelaki itu kembali ke dalam apartemennya dan menutup pintu. Begitulah Thomas. Dia bukanlah tipe laki-laki yang suka berbasa-basi.
Aku menutup pintu sambil mengapit kotak itu. Kemudian menyalakan lampu apartemenku yang gelap gulita.
Sampai di ruang tengah aku membuka syal yang melilit leherku dan menjatuhkan diri di atas sofa. Kini, perhatianku hanya tertuju pada kotak coklat dalam genggamanku. Tak ada nama pengirimnya. Di sana hanya tertempel sebuah kertas kecil bertuliskan Untuk Marsha.
Aku membolak-balik kotak itu, tapi tak menemukan petunjuk siapa yang telah mengirimnya. Sudahlah. Itu tak penting.
Dengan hati-hati aku menarik ujung pita yang membungkus lapisan luar kotak, membuka tutupnya. Tak ada apa-apa di sana, selain sebuah amplop putih.


Dengan penuh tanda tanya aku mengambil amplop itu dan menyobeknya perlahan.


Sebuah tiket London-Jkt


Ponselku bergetar. Aku mengulum senyum saat melihat sebuah nama tertera di layar.
"Sudah terima hadiahku?" Suara Andi langsung menyerbu saat aku menekan tombol terima.
"Aku baru membukanya. It was surprising me," jawabku.
"Pulanglah, Sha. Aku merindukanmu."
"...."


"Sha...." Suara Andi kembali bergema di telinga.


"Aku akan pulang. Jika, kamu sudah resmi mengurus perceraianmu."

#30HariFF: Buket Pengantin

#30HariFF: Buket Pengantin

20131203-173904.jpg

Sumber gambar: pinterest

"Sayang, temenin aku ke nikahan Putri ya," tukas Dimas saat kami istirahat makan siang.
"Kapan?" Tanyaku malas-malasan.
"Besok. Dandan yang cantik ya." Dimas mencubit lembut daguku.
Aku menggembungkan pipi tak suka.
***
Aku mematut di depan cermin. Memastikan tak ada yang salah dengan riasan dan gaun halter neck berwarna merah marun yang kukenakan. Semua sempurna.
Tinggal menunggu Dimas menjemput.
Sejujurnya, hari ini aku ingin menghabiskan waktu di kamar saja. Menyalakan pendingin kamar, lagu romantis, dan sebuah novel roman yang baru aku beli rasanya lebih menyenangkan. Namun, ajakan Dimas untuk menemaninya ke resepsi Putri tak dapat kutolak. Soalnya Putri adalah sahabat Dimas dan kebetulan aku juga mengenal gadis itu. Jadi, kali ini aku harus sedikit menekan egoku.
Tin...
Bunyi klakson. Aku bergegas keluar kamar menyambut Dimas yang menjemputku.
***

#30HariFF: Permintaan

#30HariFF: Permintaan

20131202-170818.jpg

"Pa, aku mau cincin ini di hari jadi pernikahan kita nanti." Sasa menunjukkan gambar sepasang cincin di salah satu iklan majalah fashion yang digenggamnya.
Ardi yang sedang sibuk dengan pekerjaannya hanya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada laptopnya.
"Pa, coba lihat deh. Baguskan? Belikan ya?" Amelia bergelayut di pundak Ardi sambil menyorongkan gambar cincin di depan suaminya.
"Inikan mahal, Ma. Papa dapat uang dari mana?" keluh Ardi.
"Mama nggak mau tahu. Pokoknya Papa belikan cincin ini sebagai pengganti mas kawin yang sudah Papa gadaikan." Sasa menutup pintu kamar dengan keras.
Sepeninggal istrinya Ardi menghela napas panjang. Dia memijit pelipisnya yang mendadak nyeri setelah mendengar permintaan istrinya.
Dapat darimana uang sebanyak itu?
***
"Di. Kamu jangan lupa tugasmu," ujar seseorang di seberang sana.
Ardi tak menjawab. Dadanya berdebar keras.
"Sudah jangan kebanyakan mikir. Kalau tugasmu berhasil. Kamu bisa dapat 50 juta." Seseorang di sana berusaha meyakinkannya.
Haruskah aku melakukan hal ini? suara hatinya berbicara.
"Pokoknya Papa harus belikan Mama cincin itu." suara rengekan Sasa bergema di telinga Ardi.
"Oke. Tugasku hanya membuat Pak Direktur terkapar kan?"

#30HariFF: Boneka Porselen

#30HariFF: Boneka Porselen

20131201-210934.jpg

"Lihat boneka itu lucu," tunjuk Mika pada teman-temannya.
"Kamu mau beli boneka itu?" Lidya menimpali.
Mika meraih boneka gadis berpita dua itu dalam rengkuhannya. "Iya, boneka ini cantik dan lucu."
"Hii. Kamu nggak takut kalau nanti malam-malam boneka itu bisa berjalan?" Lidya begidik.
Mika mencibir. "Kamu kebanyakan nonton horor." Gadis itu tak memedulikan respon Lidya dan ngeloyor ke kasir untuk membayar boneka dengan perasaan membuncah.
***
Mika
Suara lirih menelusup gendang telinga Mika. Gadis itu menggeliat. Matanya terlalu rapat untuk dibuka. Tak lama kemudian Mika kembali terlelap.
Mika
Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras.
Dengan mata setengah terbuka. Mika terduduk. Dia sejenak menarik napas untuk mengembalikan kesadarannya.


Gadis itu membeku saat mengarahkan pandangannya ke sudut jendela. Boneka porselen itu menatapnya sambil tersenyum


"Mika kita main yuk."

Fragmen Masa Lalu

Fragmen Masa Lalu

[caption id="attachment_3156" align="aligncenter" width="638"]Sumber: Zayd Ustman Sumber: Zayd Ustman[/caption]

Sore itu langit di Jakarta telihat muram. Arakan awan kelabu pekat memenuhi langit ibu kota. Samar-samar suara petir bersahutan di bentangan cakrawala. Menyisakan kilatan cahaya dan suara yang berdentum di angkasa.


Seorang laki-laki nampak tak terganggu dengan keadaan langit yang semakin gelap yang kemudian diikuti oleh milyaran butir air yang berjatuhan dari langit. Lelaki itu bergeming. Dia membiarkan air hujan membasahi tubuhnya.







"Rena pasti datang...pasti," racaunya di sela-sela guyuran air hujan yang menderas. Lelaki itu tetap bertahan.Ujung-ujung giginya bergemeretak, tubuhnya kurusnya kian menggigil tapi dia tetap bertahan membiarkan dirinya di bawah kucuran air hujan.

"Aku pasti akan menunggumu, Ren. Menunggumu datang." Lelaki itu merapatkan pelukan di tubuhnya. Berharap mengurangi dingin yang mulai menusuk ke dalam kulitnya. Semua sia-sia. Seberapa pun kuatnya pelukan itu, tubuhnya tetap saja menggigil.


 "Hentikan semua ini, Ndre." sebuah suara melindap di telinga lelaki itu.


Lelaki itu mendongak. Sebuah payung berwarna pelangi tepat di atas kepalanya dalam genggaman seorang gadis.


"Amel? Untuk apa kamu kesini. Sana pergi. Nanti Rena melihat kita," Rendra mengibaskan tangannya.


"Rena tak akan datang, Ndre," ucap Amel sambil tetap berusaha memayungi lelaki di hadapannya. Gadis itu melupakan tubuhnya yang mulai membasah karena payung yang dibawanya tak cukup melindungi mereka berdua.


"Rena pasti datang, Mel. Dia sudah janji." tubuh Andre bergetar.


"Sampai kapan kamu akan terus-terusan begini?" teriak Rena. Suara lantangnya terhalangi suara hujan yang menderu-deru.


Bahasa Cinta

Bahasa Cinta

20131128-185215.jpg

Sumber foto: koleksi Pribadi


 

Aku menurunkan novel di genggamanku. Lalu, pandanganku terarah pada lelaki berpotongan spike tengah memotret seekor kupu-kupu yang hinggap di atas bunga.
Aku mengulum senyum. Beberapa hari ini, Arya sedang tergila-gila dengan dunia fotografi. Hampir setiap waktunya tak bisa lepas dari DSLR yang tergantung di lehernya. Kecuali sedang tidur.
"Hai," aku melambaikan tangan ke arahnya.
Arya menoleh, lantas meletakkan satu jarinya di bibir sebagai tanda untuk tidak berisik. Aku menurutinya. Membiarkan lelaki itu sibuk dengan buruannya.
Aku menghela napas. Harusnya hari ini menjadi istimewa. Tepat di tanggal ini dua tahun lalu aku dan Arya resmi menjadi pasangan kekasih. Tapi, hari ini tak ada perayaan apa pun. Arya malah memintaku untuk menemaninya mengambil gambar di taman komplek.


Huft. Sekali saja aku ingin seperti pasangan lainnya yang menghabiskan waktu bersama pasangannya dengan kegiatan yang menarik. Misalnya nonton bioskop, makan di cafe. Bukan menunggui orang yang asyik dengan dunianya sendiri.
"Bosan?" Arya menghampiriku tanpa rasa bersalah. Lelaki itu ikut menjatuhkan diri di sampingku.
Aku menggembungkan pipi sebagai bentuk kekesalan pada Arya.


Bukannya mencoba mendinginkan hatiku. Arya hanya diam saja tanpa suara. Dari sudut mataku, kutemukan lelaki sibuk melihat hasil jepretannya hari ini. Aku mengerang. Rasanya ingin kulemparkan buku di atas pangkuanku.


Aku hendak bangkit meninggalkannya, saat sebuah sentuhan lembut menggenggam buku-buku jemariku. "Maaf. Aku sudah membuatmu bosan hari ini."


Hening.


Arya meletakkan dua tanganku di dadanya. Tanpa kata lelaki itu memagut lembut bibirku. Aku memejamkan mata. Membiarkan aliran hangat bergelenyar di dada. Semua rasa marah yang tadi penuh sesak kini menguap. Menyisakan rona merah di kedua pualam pipiku.



Aku membenamkan diri di dada Arya. Menikmati hari istimewa dengan cara kami sendiri.




Kami memang memiliki kesukaan yang berbeda. Arya dengan kamera dan aku dengan buku. Tapi, cinta menyatukan kami menjadi satu


Satu Permintaan

Satu Permintaan

20131127-035414.jpg

"Selamat pagi anak-anak." Annie menyapa muridnya dengan suara lantang.
"Pagi, Bu." suara koor anak-anak menyerbu gendang telinganya.
Gadis berusia 25 tahun itu mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Hampir separuh dari murid-muridnya tampak tak memedulikan kehadirannya. Ada yang mengobrol, ada yang asyik membaca dan beberapa lain terlihat acuh dengan keriuhan di dalam kelas.
Annie menghela napas. Ini hari pertamanya mengajar dan dia tak harus melakukan apa untuk menarik perhatian anak-anak didiknya itu
Ting.
Tiba-tiba terlintas sebuah ide. Annie membuka tas kerjanya. Dia mengeluarkan beberapa tumpukan kertas aneka warna yang masih terbungkus plastik. Annie merobek plastik itu dengan hati-hati, lalu perlahan mengeluarkan kertas berwarna-warni.
"Baiklah, pelajaran pertama hari ini. Kita mulai dengan membuat origami bangau." Annie berjalan membagikan kertas dalam genggamannya.
"Yah. Kita bukan anak TK Bu." salah seorang berkomentar.
Annie terus melangkah tanpa memedulikan tatapan sebal dari murid-muridnya.
****
"Bu Annie."
Annie selesai merapikan mejanya dan hendak keluar dari ruang guru saat seseorang memanggilnya.
"Ya." Annie membalikkan punggungnya dan mendapati Meta, siswa kelas 1 sedang berdiri di belakangnya.
"Ada apa Meta?"
Gadis itu tak bersuara. Dia mengeluarkan sebuah kotak kayu berukuran 8x8 cm dari tasnya. Dengan tangan gemetar Meta mengulurkan kotak dalam genggamannya pada Annie.
"Ini seribu bangau. Bisakah orang tua saya tidak jadi bercerai?"


Sumber foto: Zayd Ustman

Waktu tak pernah menunggu

Waktu tak pernah menunggu

20131126-040335.jpg

"Aku mau setangkai mawar," ucapnya saat kami bertemu.
"Setangkai mawar?" Alisku terangkat
"Iya. Setangkai mawar merah yang baru dipetik," ucapnya setengah merajuk. Aku bisa menangkap sorot kebahagiaan yang terpancar dari sepasang mata almond yang tengah menatapku.
"Hmm, baiklah. Aku akan membawakan pesananmu." Aku menyentuh ujung rambut Kania. Lalu, mendaratkan bibirku di keningnya.  "Sekarang waktunya kamu istirahat."
Seulas senyum terukir di bibir mungil Kania. Tak lama sepasang mata bulat milik Kania tertutup.


****


Tunggu aku
Sent


Aku menjejalkan ponselku ke dalam saku celana dan bergegas masuk ke dalam Jazz Hitam milikku. Menyalakan mesinnya dengan cepat. Lima menit kemudian dengan lincah mobil hitam yang kukendarai membelah jalanan yang masih lengang. Ini pukul 04.00 dini hari, saat di mana orang-orang masih bermain dengan mimpinya. Dan, aku sudah berada di jalanan menikmati dinginnya pagi.


Sepanjang perjalanan bibirku tak berhenti bersenandung. Hatiku sedang berbunga-bunga. Akhirnya aku mendapatkan pesanan Kania, walaupun harus mendapatkan tatapan sebal dari Rasya karena telah membangunkannya di pagi buta. Tak mengapa. Ini demi Kania.


Masih fokus dengan kemudi. Tangan kiriku mengambil sesuatu dari samping kursi penumpang. Dengan hati-hati tanganku menggenggam setangkai mawar yang masih berduri. Aku lupa, harusnya duri-duri di daun itu telah kutanggalkan supaya tak menyakiti jemari Kania yang selembut kapas.
Aroma khas bunga berwarna merah itu langsung menyerbu indra penciumanku. Aku melengos. Aku tak suka aroma mawar, tapi Kania --gadisku begitu tergila-gila dengan mawar.


Ponselku berdering.
Aku melambatkan laju kendaraan agar bisa melihat siapa yang menelponku pagi-pagi begini.


Seluruh persendianku melemas saat membaca sebuah pesan singkat yang masuk ke ponselku.


Van, Kania baru saja pergi. Maafkan dia tidak bisa menunggumu lebih lama lagi.  Tolong iklaskan kepergiannya.


Sumber foto: koleksi Zayd ustman

One night

One night

hot-relationship-black-and-white-couple-Favim.com-656592



Aku masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana Evan menciumku semalam. Tanpa persiapan apapun, tiba-tiba saja lelaki itu mendaratkan bibirnya di atas lipatan bibirku. Lembut. Dan, aku hanya bisa memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan bibirnya bergumul, mengecup permukaan bibirku, lalu tanpa sadar kedua tanganku sudah memeluk lehernya erat. Kami berdua hanyut malam itu.


Pagi ini, ketika aku terbangun. Hal kali pertama yang aku ingat adalah aroma bibir Evan yang masih menempel di bibirku. Aroma tembakau. Lelaki itu adalah seorang perokok, jadi wajar saja jika aroma tembakau menguar dari bibirnya. Sejenak, aku tersenyum sendiri lalu meraba pipinya yang mulai memanas. Mengingat Evan, seluruh tubuhku memanas.


Hubungan kami baru seumur jagung, jadi wajar kalau cinta itu masih terasa hangat-hangatnya. Seringkali aku merasakan gempa kecil di dada dan perutku. Kemudian, pualam pipi yang merona saat lelaki itu menyentuhkan buku-buku jemarinya di pipiku. Ah, Evan memang pandai memperlakukan wanita.


Lamat-lamat kudengar suara ponsel berdering. Aku masih yang terduduk di pinggiran tempat tidur spontan berdiri. Mencari di mana ponsel kecil itu berada. Di saat dibutuhkan begini benda itu mendadak menyembunyikan diri. Aku mencoba mengingat-ingat di mana aku meletakkannya semalam. Ah, akhirnya aku ingat. Semalam aku dan Evan berkirim pesan singkat hingga malam, dan tentu saja ponsel itu pasti berada di atas tempat tidurku. Aku membolak-balik selimut, bantal, dan juga guling yang berserakan. Akhirnya, kutemukan juga benda yang sedang berkedip-kedip. Aku tersenyum. Nama Evan tertera di sana.


"Hallo." Aku berjalan ke dekat jendela. Menyingkap sedikit tirai yang menutup kaca jendela kamarku.


"Ka, bisa kita bertemu hari ini?" sambut Evan tanpa membalas sapaanku.


Ada perasaaan tidak nyaman saat Evan tak membalas sapaanku dan mendadak ingin bertemu. Padahal semalam kami sudah makan malam bersama, lalu dilanjutkan dengan saling berkirim pesan hingga larut malam. Apa sesuatu telah terjadi?


Aku menggelengkan kepala, membuang semua pemikiran negatif dari benakku saat ini. Mungkin saja Evan memang ingin bertemu denganku saja. Bukankah wajar jika yang namanya kasmaran selalu ingin bertemu. "Bisa, kita mau ketemuan di mana?" tanyaku.


"Di tempat biasa pukul 15.00."


***


"Aku ingin semua ini berakhir, Inka." Suara berat Evan melindap di gendang telingaku.


Aku mendongak. Menatap pada dua buah manik mata hitam yang biasa menelanjangi diriku. Lelaki itu tertunduk. Hatiku terasa diremas-remas. Ini bukan Evan yang biasa menatapku dalam-dalam.


Aku merasakan firasat buruk.


"Kenapa Evan?" tanyaku dengan nada setenang mungkin.


"Aku tak bisa menjanjikan apa pun padamu," jawab Evan lirih.


Jawaban macam apa ini?


"Aku tak pernah memintamu menjadikanku yang pertama," aku meraih jemarinya. Mencari sisa kehangatan di buku-buku jemarinya.


Evan membalas remasanku pelan. "Aku tak mau menyakitimu lebih lama lagi, Inka."


Aku mencebik.


Aku sudah mempersiapkan hatiku jauh-jauh hari untuk kausakiti sejak kita bertemu dalam keadaan tidak sadar dalam sebuah kamar tanpa sehelai benang.

Secangkir kenangan

Secangkir kenangan

20131018-160508.jpg

Bagaimana kalau kita nikmati sore ini dengan secangkir kenangan tentangmu?
Lalu, kita sulut menjadi abu. Hingga rindu tak terlalu mengaduh.

Cangkir di hadapanku tak ubahnya rasa perih yang kausisakan dalam perjalanan kisah kita.
Getirnya menjelma punggungmu yang tak lagi membalik ke arahku.
Dan, aku memilih menikmatinya.
Karena cinta tak selamanya berakhir baik-baik saja

Gambar: @zaydutsman
Lelaki dengan Kamera

Lelaki dengan Kamera

 

[caption id="attachment_2606" align="alignnone" width="498"]gambarnya dari google gambarnya dari google[/caption]

 

 

Mungkin terlalu dini kalau kusebut ini jatuh cinta

sepintas rasanya sama dengan saat aku kali pertama merasakannya

Senyum-senyum sendiri, bahagia, berdebar-debar, rindu yang tak pasti

Namun, aku ragu tentang semua ini

Bolehkah kalau ini kusebut dengan rasa kagum

Ya...itu hanya perasaan takjub

Melihat siluet laki-laki itu saat mengambil gambar atau tanpa sengaja lensa itu mengarah kepadaku.

Lelaki itu terlihat tampan dengan kameranya

 

Sudahlah.

Kupikir aku hanya akan jadi penggemarnya saja. Karena kulihat sebuah cincin tanpa mata melekat di jari manisnya.